Thursday, December 4, 2025

Mengapa bukan bencana Nasional.?

 



Banjir bandang meluluhlantakkan kampung-kampung, longsor menelan rumah dan jalan raya, ribuan warga mengungsi, ekonomi daerah lumpuh. Namun status yang muncul tetap itu-itu saja. Bencana daerah.  Merujuk data BNPB per 4 Desember 2025: 776 jiwa meninggal. 564 orang hilang, 2.600 orang terluka. 10.400 rumah rusak.50 kabupaten terdampak di beberapa provinsi. Bendungan jebol, infrastruktur runtuh, roda ekonomi berhenti total. Jika mengacu pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan aturan BNPB, seluruh indikator bencana nasional sudah jelas terpenuhi. 




Nah, menurut UU Penanggulangan Bencana, status bencana nasional berarti pemerintah pusat wajib mengambil alih penanganan, membiayai seluruh pemulihan, memulihkan infrastruktur, dan menanggung masa depan warga yang terdampak. Dengan kata lain, negara harus mengakui bahwa pemerintah daerah—dan bahkan pusat—gagal melindungi rakyatnya. Dalam dunia politik, pengakuan seperti itu terlalu mahal.


Status Nasional Membuka Kotak Pandora.


Realitas pahitnya adalah sebagian besar bencana ekologis di Indonesia bukan murni “bencana alam”. Mereka bencana kebijakan. Banjir disebabkan pembalakan hutan untuk sawit, tambang yang merusak DAS, pembangunan kawasan industri di zona rawan, sedimentasi sungai akibat hilangnya tutupan lahan, food estate yang membabat hutan lindung. 


Jika pemerintah menetapkan bencana nasional, maka seluruh izin konsesi harus diaudit, perusahaan besar dapat dimintai pertanggungjawaban, pejabat pemberi izin dapat disorot, oligarki SDA bisa terseret ke meja publik. Dan inilah batas merah yang tak berani dilampaui. Karena sebagian besar elite politik punya saham pada konsesi Sawit, tambang dan HTI. Menyatakan bencana nasional sama saja seperti menyalakan lampu sorot ke wajah mereka sendiri dan juga kepada para pemain besar ekonomi-politik negeri ini yang menjadi sponsor Pemilu.


Risiko Fiskal.


Puluhan triliun rupiah dibutuhkan untuk rehabilitasi DAS, perbaikan infrastruktur, pembangunan hunian, pemulihan ekonomi lokal, jaminan hidup korban. Saat ruang fiskal negara sudah sempit—defisit APBN, beban bunga utang, dan belanja birokrasi—pemerintah enggan menanggung konsekuensi fiskal sebesar itu. Status “bencana daerah” memungkinkan beban itu diserahkan ke pemda, dibagi-bagi dengan masyarakat, dan dilupakan perlahan-lahan ketika berita sudah tenggelam.


Stabilitas Politik.


Narasi resmi negara selama ini sengaja dibangun pemerintah adalah  " pembangunan berjalan baik, pertumbuhan ekonomi kuat, hilirisasi berhasil mengurangi risiko ekologis, Indonesia semakin maju dan modern”


Deklarasi bencana nasional merusak seluruh narasi tadi. Ia mengirim sinyal ke publik dan internasional bahwa pembangunan berjalan tanpa kontrol. Tidak ada pemerintah yang ingin memukul wajahnya sendiri.


Mengapa Bencana Tak Pernah “Naik Kelas”? 


Karena Itu akan menurunkan banyak kursi. Penetapan bencana nasional dapat menyebabkan ketimpangan kebijakan palu-godam gubernur dan bupati terbongkar, pejabat pusat ikut terseret karena kebijakan tata ruang dan izin berada di tangan kementerian, sponsor politik terganggu, korporasi yang selama ini menjadi donatur pemilu merasa terancam. Ini bukan soal manajemen bencana. Ini soal ekonomi politik kekuasaan.


Kesimpulan.


Bencana boleh disebut “daerah”, tetapi luka dan kematian rakyat di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah tragedi nasional. Ketika banjir bandang menelan kampung, longsor memutus jalan, ribuan warga kehilangan rumah, dan ekonomi daerah lumpuh total, negara seharusnya tidak bersembunyi di balik kalimat administratif: “Belum memenuhi syarat bencana nasional.”


Padahal hukum kita jelas, pemerintah pusat wajib mengambil alih apabila skala bencana melampaui kapasitas daerah. Ketika itu tidak dilakukan, muncul pertanyaan konstitusional, apakah negara menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur UUD 1945? Di titik inilah rakyat memiliki hak hukum yang tidak boleh diremehkan.


Mahkamah Konstitusi tidak bisa menerima class action, tetapi ia bisa menerima gugatan uji materiil terhadap undang-undang atau pasal-pasal yang diselewengkan dalam implementasi. Dalam konteks ini, masyarakat sipil dapat menguji: Kelalaian pemerintah dalam menerapkan UU Penanggulangan Bencana.Keputusan administratif yang bertentangan dengan mandat konstitusiPenafsiran negara yang merugikan hak hidup warga. Jika MK memutus bahwa pemerintah melanggar konstitusi, maka pemerintah wajib tunduk.


Dan bila pemerintah tetap tidak melaksanakan, konsekuensinya sangat serius. UUD 1945 Pasal 7A–7B menyebutkan: Presiden dan Wapres dapat diberhentikan jika melanggar hukum atau UUD 1945. Mengabaikan kewajiban negara dalam melindungi rakyat dari bencana, atau mengabaikan putusan MK, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran konstitusi.


Prosesnya jelas: MK memutus bahwa pemerintah melanggar UU. DPR mengajukan pendapat bahwa Presiden/Wapres melanggar konstitusi. MK memeriksa. Jika terbukti, MPR dapat menggelar Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden/Wapres Artinya,  mengabaikan bencana bisa berujung pada pemasjulan. Itu kalau demokrasi sehat. Sayangnya demokrasi kita cacat lahir batin.




Tuesday, December 2, 2025

Narasi Ekonomi...




Ada seorang teman bertanya kepada saya. “Mengapa berita media massa tentang ekonomi tidak sesuai dengan fakta dan yang dirasakan rakyat?” Saya tersenyum. Tak langsung menjawab. Namun saya tahu persis apa yang sedang terjadi.


Pemerintah sedang menerapkan apa yang ditulis Robert J. Shiller dalam konsep narrative economics. Yaitu sebuah pendekatan yang menempatkan cerita, slogan, dan persepsi kolektif sebagai variabel yang mempengaruhi perilaku ekonomi. Itu sama kuatnya dengan instrumen kebijakan formal.


Ketika pemerintah atau bank sentral mengusung tema seperti “Optimisme Baru, Ekonomi Tangguh dan Mandiri”, kita sedang menyaksikan praktik nyata narasi bekerja bukan sekadar sebagai dekorasi pidato, melainkan sebagai instrumen kebijakan yang berdiri sejajar dengan suku bunga, stimulus fiskal, atau intervensi pasar.


Mengapa narrative economics  dilakukan? 


Di saat ruang fiskal sempit, narasi menjadi penyangga murah untuk menahan ekspektasi publik. Ia bekerja seperti obat penenang, bukan obat penyembuh  Dan lagi, ongkos intervensinya rendah (cheap intervention). Tidak memerlukan cadangan devisa. Tidak butuh perubahan APBN. Tidak menghadapi resistensi politik seperti reformasi struktural. Cukup mengongkosi influencer, buzzer, membuat konferensi pers, dan menggulirkan slogan. Dampaknya bisa nyata. Ya tentu dengan pra syarat : selama publik masih percaya, atau… tetap bodoh.


***


Dalam situasi krisis atau tekanan eksternal, ekonomi perilaku mengenal istilah compensatory signalling. Ketika kapasitas tindakan terbatas, volume retorika dinaikkan. Inilah yang kini terlihat pada presentasi resmi pemerintah. Grafik dipilih yang paling ramah visual. Dipilih indikator yang paling jinak, misalnya headline inflation, bukan inflasi pangan, surplus ekspor bukan trend surplus yang dari tahun ke tahun menurun. Tema besar yang diusung adalah  resilience, agility, optimism.


Dalam teori komunikasi kebijakan, ini disebut strategi menahan ekspektasi negatif. Namun strategi ini sering dibangun di atas fondasi structural yang rapuh. Sepeti ruang fiskal tergerus, suku bunga tinggi menekan kredit UMKM, pertumbuhan melemah, imported inflation merayap, risiko geopolitik meningkat. Di titik inilah narasi mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ketiadaan hard measures.


In bisa juga upaya melakukan ahead of the curve dengan cara memanipulasi pasar.  Cara ini punya basis ilmiah seperti aturan  aturan Taylor, model New Keynesian, forward guidance, kanal ekspektasi. Ya, narasi bisa menjadi alat kebijakan yang efektif. Banyak negara maju memakainya untuk mengarahkan ekspektasi inflasi, menjaga kepercayaan pasar obligasi, menahan spekulasi kurs.  Namun ketika ruang kebijakan sempit, istilah ini berubah menjadi hanya narasi, bukan kalkulasi. Yang bergerak bukan lagi state policy rate, tapi state storytelling rate.


Dalam banyak negara berkembang, pola retorika yang muncul hampir selalu sama. Menegaskan bahwa shock eksternal sudah diantisipasi. Menampilkan indikator sektoral yang masih “aman”. Menonjolkan visi jangka panjang yang tak terukur. Menghindari pengakuan eksplisit atas keterbatasan kebijakan.


Inilah yang oleh Shiller disebut contagious economic narratives—cerita yang viral seperti kini sosok media darling dari Menkeu. Ia  menular, menyenangkan didengar, tetapi tidak menyelesaikan persoalan mendasar. Bahkan menciptakan policy complacency: rasa nyaman palsu yang membuat pembuat kebijakan menunda tindakan. Bahkan  dalam konteks politik tertentu, narasi berubah menjadi mekanisme menghindari akuntabilitas.


Misal, pasar dan publik tidak lagi percaya. Karena ekspektasi lepas jangkar. inflasi dan kurs tak lagi tunduk pada proyeksi resmi. Kredibilitas terkikis. Karena pidato dianggap “jualan”, bukan sinyal kebijakan. Policy lag membesar. Publik tahun, langkah yang seharusnya diambil hari ini digeser menjadi tahun depan. Pada tahap ini, narasi menjadi inflasional. Ia membengkak, kehilangan daya, dan akhirnya justru mendorong ketidakpastian lebih besar.


Penutup


Ekonomi membutuhkan angka, analisis, reformasi, keberanian membuat keputusan sulit. Namun ia juga membutuhkan cerita—cerita yang menjaga psikologi publik dan menghalangi irrational panic. Tetapi narasi bukan pengganti produksi nasional,  bukan substitusi cadangan devisa,  bukan alat menutup defisit, bukan obat inflasi pangan, dan bukan jawaban atas ketidakpastian global. Narasi adalah energi tambahan, bukan infrastruktur kebijakan.


Jika narasi digunakan tanpa eksekusi, ia hanya memperpanjang ilusi stabilitas sebelum realitas menuntut harga yang jauh lebih mahal. Tetapi bila narasi dipadukan dengan tindakan struktural nyata, ia bisa menjadi jangkar ekspektasi yang kuat.


Pada akhirnya, narrative economics mengajarkan satu hal sederhana. Ekonomi bukan hanya tentang angka, tetapi tentang cerita yang dipercaya oleh rakyat. Namun rakyat yang cerdas dan melek literasi hanya percaya pada cerita yang memiliki bukti. Tanpa bukti, semua narasi hanyalah retorika, alias bandit pasar.

Monday, December 1, 2025

Nikel Sunset


 

Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi nikel dijual sebagai success story Indonesia. Ia dipromosikan sebagai tonggak “kemerdekaan industri”, jalan pintas menuju negara maju, bahkan simbol kedaulatan ekonomi. Smelter-smelter berdiri seperti kota-kota kecil, investasi membanjir, dan pemerintah menyebut Indonesia sebagai pusat produksi nikel dunia.


Namun dalam diam, pilar yang menopang euforia itu mulai retak. Harga nikel global longsor, oversupply tak terhindarkan, teknologi baterai beralih arah, dan kini sejumlah smelter mulai menghentikan operasi. Masa depan yang dijanjikan hilirisasi ternyata tidak setegas retorika yang mengantarkannya. Pertanyaan sederhananya, apakah kita sedang membangun industri masa depan, atau justru terjebak dalam mimpi pendek yang mahal?


Oversupply

Ekspansi smelter dalam lima tahun terakhir berlangsung agresif. Indonesia mendorong investasi Tiongkok dan berbagai konsorsium untuk memperbesar kapasitas produksi ferronickel dan NPI (nickel pig iron). Produksi naik, tetapi permintaan global tidak mampu mengimbangi.


Hasilnya dapat ditebak. Harga nikel anjlok ke level terendah dalam beberapa tahun terakhir, margin smelter menyempit, bahkan sebagian masuk zona rugi, dan kini dilaporkan sedikitnya 28 smelter menutup atau memangkas operasi. Dalam ekonomi dasar, oversupply selalu berujung sama: harga runtuh. Sayangnya, Indonesia terlalu cepat berlari tanpa menghitung kelengkungan jalan di depan.


Substitusi.

Argumen utama hilirisasi adalah ledakan permintaan baterai kendaraan listrik. Tetapi dunia berpikir lebih cepat. Baterai LFP (Lithium Iron Phosphate) menggeser NMC berbasis nikel dalam segmen EV mass market. Baterai natrium-ion mulai diproduksi massal, biaya jauh lebih murah, tanpa nikel. Solid-state battery mengurangi ketergantungan pada logam berat.


Industri global bergerak menuju efisiensi, bukan ketergantungan pada materi mahal. Indonesia membangun smelter untuk teknologi lama, sementara pasar berlari ke teknologi baru. Ini seperti membangun pabrik mesin ketik pada era komputer.


Dampak Ekonomi.

Ketika harga jatuh dan smelter mengurangi kapasitas, efeknya berlapis: PHK massif di kawasan industri Morowali, Konawe, Halmahera, dan Bantaeng. Pendapatan daerah menyusut, PAD anjlok. Royalti dan PPN dari nikel turun drastis. Risiko gagal bayar korporasi meningkat karena banyak smelter dibiayai dengan skema utang berisiko tinggi. Pemerintah harus menghadapi konsekuensi fiskal dari sektor yang sebelumnya dianggap golden child ekonomi. Hilirisasi yang digadang sebagai mesin pertumbuhan, malah berubah menjadi mesin tekanan fiskal.


Dampak  ekologi.

Dampak paling panjang justru bukan ekonominya, tetapi ekologinya. Setiap smelter menciptakan tailing dalam volume besar, limbah logam berat, polusi udara dari PLTU batubara yang memasok energi, kerusakan pesisir dari reklamasi, deforestasi dalam skala massif. Saat smelter tutup, kerusakan ini tidak ikut tutup.Lingkungan tetap cacat, sementara keuntungan sudah terbang keluar negeri. Inilah ironi panjang dari hilirisasi berbasis ekstraksi. Ketika industri berhenti, rakyat yang tinggal justru mulai menanggung biayanya.


Kebijakan ngawur.

Hilirisasi nikel sebenarnya bukan salah. Yang salah adalah modelnya terlalu cepat, terlalu tergantung pada modal asing, terlalu fokus pada volume, bukan nilai tambah, terlalu buta terhadap dinamika teknologi global.


Indonesia perlu hilirisasi yang berbasis diversifikasi mineral kritis, bukan hanya nikel. Pengembangan teknologi energi baru, bukan sekadar pengejaran smelter. Risiko lingkungan yang dihitung secara nyata. Model pendanaan yang prudent, bukan utang berisiko tinggi. Hilirisasi sejati bukan tentang banyaknya pabrik, tetapi tentang panjangnya rantai nilai yang dikuasai.


Penutup.

Hilirisasi nikel adalah pelajaran penting. Bahwa pertumbuhan cepat tanpa strategi jangka panjang hanya akan menghasilkan kehancuran yang lebih cepat. Harganya tidak hanya berupa smelter yang tutup, tetapi hilangnya pendapatan negara, kerusakan lingkungan yang tak pulih, serta pekerja yang menjadi korban dari kegagalan membaca arah pasar.


Kini waktunya pemerintah berhenti merayakan euforia, dan mulai merumuskan strategi industri yang benar-benar berbasis ilmu, bukan sekadar narasi politik. Jika tidak, hilirisasi nikel tidak akan dikenang sebagai tonggak kebangkitan, melainkan sebagai babak mahal dalam sejarah trial-and-error ekonomi Indonesia.


DAFTAR REFERENSI

1. Pasar Nikel Global & Harga

  1. London Metal Exchange (LME).
    Nickel Price Historical Chart, 2018–2025.
    https://www.lme.com
  2. S&P Global Commodity Insights.
    2024 Nickel Market Outlook: Oversupply Pressures Intensify.
    https://www.spglobal.com/commodity-insights/
  3. Bloomberg Metals Desk.
    Nickel Falls to Multi-Year Low as Indonesian Output Surges.
    Bloomberg Terminal Newswire, 2024.
  4. Reuters.
    Global Nickel Market Braces for Further Surplus in 2025.
    https://www.reuters.com/markets/metals/

2. Industri Nikel Indonesia: Smelter, Hilirisasi & Penutupan

  1. IDN Times.
    28 Smelter Nikel Tutup: Ini Penyebabnya.
    https://www.idntimes.com/business/economy
  2. CNBC Indonesia.
    28 Line Smelter Nikel Berhenti Beroperasi: Harga Jatuh & Oversupply.
    https://www.cnbcindonesia.com
  3. The Jakarta Post.
    Nickel’s Next Test: Can Indonesia Escape the Low-Value Trap?
    https://www.thejakartapost.com
  4. Mining.com.
    China-backed $3 Billion Indonesian Nickel Smelter Faces Shutdown.
    https://www.mining.com
  5. East Asia Forum.
    Smelters Squeeze Indonesia’s Nickel Ore Supply.
    https://eastasiaforum.org
  6. Badan Pusat Statistik (BPS).
    Statistik Nikel, Produksi, dan Ekspor Indonesia 2018–2024.
    https://www.bps.go.id
  7. Kementerian ESDM RI.
    Neraca Mineral Nasional 2024 & Laporan Kinerja Hilirisasi.
    https://www.esdm.go.id
  8. Laporan Keuangan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
    Sumber: Berbagai Laporan Tahunan & Audit.

3. Teknologi Baterai & Pergeseran Industri Global

  1. International Energy Agency (IEA).
    Global EV Outlook 2024.
    https://www.iea.org
  2. Contemporary Amperex Technology Limited (CATL).
    White Paper: Sodium-Ion Battery Commercialization Roadmap.
    CATL Technical Publication, 2023.
  3. BloombergNEF (BNEF).
    Battery Pack Prices & Technology Trends 2024.
    https://about.bnef.com
  4. McKinsey & Company.
    Battery 2030: The Next Evolution of Lithium, LFP, and Solid-State Cells.
    McKinsey Advanced Industries Report, 2023.
  5. MIT Energy Initiative.
    Beyond Lithium: The Rise of Sodium and Post-Lithium Energy Storage.
    https://energy.mit.edu

4. Lingkungan & Dampak Ekologis Hilirisasi

  1. WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia).
    Laporan Dampak Ekologis Smelter & Tambang Nikel 2022–2024.
    https://www.walhi.or.id
  2. JATAM (Jaringan Advokasi Tambang).
    Laporan: 5 Tahun Hilirisasi & Kerusakan Ekologi di Konawe–Morowali.
    https://www.jatam.org
  3. Greenpeace East Asia.
    Tailing & Emissions Impact from Nickel HPAL Processing Plants.
    https://www.greenpeace.org/eastasia/


5. Analisis Ekonomi & Kebijakan Industri

  1. World Bank Indonesia Report.
    Indonesia Economic Prospects – Commodity Dependence Risks.
    https://www.worldbank.org
  2. Asian Development Bank (ADB).
    Industrialization Policy and Mineral Value Chains in Southeast Asia.
    https://www.adb.org
  3. CSIS Indonesia.
    Hilirisasi dan Risiko Oversupply Industri Nikel.
    https://www.csis.or.id
  4. LPEM UI.
    Policy Brief: Hilirisasi Mineral dan Ketahanan Industri Jangka Panjang.
    https://www.lpem.org

Sunday, November 30, 2025

Toba Pulp Lestari ?



Sudah saatnya kita ngomong apa adanya. TPL itu bukan sekadar “perusahaan bermasalah”, tapi masalah yang terus jadi perusahaan. Dan opsi paling waras buat negara dan warga di sekitar Danau Toba adalah satu: izin Toba Pulp Lestari (TPL) dicabut dan operasi dihentikan. Bukan karena benci korporasi. Bukan karena alergi investasi. Tapi karena dari sisi ekologi, sosial, dan governance, TPL sudah lewat batas wajar toleransi.


1. Tiga Dekade Konflik: Ini Bukan “Kekhilafan Operasional”


Konflik antara TPL dan masyarakat adat di wilayah Tapanuli itu bukan cerita setahun dua tahun. Kajian akademik dan laporan lapangan mencatat sengketa lahan, klaim adat, dan resistensi masyarakat sudah terjadi sejak awal 1990-an, melibatkan puluhan komunitas adat yang mengklaim wilayah ulayat di dalam konsesi TPL. 


Artinya apa? Ini bukan kecelakaan kebijakan, bukan “miss komunikasi”, tapi pola konflik yang berulang dan sistemik. Bahkan pada 2025, laporan lembaga lingkungan dan hak masyarakat adat masih mencatat insiden kekerasan antara aparat keamanan TPL dan komunitas adat di Sihaporas, Sumatra Utara. 


Kalau setelah tiga dekade konflik masih saja meledak dalam bentuk kekerasan, itu artinya model bisnis dan tata kelola perusahaan memang tidak kompatibel dengan hak hidup masyarakat dan ekologi di sana.


2. Ekologi: Hutan Industri, Konflik Nyata


Secara formal, TPL mengelola hutan tanaman industri dengan konsesi lebih dari 160 ribu hektare di Sumatra Utara.  Di atas kertas, istilahnya rapi: HTI, High Alpha Pulp, efisiensi pasokan bahan baku industri kertas/rayon.


Di lapangan, HTI itu berarti monokultur skala besar menggantikan keragaman hayati, tekanan pada daerah aliran sungai, perubahan lanskap yang mempengaruhi hidrologi, tanah, dan ruang hidup masyarakat adat.


Serangkaian riset dan laporan organisasi masyarakat menunjukkan bahwa ekspansi HTI di sekitar Danau Toba bukan hanya mengganggu ekosistem, tapi juga menggeser ruang hidup dan ruang ekonomi masyarakat setempat. Dari hutan yang bisa mereka kelola sendiri menjadi konsesi yang dijaga aparat perusahaan.  Kalau ekosistem rusak, konflik sosial subur. Kalau konflik sosial tak selesai, semua jargon “keberlanjutan” hanya jadi latar belakang presentasi CSR.


3. Allied Hill, Everpro, dan Joseph Oetomo: Governance Kok Serasa SPV Cayman?


Sejak Juni 2025, TPL resmi diambil alih Allied Hill Limited, perusahaan berbasis Hong Kong. Allied Hill menguasai sekitar 92,42% saham TPL, sementara sisanya sekitar 7,58% dimiliki publik.  Di atasnya lagi, Allied Hill 100% dimiliki oleh Everpro Investments Limited, dan beneficial owner Everpro adalah Joseph Oetomo, warga negara Singapura. 


Secara struktur, ini mirip pola klasik: Everpro (beneficial owner) → Allied Hill (holding Hong Kong) → TPL (emiten Indonesia dengan konsesi raksasa). Apakah skema seperti ini ilegal? Tidak otomatis. Tapi dari sudut pandang governance, ini jelas red flag: perusahaan pemegang mayoritas baru, umur seumur jagung, struktur kepemilikan berlapis-lapis, beneficial owner tidak punya rekam jejak publik jelas di industri kehutanan maupun pembangunan berkelanjutan, tidak ada visi atau strategi lingkungan–sosial yang dijelaskan secara terbuka ke publik dan pemegang saham minoritas.


Lebih lucu lagi, dalam keterbukaan informasi dan pemberitaan pasar, manajemen TPL sendiri sempat menyatakan tidak mengetahui secara detail latar belakang Allied Hill sebagai pemegang kendali baru, selain apa yang tertulis secara legal-formal. 


Bayangkan. Perusahaan dengan konsesi ratusan ribu hektare hutan, diambil alih oleh entitas baru, tapi manajemen saja tidak bisa menjelaskan dengan terang benderang “siapa” dan “mau apa” pemilik baru itu. Kalau dalam dunia korporasi modern, akuisisi sebesar itu, atas aset seluas itu, dengan sejarah konflik setoksik itu …terjadi tanpa transparansi beneficial ownership dan tanpa strategi lingkungan–sosial yang jelas, itu bukan cuma janggal. Itu sinyal keras bahwa governance kita sedang dipermainkan.


4. “Peralihan Kepemilikan” Bukan Penghapus Dosa


Sering ada narasi begini “Pemilik sudah ganti, jangan salahkan yang baru. Yang lama yang bikin masalah.” Masalahnya, di dunia lingkungan dan hak masyarakat adat, kerusakan itu tidak ikut dijual putus dalam akta jual-beli saham. Hutan yang sudah hilang tidak tiba-tiba tumbuh kembali karena pemiliknya beda. Konflik dengan masyarakat adat tidak otomatis menguap ketika nama konglomerat berganti di laporan tahunan. Trauma, kekerasan, kriminalisasi, dan ketakutan tidak bisa dihapus dengan satu RUPS.


Jadi argumentasi “itu kan pemilik lama” tidak relevan. Kalau Allied Hill dan Joseph Oetomo mau disebut pemilik sah TPL, maka mereka juga pemilik penuh: jejak ekologis TPL, jejak konflik sosialnya, dan tanggung jawab moral–hukum atas seluruh rantai dampaknya. Kalau tidak mau memikul beban itu, seharusnya tidak usah beli.


Rekomendasi.


Di titik ini, pertanyaannya bukan lagi: “Bagaimana membuat TPL lebih baik? melainkan: “Masih masuk akal kah mempertahankan model bisnis seperti TPL di kawasan se-rapuh Danau Toba?” Jawaban jujurnya: sudah tidak lagi.


Alasannya ? Track record konflik & kerusakan terlalu panjang dan dalam. Tiga dekade konflik adat, benturan fisik, resistensi lokal, hingga sorotan lembaga internasional — ini bukan “startup yang sedang belajar”.  Struktur kepemilikan dan governance terlalu buram untuk aset sepenting Danau Toba. Beneficial owner tidak jelas ke publik, perusahaan perantara baru, tidak ada strategi lingkungan yang terbuka, dan semua ini terjadi di tengah “legacy problem” ekologi. Risiko sosial–ekologis lebih besar daripada nilai tambah ekonominya bagi warga lokal. 


Yang menikmati margin adalah korporasi global dan pemegang saham besar; sementara yang menerima banjir, krisis lahan, konflik, dan degradasi lingkungan adalah warga di sekitar. Maka, kalau negara serius bicara transisi hijau, penghormatan masyarakat adat, danau Toba sebagai kawasan strategis pariwisata dan ekologi, maka logika kebijakan seharusnya sederhana: Moratorium penuh aktivitas TPL di lapangan. Audit independen ekologis, sosial, dan governance, melibatkan masyarakat adat dan pakar independen.


Jika temuan mengkonfirmasi kerusakan sistemik dan pelanggaran berkepanjangan, cabut izin konsesi, tutup operasi, dan desain ulang model ekonomi kawasan berbasis agroforestry rakyat, pariwisata berkelanjutan, usaha kecil menengah lokal, dan skema restorasi ekosistem.


Penutup 


Kekuasaan atas tanah dan hutan dipegang oleh nama-nama yang bahkan tak dikenal oleh orang-orang yang hidupnya paling terdampak. Karena itulah, bukan cuma wajar, tapi sudah seharusnya kita mulai bicara serius. TPL ditutup, dan masa depan Danau Toba dikembalikan ke manusia dan alamnya — bukan ke kertas saham.


Referensi 

Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) – “Perubahan Pemegang Saham Pengendali PT Toba Pulp Lestari Tbk (INRU)” (2025). Public Expose TPL – Laporan kepada OJK mengenai pengambilalihan oleh Allied Hill Limited, Juni 2025. Kontan.co.id – “Allied Hill Limited Resmi Mengambil Alih 92,42% Saham Toba Pulp Lestari” (2025). Bisnis Indonesia – “Everpro Investments dan Beneficial Owner di Balik Akuisisi TPL” (2025). Laporan Tahunan PT Toba Pulp Lestari Tbk (2022–2024), bagian Struktur Pemegang Saham & Corporate Governance.


AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) – Laporan “Konflik Wilayah Adat di Tapanuli dan Operasi TPL” (2019–2024). Walhi Sumatera Utara – Laporan Investigasi “Ekspansi HTI dan Dampaknya Terhadap Ekologi Danau Toba” (2017–2023). Forest Peoples Programme – “Conflict Mapping of Pulp and Paper Concessions in North Sumatra” (2015). JATAM / Kelompok Studi dan Advokasi HTI – “Dampak Sosial HTI terhadap Komunitas Adat di Toba” (2018). Komnas HAM – “Laporan Dugaan Pelanggaran HAM dalam Konflik Masyarakat Adat vs Toba Pulp Lestari” (2020). SawitWatch & Koalisi NGO Sumut – “Criminalizing Communities Around Industrial Timber Forest” (2019).


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) – Data resmi “Peta Konsesi HTI TPL” (2023). KLHK – SIPONGI – Status kawasan dan catatan deforestasi sekitar Danau Toba (2015–2024). CIFOR (Center for International Forestry Research) – “Forest Ecology & Industrial Plantation Impacts in North Sumatra” (2016). World Resources Institute (WRI) – “Forest Loss and Hydrological Stress in Lake Toba Basin” (2022). Big-Tree / Global Forest Watch – Data deforestasi dan perubahan tutupan hutan Toba (2021–2024).


Governance, Beneficial Ownership & Corporate Transparency OJK – Panduan Transparansi Beneficial Owner (2019). OECD – Beneficial Ownership Transparency in Asia (2020). Transparency International – Laporan “Opaque Corporate Ownership in Indonesia’s Resource Sector” (2018). ICW – Indonesia Corruption Watch – “Masalah Transparansi Pengelolaan Konsesi Hutan” (2023). Tax Justice Network – “Corporate Structures and Shell Entities in Hong Kong & Singapore” (2021).


WWF Indonesia – “Indonesia Pulp & Paper Industry Review and Ecological Risks” (2016–2022).Greenpeace Southeast Asia – “Industrial Plantation Harm in Tapanuli Landscape” (2017). Bank Dunia (World Bank) – “Environmental and Social Risk Analysis in Timber & Pulp Industries” (2020). FAO / UN-REDD Programme – “Impact of Industrial Forest Plantations on Local Livelihoods” (2015).


RGE Group (Royal Golden Eagle) – Sejarah perusahaan pulp and paper (internal documentation). Majalah Tempo – Investigasi “Kerajaan Bisnis Sukanto Tanoto & Ekspansi HTI” (beberapa edisi 1999–2020). Reuters Special Report – “South East Asia Pulp Giants and Land Conflicts” (2017). BBC Indonesia – “Konflik Lahan dengan TPL: Suara dari Sihaporas” (2021). Mongabay Indonesia – Puluhan artikel investigasi terkait TPL, HTI, dan konflik di Danau Toba (2012–2024). The Gecko Project – “Pulp, Power, and Land Struggles in Indonesia” (2018). Harian Kompas – “Masyarakat Adat di Tapanuli dan Konsesi HTI” (2022).