Industri mobil listrik itu nilai tambahnya ada pada baterai. Nilai tambah baterai itu ada pada tekhnologinya, bukan hanya pada materialnya. Ada empat jenis baterai yang bersaing untuk menetapkan standar industri kendaraan listrik: PbA (asam timbal); baterai ion lithium; NiMH (nickel metal hydride) dan sodium, juga dikenal sebagai ZEBRA, Zero Emission Battery Research Activity, sepenuhnya dapat didaur ulang dan cenderung lebih murah daripada baterai lithium.
Baterai memiliki daya tahan yang berbeda-beda sesuai dengan teknologi yang digunakan, jenis penggunaan dan kondisi penyimpanannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan baterai adalah suhu ekstrim, kelebihan pengisian ulang dan pengosongan baterai penuh. Pabrikan memperkirakan masa pakai baterai yang berguna pada 150.000km dan daya tahan 5 tahun. Baterai saat ini menyumbang sekitar 40% dari berat kendaraan listrik dan berkotribusi sekitar 50% dari harga akhir.
Dalam industri Mobil listrik baterai ( EVBs), membangun pabrik baterai teritegrasi sejak dari sel, modul dan paket sangat mahal. Resiko besar. Makanya diperlukan supply chain global ke pabrik EVBs dalam bentuk terpisah, yang terdiri dari Sel baterai, Modul dan Paket. Ini akan lebih efisien bagi Industri EVBs. Tentu para supply chain membuat Sel baterai, modul dan paket sesuai dengan design Industri EVBs. Pada giirannya nilai tambah itu ada pada Industri EVBs. Tentu sepadan dengan biaya riset yang mahal.
Di Indonesia sepertinya dalam tiga tahun kedepan sulit untuk mendirikan Industri EVBs. Namun political Will pemerintah sudah ada. Tahun 2015 Presiden Joko Widodo sudah memberi sinyal bahwa EVBs sebagai alat transportasi masa depan di Tanah Air. Presiden menghendaki mobil listrik dapat dikembangkan sendiri di Indonesia oleh industri otomotif. Lompatan teknologi otromotif ini mendapat sambutan positif dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO). Sejak 2015 tidak terdengar anggota GAIKINDO mau bangun mobil Listrik sendiri.
Kendalanya adalah dari pemerintah sendiri tidak satu visi terhadap rencana kemandirian industri EVBs. Menteri ESDM lebih kepada hilirisasi tambang Nikel, yaitu membangun industri sel baterai. Sementara Menteri Perindustrian belum ada rencana konkrit untuk terbangunnya EVBs secara mandiri. Dukungan stakeholder dari anggota GAIKINDO belum berani memulai. Karena kita belum siap dari sisi regulasi untuk mendukung pemasaran EVBs yang membutuhkan business model dengan dukungan insentif pajak murah, asuransi, kompensasi pengurangan karbon, ketersediaan Listrik untuk stasiun charger, R&D. Tanpa itu, sulit bagi Industri EVBs bisa mandiri, apalagi bisa mencetak laba. Karena biaya EVBs masih lebih mahal dibandingkan kendaraan konvesional ICE (Integrated Concept Engineering).
Bagaimana dengan hilirisasi nikel ?
Antara Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL) telah tekan perjanjian kerjasama investasi baterai kendaraan listrik dengan anak perusahaan ANTAM, Nilai investasi mencapai US$ 6 miliar atau sekitar Rp 86 triliun. Kerja sama tersebut tidak cuma pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik. Namun juga termasuk di dalamnya Proyek Integrasi Baterai EV (Electric Vehicle) Indonesia, yang meliputi penambangan dan pemrosesan nikel, bahan baterai EV, pembuatan baterai EV, sampai daur ulang baterai. Saya akan tinjau dari aspek bisnis ala pedagang sempak.
Untuk anda ketahui bahwa bahan baku baterai itu terdiri dari Nikel, Lithium, Kobalt. Untuk nikel, Indonesia menguasai sebesar 30 persen dunia. Sementara produsen lithium terbesar ada di China, Chili, Brazil, Australia. Argentina. Produsen kobalt adalah Afrika ( Kongo). Pada baterai itu terdapat dua komponen, yang terdiri dari battery cell dan battery pack. Battery cell itu, material baterai yang dalam bentuk beberapa sel. Nah Sekelompok sel membentuk modul dan sekelompok modul membentuk paket ( battery pack).
Tahukah anda bahwa China,Korea, Jepang, bangun pabrik baterai di Indonesia, hanya sebatas Baterai Cell saja. Harganya di pasar USD 10 perKwh. Sementara Battery pack yang didalamnya ada software untuk distribusi dan kendali power, pengendalian suhu kendaraan didatangkan dari pabrik mereka di negaranya, harganya USD 111 per kwh. Itu buatan China. Kalau buatan Eropa harga lebih mahal 60%. Gimana perbedaannya nilai tambah antara Battery cell dan Battery pack ?
Mari kita lihat hitungan berikut. Kalau satu kendaraan butuh 75kwh. Maka harga battery cell = USD 750 ( 75Kwhx USD 10/kwh) atau kalau dirupiahkan = Rp. 11.700.000. Harga battery pack = USD 8.325 ( USD 111x 75KWh) atau kalau dirupiahkan nilainya Rp. 130 juta. Perbandingan nilai tambah antara battery pack dan cell, adalah +/- 10 kali. Perbedaan 10 kali itu karena faktor tekhnologi. Battery pack butuh riset dan kerja keras dari insinyur terbaik. Battery cell, hanya perlu kuli doang dan mau dirusak lingkungan menguras SDA.
Mengapa China, Korea, Jepang dan AS, tidak mau membuat battery pack di Indonesia ? oh engga mungkin. Itu sumber daya mereka. Itu sangat mahal dan langka. Karena itu otak mereka semua terpakai. Beda dengan kita yang otaknya hanya kepakai 10% doang. Banyak ngayalnya. Bisanya jadi kuli dan obral SDA. Engga percaya? tuh lihat mana pernah Jepang, Korea, China tranfer industri otomatif nya ke Indonesia. Sejak jaman laskar pakai bambu runcing sampai ustad pakai Alvard, kita tidak punya industri mobil nasional yang mandiri.
***
Apakah benar potensi bisnis baterai itu besar? Jawabnya jelas sangat besar. Namun bukan berarti mudah. Tidak perlu buru buru euforia dangan data potensi sumber daya alam yang kita punya sebagai bahan baku baterai. Misal baterai yaitu Lithium-ion (Li-ion) dan Nickel Metal Hydride (NiMH). Baterei Li-ion menggunakan unsur logam litium dan kobalt sebagai elektroda, sementara itu NiMH memanfaatkan nikel. Ada empat hal yang harus kita pahami tentang peluang baterai mobil listrik ini.
Pertama, bahan baku baterai adalah nikel, kobalt, dan lithium. Yang jadi masalah adalah menambang kobalt itu tidak mudah. Maklum ia merupakan hasil sampingan dari Tambang nikel. Kalau ditambang khusus ya tidak layak secara investasi. Mengapa ? Tidak ada mekanisme dimana pasokan dapat bereaksi terhadap permintaan dan harga. Kalaupun kita ada nikel, hanya 10% dari total produksi untuk baterai. Sisanya diserap untuk stainless steel. Itu karena harga jual nikel masih lebih menguntungkan untuk stainless Steel daripada buat baterai.
Kedua, nikel harus melewati proses mengubah nickel pig iron (NPI ) menjadi nickel matte, agar dapat digunakan untuk membuat bahan kimia untuk baterai. Dan ini yang produksi adalah china. Produksi Tsingshan Holding Group yang di Indonesia itu semua diekspor ke china dan pabrik baterai di Indonesia harus impor dari china. Atau pabrik baterai bangun sendiri smelter untuk nickel matte. Jelas engga ada pabrik baterai mau invest smelter khusus nickel matte. Karena resiko besar dan tingkat return rendah sekali. Lain halnya bagi Smelter. Produksi nickel matte hanya 10% saja dari total produksi barang jadi nickel. Makanya feasible.
Ketiga, Berdasarkan informasi dari Badan Geologi, Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa belum menemukan cebakan litium di Indonesia, meskipun hingga saat ini ada indikasi mineralnya berasosiasi dengan batuan granit pegmatit. Untuk mengolahnya tidak mudah. Karena butuh Tekhnlogi dan energi listrik besar untuk memisahkannya dari mineral lain. Sementara Mineral yang mengandung lithium hanya 40 g/ton. Jelas tidak efisien ditambang di Indonesia. Kecuali di Afrika dan china, AS yang mineralnya bercampur dengan tanah dan kapur. Jadi tetap secara ekonomis kita harus impor lithium carbonate equivalent. Harganya di pasar USD 12,000/ ton.
Keempat, tahun 2020, Seorang eksekutif perusahaan Contemporary Amperex Technology Co Ltd ( CATL) mengatakan bahwa perusahaan sedang mengembangkan baterai kendaraan listrik (EV) jenis baru yang tidak mengandung nikel atau kobalt. Tahun 2022 sudah bisa produksi baterai tanpa nikel. Ini menjawab kekawatiran Tesla yang mulai stress karena kurangnya pasokan kobalt. Artinya potensi nickel kita tidak lagi jadi Andalan untuk terbangunnya industri baterai berkelanjutan. Walau pemerintah buat aturan dalam dua tahun boleh impor bahan baku baterai, namun setelah 2 tahun lagi kita tetap harus impor bahan baku baterai.
Kesimpulan
Mengapa Hyundai membangun pabrik baterai di Indonesia ? Bukan karena potensi SDA kita tetapi disamping sebagai supply chain global industri EVBs, juga karena prospek pasar konsumen mobil listrik di Indonesia dan faktor efisiensi logistik bahan baku litium dari Australia. Setelah pabrik baterai dibangun, mereka akan mudah dan siap bangun pabrik EVBs Di Indonesia dan menjualnya dalam negeri. Cerita lama berulang. Kita hanya jadi konsumen saja tanpa ada kemandirian. Sama dengan Industri ICE puluhan tahun tidak mandiri.
Apa solusinya ? Kita punya posisi tawar sebagai penghasil nikel, bahan baku utama baterai. Kita punya pasar kendaraan nomor 5 dunia. Kalau saya pedagang sempak. Ogah saya terima investasi asing kalau hanya produksi baterai sel doang. Saya maunya mereka juga produksi battery pack, jadi ada transfer tekhnologi. Atau minta SWAP saham. Kalau CATL bangun pabrik baterai cel di Indonesia, kita juga berhak atas saham di pabrik battery pack di China. Jadi kita bisa tempatkan insinyur kita di CATL untuk belajar. Itu kalau saya, pedagang sempak. Entahlah kalau pejabat negeri ini.
No comments:
Post a Comment