Euforia bisnis tambang batubara seperti sebelum tahun 2010 sudah tidak ada lagi. Karena sejak kebijakan energi ramah lingkungan yang mendunia, termasuk China, telah terjadi perubahan pemanfaatan batubara secara massal khususnya untuk pembangkit listrik. Di China replace batubara ke gas sejak tahun 2008 berlangsung pada hampir semua pembangkit listrik. Secara lambat namun pasti replace itu terjadi. Itulah penyebab utama mengapa harga batubara terus turun dari tahun ketahun. Sehingga sampai pada harga yang secara ekonomi tidak lagi menarik.
Apakah kebutuhan batubara di pasar global berkurang? tidak secara significant, terutama batubara kadar tinggi. Yang berkurang itu adalah batubara dari Indonesia. Karena sebagian besar kalori batubara kita berkadar rendah, yang mana pasarnya adalah pembangkit listrik. Cadangan reserve batubara kadar rendah ini di Indonesia ada sekitar 28 miliar ton. China dan Jepang menggunakan batubara berkadar tinggi untuk membuat gas sintetik sebagai substitusi LPG. Tahun 2020 ini harga batubara mulai terkerek naik di pasar global. Mengapa? karena tekhnologi downstream dari batubara sudah bisa dikembangkan secara ekonomis terutama oleh China dan Jepang.
Lantas bagaimana solusinya agar potensi ekonomi batubara Indonesia bisa bangkit menjadi kekuatan ekonomi seperti era sebelumnya? ya harus ada downstream batubara. Apa saja downstream Batubara itu? Yaitu Coal upgrading, Coal to Dimethyl Ether (DME), Coal to methanol. Karenanya bagi Indonesia downstream itu adalah keniscayaan, terutama pengolahan Coal upgrading. Apakah rumit tekhonologi Coal upgrading? tidak juga. Prosesnya, batubara kadar rendah dijadikan bubur ( slurry) dengan menggunakan minyak tanah yang dicampur dengan minyak residu, kemudian dipanaskan pada temperatur 150˚C dan tekanan sekitar 3,5 atm. Batubara hasil proses dipisahkan, dikeringkan, dan dibuat briket. Coal upgrading ini pasarnya sangat kuat dan yang penting harganya bagus.
Akan lebih baik lagi bila tidak hanya diolah sebatas Coal upgrading tetapi diproses lebih lanjut. Dari Coal upgrading itu bisa diolah jadi Dimethyl Ether (DME) yang memiliki karakteristik mirip dengan Liquefied Petroleum Gas (LPG) sebagai bahan bakar ramah lingkungan. DME sama sekali tidak menghasilkan asap SOx atau asap hitam (jelaga) saat dibakar. Pasar untuk DME sangat luas sebagaimana pasar LPG. Namun secara phisik DME lebih mudah disimpan dan didistribusikan, bukan hanya untuk industri, tetapi juga untuk rumah tangga. DME adalah produk saingan dari LPG. Sementara Coal to methanol, sebagai bahan utama membuat gas sintetik. Ada 4 macam proses teknologi yang telah dikenal di dunia yaitu Fixed-bed gasifier, Fluidized-bed gasifier, Entrained-bed gasifier dan Molten bath gasifier. Ada 3 jenis industri kimia yang dapat memanfaatkan gas sintetik ini sebagai alternatif bahan bakunya yaitu industri metanol, industri asam formiat dan industri amonia, dan industri pupuk.
Yang jadi masalah adalah tekhonologi downstream batubara ini sangat mahal. Contoh, Shenhua Ningxia Coal Industry Group, China membangun Industry pengolahan batubara yang terintegrasi (tiga phase ), yaitu Coal upgrading, DME, Co methanol. kapasitas pengolahan batubara sebesar 20,46 juta ton. Menghasilkan 4,05 juta ton minyak pertahun, termasuk 2,73 juta ton Diesel. Produksi sampingan adalah naphta yang diperlukan oleh industri petrokimia, Gas alam Cair, Sulfur dan Alkohol. Semua produk diatas standar emisi Eropa. Sekarang industri sejenis ada banyak di China. Kebutuhan batubara mencapai ratusan juta ton pertahun.
Jadi apa solusinya bagi Indonesia agar investasi downstream batubara ini dapat tumbuh? Ya,kita harus tiru seperti pengembangan downstream Nikel. Sebagaimana kita ketahui nikel kita berkadar rendah. Namun berkat insentif yang selama ini pemerintah berikan, maka industri downstream Nikel tumbuh pesat. Sekarang sudah sampai kepada minat membangun industri baterai yang merupakan produk paling hilir dari nikel. Nah, kalau downstream batubara ini juga dapat insentif pajak, tentu akan menarik minat investor untuk masuk. Tentu akan menambah pendapatan devisa bagi negara dan menampung angkatan kerja besar sekali.
Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah menambahkan aturan baru yang tercantum dalam Pasal 128 A yang menyebutkan, pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara. Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen. Kini investor menanti PP yang mengatur mengenai insentif tersebut. Usul saya kepada pemerintah agar industri downstream batubara ini bisa tumbuh seperti Nikel, adalah insentif pajak/royalti 0% bagi industry downsteram coal, harus disertai larangan bertahap ekspor mentah. Kalau ekspor mentah tetap dibolehkan, yang terjadi orang malah ngemplang royalti dan tidak ada supply guarantee bagi downstream coal. Pengusaha tambang kita nakal, boss. Engga ada niat untuk bangun industri kalau engga dipaksa. Mental mereka mental dagang doang.
No comments:
Post a Comment