Sunday, July 11, 2021

Fakta, COVID-19 mendatangkan Laba bagi Big Pharma.

 




Saya dapat kiriman makalah CHIC conference di Shanghai pada maret lalu yang bertema “Innovation in Healthcare – Beacon of Hope in a COVID World”. Yang menarik ulasan teman dari Morgan Stanley Shanghai. Ulasannya singkat namun mengena bagi saya. Bisnis yang mudah dapatkan uang adalah bisnis yang mendukung diktator profesi. Walau ia  kontroversial namun profesi itu akan jadi otoritas mendorong orang membeli lewat kebijakan pemerintah. Semakin banyak yang menolak semakin besar peluang pasar dan semakin besar laba tercipta.


Di dunia modern ini setiap yang berseragam maka dia merasa jadi otoritas. Engga boleh disalahkan. Tentara berseragam lengkap untuk tempur. Jangan pertanyakan sikapnya dalam operasi militer. Siapapun yang meragukannya akan dianggap musuh. Para agamawan  seperti ustad, pendeta, dll selalu tampil dengan seragamnya. Kalau dia bicara engga boleh dipertanyakan. Dia otoritas atas kata katanya. Dokter dengan seragamnya juga tidak boleh dipertanyakan sikapnya dalam mendiagnosa pasien dan memberi obat. 


Mengapa ? tentara, agamawan, dokter itu bekerja dengan standar operating procedur yang ketat. Tentara hanya boleh membunuh ketika perang. Agamawan hanya boleh bicara depan jamaahnya. Dokter hanya boleh memberikan terapi dan opini kepada pasien yang dia tangani sesuai keahliannya. Kalau mereka salah atas profesinya ? gimana?. itu mereka punya pengadilan internal sendiri. Orang luar tidak boleh mengadili kalau itu berkaitan dengan tugasnya kecuali itu kejahatan personal. 


Otoritas lembaga dan profesi itu memang tercipta dalam struktur sosial masyarakat modern. Engga boleh ngiri. Ingat. Hanya tentara ,  agamawan dan dokter yang ada sumpah profesi. Yang lain tidak. Karir mereka berkembang karena akreditas lembaga dan juga akreditas dari masyarakat yang tertolong atas kehadiran mereka. Lantas bagaimana kalau sampai terjadi perbedaan pendapat dengan masyarakat. ? 


Saya dapat kiriman video dari Teman dan juga dapat dari anggota DBB. Video itu tentang anti tesis dari COVID-19 yang disampaikan oleh   Lois Owien. Dia hanya yakin dengan sikapnya berdasarkan akademis dan data yang dia kuasai. Bukan hanya sekedar rumor. Namun bagaimanapun dia tetap salah. Mengapa? walau bidang keilmuan dia sebagai dokter namun dia bukan anggota IDI. Artinya dia tidak punya otoritas bicara sebagai dokter dan dia tidak pakai seragam dokter.


Dunia berubah secara revolusioner karena keberadaan tentara. Blok antar negara terbetuk dan peta politik berubah sesuai dengan kekuatan militer mereka yang berseragam. Agamawan juga menjadi agent perubahan politik dalam sistem demokrasi dan dinasti. Dokter dan sederet sistem yang mendukungnya bersama WHO juga menjadi roadblock sendiri yang memaksa manusia punya standar persepsi sama terhadap suatu penyakit.


***


Pandemi COVID-19 datang disaat dunia sedang menghadapi ketidak pastian ekonomi global. Dalam situasi negara di dunia dalam keadaan demam akibat krisis perang dagang China-AS, Pandemi melanda dunia. Keadaan itu semakin sulit bagi negara untuk melakukan recovery. Karena dampak dari pandemi itu terjadi pembatasan produksi akibat social distance. Pasar menciut dan likuidtas mengering. Karena dana publik terkuras untuk stimulus ekonomi dan program recovery ekonomi akibat COVID-19.


Tetapi sistem kapitalisme memang unik. Tidak ada istilah kelam. Tidak selalu membuat semua ruang gelap. Selalu ada cahaya terang masuk di saat gelap datang. Artinya di tengah krisis, selalu ada peluang  untuk berkembang bagi sebagian orang. Jadi tidak selalu prahara meliputi duka semua. Ada juga ceria.  Mari kita liat data.


Data marketwatch Tahun 2020, sejak COVID melanda terjadi peningkatan penjualan Vitamin C sangat drastis. 90% Supply chain industri Pharmacy global untuk Vitamin C adalah China. Tahun 2020 total supply Chain China untuk berbagai industri pharmacy dan beragam merek senilai USD 1,8 miliar. Tetapi tahukah anda bahwa nilai penjualan Vitamin  C tingkat retal 1000 kali lipat. Contoh aja. Ester C di AS dalam 54 minggu mampu menjual USD 500 juta lebih. 


Ada 2000 merek Vitamin C yang diproduksi di dunia. Belum lagi multivitamin yang ada kandungan Vitamin C. Produksi merek Vitamin C yang dipasok oleh China itu sebagian besar ada di AS dan Eropa. Tentu mereka lah mendapatkan nilai tambah ribuan persen. Kalau dihitung diperkirakan, nilainya 100 kali dari produksi migas dan Mineral kita. Atau setara dengan pendapatan semua negara ASEAN. 


Bagaimana dengan penjualan Obat dan vaksin yang terkait dengan COVID-19?  Saya tidak tahu detailnya. Namun membaca laporan dari Gilead’s 2021 guidance total penjualan tahun 2021 diharapkan mencapai USD 2,9 trilion. Atau sama dengan 3 kali PDB kita atau sama dengan semua PDB negara ASEAN. Mau tahu laba mereka? Berdasarkan Wharton Research Data Services, margin laba diatas 75%. Dahsyat engga?  mana ada bisnis normal bisa untung gigantik itu.


Prospek jangka panjang bisnis pharmacy akan terus melambung. Mengapa? akibat pandemi yang menglobal, persepsi dunia terhadap bahaya COVID 19 dan peduli akan kesehatan sudah terbentuk. Ini captive market. Dari persepsi ini, ada peluang pasar 7,7 miliar penduduk bumi. Katakanlah 5% saja atau 400 juta jadi potesi market. Data itu masuk akal. Karena tahun ini saja kasus COVID 19 sudah mencapai 180 juta kasus. Jadi mencapai 400 juta kasus engga sulit amat dech.  Lantas ada berapa industri  yang menguasai market share global itu? mau tahu? tak banyak. Hanya 8 perusahaan saja. Apa saja? Johnson & Johnson, Sinovac Biotech, AstraZeneca, Regeneron Pharmaceuticals, Eli Lilly, Gilead Sciences, Moderna, Pfizer and BioNTech.  Hebat ya. Mereka memang diktator ditengah 7,7 miliar populasi dunia.


Bagaimana Indonesia ? Badan Pusat Statistik (BPS) mendata industri kimia farmasi mengalami akselerasi pertumbuhan di setiap kuartal pada Januari-September 2020. Adapun, pertumbuhan kuartal III/2020 mencapai 14,96 persen secara tahunan. Peningkatan itu berasal dari adanya pandemi. Sementara obat lain justru menurun permintaanya. Yang menyedihkan. Peluang begitu besar tidak membuat pabrik obat dapat cuan gede. Apa pasal? kebutuhan bahan baku obat (BBO) naik 30-300 persen dan itu 90% impor. Tetap saja pihak raksasa pharmasi dunia yang untung gede.


***


Karena tulisan saya di blog " Fakta  COVID-19 mendatangkan laba  bagi Big Pharma". Ada yang WA saya dengan nada keras. “ Anda seharusnya jangan fitnah kalau COVID-19 ini menguntungkan pedagang obat. Disaat pandemi ini kita harus berprasangka baik. Jangan sebarkan hoax.” Katanya. Tetapi saya tidak jawab. Kemudian ada teman yang telp saya. Gimana bisa tahu kalau COVID itu menguntungkan pedagang obat? Gampang, kata saya. Cek aja stok di pasar. Tanggal 17 Juli lalu, Jokowi blusukan ke apotek di kawasan Bogor. Terbukti benar. Stok obat COVID-19 kosong. Setelah itu Jokowi langsung telp menteri kesehatan. Memberi tahu fakta temuanya. Menkes berjanji akan membenahi. 


Setelah itu menkes membuat situs informasi tentang stok obat dan dimana tempat yang bisa diakses mendapatkan obat. Itu data based online untuk toko obat di seluruh Indonesia. Selesai? tidak. Bagi anda pernah terjun di marketing barang pabrikan tahu. Bahwa stok pada setiap agent itu dikendalikan pabrikan. Kalau ada kenaikan harga tanpa seizin pabrikan, agent itu bisa di blacklisted. Kalau sampai ada barang hilang di wilayah marketnya, agent lansung di banned. Intinya adalah distribusi obat dikendalikan oleh pedagang. Pedagang ( distributor) tidak mungkin bisa seenaknya kendalikan stok tanpa izin pabrikan.


Covid itu sudah berlangsung lama. Artinya kalau dibilang kasus stok hilang di pasar karena permitaan tinggi dan mendadak, itu tidak masuk akal. Setiap pabrik ada PPC ( planning production  control) yang setiap bulan di-revisi berdasarkan perkembangan pasar. Jadi jawabannya jelas. Bagaimana obat bisa hilang di market? Bahwa pabrikan bersama agent memanfaatkan peluang COVID ini untuk mendulang laba. 


Menteri Perdagangan dan perindustrian harus turun tangan. Jangan pura pura bego dech. Kerja yang benar. Semua agent dan pabrik itu kalian yang keluarkan izin. Audit mereka. Kalau terbukti mempermainkan stok dan harga, penjarakan berdasarkan UU wabah. Ini saatnya negara hadir. Jangan sampai negara kalah dan terpaksa mensubsidi kenaikan harga obat, atau rakyat dipaksa beli dengan harga tinggi karena ulah kartel obat.


Jokowi blusukan itu cara halus menyindir semua pihak. Bahwa Mafia obat itu ada. Dan itu sudah jadi jaringan yang rumit. Melibatkan semua pihak dari sejak Kementrian, BPOM, DPR. Lobi mereka kuat sekali. Karena terhubung dengan big pharma. Semoga  tataniaga obat kita bisa benahi segera. Ini saatnya negara harus berani melawan kekuatan besar dibalik mafia obat. Mengapa? Kita tidak akan bisa memenangkan perang melawan COVID kalau kita tidak bisa memenangkan perang melawan mafia Obat. Semoga bisa dipahami.




No comments: