Pertama. Pemerintah selalu mengukur kinerja ekonomi berdasarkan angka PDB. Saya yakin ketika pemerintah membanggakan angka PDB pada waktu bersamaan orang awam bingung. Bertambah bingung ketika katanya PDB meningkat sementara mereka rakyat jelantah merasakan pendapatannya semakin tidak cukup akibat harga harga naik. Bertambah bingung lagi bagi mereka yang kena korban PHK karena pabrik tempatnya kerja bangkrut.
AS itu sangat objektif mengukur kinerja ekonomi. Mereka tidak lihat angkat PDB. Tetapi angka nonfarm payrolls, yaitu data tenaga kerja. Artinya semakin besar kebutuhan pekerja, maka pengangguran berkurang. Itu artinya mesin ekonomi bergerak. Ekspansi bisnis terjadi. Daya beli tumbuh. Misal laporan juni ini angka nonfarm payrolls meningkat. Artinya disaat suku bunga tinggi, ekonomi AS rebound. Ngapain AS akan turunkan suku bunga. Walau pertumbuhan ekonomi AS hanya 1,6% kuartal 1 tahun ini, EGP aja.
Bandingkan dengan Indonesia dimana PDB kuartal 1 tahun 2024 diatas angka 5%. Indikator angkatan kerja di Indonesia tidak valid. Datanya telat 3 bulan, itupun tidak database. Masih survey manual. Beda dengan AS yang update day by day dilaporkan setiap bulan. Maklum data base kependudukan nya sudah online terintegrasi. Jadi pasti valid.
Nah di Indonesia kita hanya bisa tahu data objektif dari kurs rupiah yang terus depresiasi. Artinya fundamental ekonomi kita tidak cukup kuat menghadapi goncangan faktor eksternal. Pertumbuhan kredit turun. Artinya ekspansi dunia usaha menurun. Tentu daya serap tenaga kerja berkurang, bahkan ada yang terpaksa PHK. Pembelian kendaraan turun. Itu artinya kelas menengah sudah mulai bokek. Engga bisa lagi bergaya. Harga pangan naik. Itu artinya memenggal income mereka yang bergaji dibawah Rp. 5 juta/bulan. Mulai pusing emak emak mikirin uang belanja. Porsi pengeluaran akan otomatis turun. Pasar domestik drop. Padahal kontribusi belanja domestik diatas 50% pada PDB.
Kedua. Pemerintah selalu ngeles kalau dikatakan utang kita sangat besar. “ Ah rasio utang terhadap PDB kita terendah dibandingkan negara lain. Kita kan masih dibawah 40%. Jauh dibawah pagu utang terhadap PDB yang ditentukan UU. Aman terkendali. “ begitu kira kira kata mereka. Udah seperti buzzer ngomongnya.
Utang itu keniscayaan kalau anda ingin berkembang. Apapun itu termasuk masalah personal. Karena lewat utang itu anda bisa mengeskalasi pertumbuhan diatas kebutuhan sehingga anda bisa surplus untuk lebih besar lagi tumbuhnya. Tetapi itu dengan syarat bila kewajiban yang timbul ( bunga) dari adanya utang itu tidak lebih 10% dari pendapatan anda. Kalau lebih dari , itu sudah pasti utang bukannya alat berkembang malah mempercepat anda tumbang.
Mari kita lihat data negara yang utang terhadap PDB tinggi namun smart mengelola utang. Singapore, walau utang terhadap PBD sebesar 167,9% namun singapore bayar bunga setiap tahunnya hanya 0,3% dari penerimaan pajaknya. Jadi engga ada arti. Mengapa ? Singapore melarang negara berhutang untuk belanja rutin. APBN Singapore selalu surplus. Jadi Singapore tidak berhutang karena bokek atau defisit. Lantas untuk apa ? untuk meningkatkan daya tahan ekonomi dan sekaligus hedging terhadap risiko faktor eksternal. Maklum mereka negara jasa yang ekonominya bergantung kepada luar.
Jepang walau utang terhadap PDB 261% tetapi pembayaran bunga 0 koma terhadap PDB. Bank central rate hanya 0,1%/tahun. Artinya walau utang besar, bayar bunga tidak significant. Sama dengan China. Walau utang terhadap PDB diatas 300% namun pembayaran bunga tidak significant. Karena didominasi oleh local government financing vehicle (LGFV) yang skemanya walau utang negara namun tidak dijamin negara. Sistem bagi hasil.
Nah Indonesia walau rasio utang terhadap PDB masih dikisaran 39%. Namun untuk pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan pajak itu mencapai 47,4% ( rata rata tahun 2015-2022). Artinya dari Rp 100 pendapatan pajak, Rp. 40 bayar bunga dan cicilan. ini sudah masuk dengan jebakan utang yang bukannya berkembang tapi hanya masalah waktu akan tumbang. Mengapa ? karena udah tidak rasional. Hampir 50% pendapatan habis untuk bayar bunga dan cicilan. Pasti akan gali lubang tutup lubang.
Mengelola negara dan personal sama saja. Bayangkan anda punya gaji bulanan, 50% habis bayar bunga dan cicilan utang. Saya yakin anda bisa stress. Engga ada lagi kenyamanan di rumah tangga. Bangun pagi udah berat banget. Lihat muka bini udah engga ada gairahnya. Mengelola perusahaan juga sama. Kalau hampir setengah dari pendapatan untuk bayar bunga dan cicilan utang. Ya, tinggal tunggu kapan masuk PKPU ( Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ). Kan engga mungkin gali lobang tutup lobang terus. Jadi ukurannya bukan dari rasio utang tetapi likuiditas. Dan likuiditas itu bagus kalau untuk bayar bunga dan cicilan di bawah 10% dari pendapatan.
No comments:
Post a Comment