Dulu sebelum jatuhnya wallstreet, pasar 144A SEC Act sangat populer di kalangan pemain pasar uang global. 144 A SEC Act adalah UU perdagangan surat berharga yang diatur oleh Amerika sebagai penjamin likuidiitas USD. Pasal 144Aa SEC ini memberikan kebebasan tidak menerapkan segala aturan yang diatur otoritas. Namun tdak berlaku bagi warga AS sebagai investor. Hanya untuk orang asing. Karena sistem pedagangan pasar uang tidak patuh kepada aturan negara. Aturan dibuat sesukanya diantara members. Hebatnya pasar 144A SEC itu didukung oleh lembaga keuangan papan atas. Mereka punya clearing house sendiri yang terhubung dengan Euroclear di London, cleastream di Frankfurt dan DTC di NY.
Data yang dipublikasikan oleh Ford Foundation melalui laporan Global Financial Integrity, total transaksi derivatif global tahun 2013 berdasarkan data dari BIS, nilai kontrak mencapai USD 693 Trilion. Sebagian besar transaksi itu dilakukan secara over-the-counter (OTC). Nilai kontrak itu sama saja dengan 10 kali dari GNP seluruh negara di dunia. Jumlah yang pantastik. Namun karena penerbitan surat itu tidak didukung underlying, maka itu hanya komitmen sesama pemain dalam bentuk digital saja. Nah ketika mereka ingin cairkan profit dari rekening trading. Para pemain harus melewati standar kepatuhan yang ditetapkan oleh otoritas. 90% gagal cairkan rekening tersebut. Sehingga hanya jadi catatan aset yang tidak likuid.
Padahal selama proses transaksi via 144a SEC itu tidak gratis. Member harus bayar semua, seperti lawyer fee, broker fee, clearing fee, custodian fee, semua pakai uang benaran. Kebayangkan tekornya trader. Cobalah hitung berapa kerugian trader. Kalau perputaran aset sebesar USD 693 trilion. Total fee 1 % saja. Maka uang benaran ( real cash ) masuk ke kas instutisi pendukung sistem itu mencapai USD 6,9 Triliun. Dahsyat kan. Apakah trader rugi ? Yang rugi paling gede adalah dana pensiun dan Asuransi dan investor retail yang menjadi penyedia cash untuk processing fee para trader. Kok mau ? karena imbalan janji pasti untung gede. Tapi untung itu hanya berupa aset yang tidak likuid.
Sementara trader ( hedge fund player) gunakan aset yang tidak likuid itu untuk generate cash melalui skema hutang. Caranya? mereka mendirikan SPAC ( Special Propose Acquisition corporation) Nah asset yang tidak likuid itu di call oleh trader. Didalam SPAC itu sudah underlying proyek. Asset itu dijaminkan lewat penebitan surat utang yang dijual di pasar sekunder. Uangnya dipakai untuk akuisisi. Setelah akuisisi SPAC lakukan exit melalui bursa utama atau refinancing perbankan. Pemilik aset hanya dapat fee sekitar 0,5% setahun. Kok mau? ya aset bodong.
Skema 144A Sec itu tidak ubahnya dengan bitcoin. Hanya bedanya Bitcoin tidak perlu clearing house. Karena sistem blockchain memungkinkan tanpa perlu clearing house. Itu terjadi P2P. Sama dengan 144 A Sec, yaitu tidak ada underying asset dibelakangnya. Jadi benar benar dasarnya hanya komitmen sesama pemain saja. Endingnya bisa ditebak. Pada akhirnya pemain hedge fund yang untung besar. Pengekor tekor.
Makanya walau Bappebti membolehkan (Peraturan No 5/2019 ) tetapi dalam aturan ini disebutkan bahwa cryptocurrency yang bisa diperdagangkan harus berbasis distributed ledger technology dan berbentuk aset kripto utility (utility crypto) atau kripto beragun aset (crypto backed asset). Artinya kalau ada penyelenggara cryptocurrency tidak bisa membuktikan asset maka itu dianggap ilegal. Namun terlepas kebijakan Bappeti, BI tetap melarang bitcoin cs sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah Indonesia. Itu sesuai UU Mata uang.
Nah bagi anda yang tetap ngotot terus terlibat dalam perdagangan cryptocurrency, itu hak anda. Free entry. Tapi harus juga dicatat, sebagaimana 144 A SEC, kalau free entry, maka itu juga free fall. Artinya bebas masuk, maka juga bebas jatuh. Kalau jatuh jangan mewek. Jangan ngeluh. Terima saja. lkhlaskan, orang pintar makan orang bodoh. Itu biasa saja.