Sunday, May 15, 2022

Rencana Tesla invest di Indonesia?

 




Tahun lalu Tesla negosiasi dengan Indonesia untuk bangun pabrik EV. Akhirnya Tesla membatalkan rencananya itu. Alasannya sederhana saja. Karena Indonesia tidak bisa comply ESG ( enviromental Social Governance ).Sementara sarat utama investasi bagi perusahaan yang sudah IPO di Wallstreet harus di negara yang patuh dengan standar ESG. Mengapa Indonesia dianggap tidak memenuhi ESG ? karena Indonesia belum ada solusi konkrit tentang limbah penambangan nikel.


Kemudian Tesla lanjutkan rencana membangun pabrik EV di India. Setelah negosiasi yang panjang. Bahkan Tesla sudah mendirikan perusahaan di India, Tesla India Motors and Energy Private Ltd di Bengaluru pada 8 Januari, 2021. Namun tiga hari lalu Tesla mengumumkan bahwa mereka mundur dari rencana itu. Mereka pastikan meninggalkan pasar India. 


Apa pasal? karena India tidak ingin  hanya dimanfaatkan pasarnya saja. Tanpa ada tekad serius Tesla bangun pabrikasi secara terintegrasi di India. "Kami hanya punya pasar, dan anda punya tekhnologi. Kalau mau masuk pasar kami, ya serahkan tekhnologi kepada kami. Kalau engga, Ya engga usah invest. " Kira kira itu sikap pemerintah Idia. Tesla minta izin waktu secara bertahap membangun pabrik terintegrasi. India tidak masalah. Tetapi tetap saja impor komponen yang didatangkan dari pabrik Tesla di CHina kena pajak impor tinggi. Itulah yang membuat Tesla capek negosiasi dan akhirnya cao.


Sebenarnya tahun 2019 Tesla berencana membangun pabrik baterai EV di India. Itu juga gagal. Karena India tidak mau tekhnologi modul baterai didatangkan dari pabrik Tesla di China. Harus bangun sendiri di India. Kalau engga, ya dikenakan tarif impor tinggi. Jadi sebenarnya, India tidak salah. Tesla sudah tahu platform pengembangan industri di India sebelum dia masuk. Namun Tesla mau take advantage akan keberadaan tekhnologi EV dan kesiapan China mau dukung pembiayaan. Ternyata India tidak bisa dibujuk  kalau kepentingan domestik diabaikan.


Mungkin anda bingung. Baik saya jelaskan. Pabrik EV itu ada tiga unsur. Pertama, lempengan baterai. Kedua, modul baterai. Ketiga, kerangka dan fitur. Ya lempengan baterai itu bisa dibuat dimana saja. Nilai tambahnya rendah. Satu paket lempengan baterai per satu kendaraan value nya hanya USD 1200. Sementara modul baterai itu nilai tambahnya USD 15,000. Nah modul tekhnologi ini tidak akan ditransfer tekhnologinya kepada pihak lain. Sedangkan kerangka, itu bisa dibuat di mana saja. Karena tekhnologinya sederhana. Soal fitur itu bisa juga engga sulit.


Nah apa agenda pertemuan Jokowi dengan Elon Musk boss Tesla? apa yang ditawarkan Indonesia kepada Tesla untuk berinvestasi di Indonesia? kemungkinan besar itu hanya lempengan baterai saja, bukan modul baterai. Ya sama dengan yang dibangun oleh Indonesia Battery Corporation (IBC). Perusahaan patungan empat BUMN, PT Indonesia Asahan Aluminium/Inalum), PT Anyam Tbk (ANTM), PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero). Kemungkinan besar yang invest di Indonesia itu adalah unit bisnis Tesla di China. Karena dia engga mungkin dapat duit dari AS, kecuali dari China yang tidak mensaratkan ESG. Kemungkina sukses kecil sekali. Namun sekedar PR ya lumayan memuaskan pejabat yang atur pertemuan antara Elon Musk dan Jokowi.


Namun yang patut diperhatikan adalah kalau alasan bangun pabrik baterai itu, Tesla juga minta izin masuk pasar domestik untuk EV nya. Ya pemerintah harus tetap dengan kebijakan standar perlindungan pasar domestik. Kalau engga, sampai kapanpun kita tidak akan punya industri EV terpadu. Pasar domestik hanya dimanfaat pihak luar. Nasip kita akan sama dengan industri kendaraan konvensionnal ( Non EV) yang ada sekarang, yang kita tidak bisa mandiri.  Itu karena kebijakan masa lalu yang lemah atau longgar terhadap APM ( Agen Pemegang Merek).


***

Program hilirisasi Nikel

Kalau saya baca program hilirisasi Nikel itu sudah benar sesuai dengan UU Minerba. Jokowi laksanakan UU itu dengan konsisten. Tidak ada satupun kementrian yang berani bermain. Ya karena sudah undang undang. Artinya hilirisasi itu sudah konsesus politik.  Walau UU Minerba  itu kali pertama di create era SBY dan di revisi di era Jokowi, namun sampai sekarang hilirisasi itu hanya sebatas  antara (intermidiate) dan didominasi oleh produk kelas dua, yakni nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi). Belum sampai ke produk jadi yang nilai tambahnya tentu jauh lebih tinggi.


Pada tahun 2021, konsorsium BUMN, PT Pertamina (Persero), PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT PLN (Persero) dan PT MIND ID. mendirikan pabrik baterai , namanya PT Industri Baterai Indonesia (IBI) dengan masing-masing 25%. Ini juga bukan baterai modul. Hanya sebatas lempengan baterai. Tapi nilai tambahnya lumayan. Itu 5 kali daripada jual nikel mentah. Kalau modul baterai, itu nilai tambahnya bisa mencapai 50 kali.


Menurut saya, itu sudah bagus. Asalkan Pemerintah focus kepada riset dalam negeri agar kita mampu mengembangkan sendiri downstream nikel itu. Berdayakan saja  kampus seperti ITB, ITS, dan lain lain agar terlibat serius mendapatkan tekhnologi downstream nikel yang lebih luas. Mengapa? kalau kita tidak focus riset, saya kawatir kita dihabisi oleh predator dari luar. Bayangin aja betapa begonya kita kehilangan puluhan kali nilai tambah hanya karena kita tidak kuasai tekhnologi. 


Belum lagi saya dengar ada skema supply chain yang ingin kuasai SDA nikei. Misal PT Industri Baterai Indonesia kerjasama dengan Hyundai Motor Company, KIA Corporation, Hyundai Mobis, dan LG Energy Solution bangun pabrik baterai senilai US$1,1miliar. Begitu juga IBI kerjasama dengan Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL) asal Tiongkok dengan investasi sebesar US$ 5 miliar (Rp 72 triliun), dan LG Chem Ltd asal Korea Selatan sebesar US$ 13-17 miliar (Rp 187,5-245 triliun).


Investasi tersebut diatas sebenarnya itu sama saja dengan counter trade ( imbal beli SDA). Investasi dibayar dengan produksi. Karena investor yang kerjasama dengan IBI itu adalah juga offtaker produk baterai itu sendiri. Tetapi itu hanya sebatas lempengan baterai. Lempengan itu dikapalkan ke CHina untuk mendukung supply chain industri modul bateral dan EV. Kita hanya kebagian nilai tambah 5 kali saja dari harga nikel. Sementara korea dan cHina dapatkan nilai tambah 10 kali dari lempengan baterai itu. Belum lagi China dan Korea dapat laba dari pabrik baterai mereka di Indonesia sebagai JV.


Betapa besarnya anggaran pendidikan di APBN. Bahkan 20% dari total APBN. Itu tentu berharap investasi pendidikan bisa memberikan sumbangan bagi kemajuan negeri ini. Tetapi sampai sekarang kita hanya jadi pecundang di bidang hilirisasi SDA. Karena kampus hanya sibuk berpolitik dan omong kosong dan output nya para sarjana yang sibuk cari kerjaan dan nyinyir. Mau gimana lagi. Itulah nasip negeri kita. Mindset terjajah belum tuntas dihapus. Inferior banget nget. 


Apalagi lihat jokowi sampai menemui Elon. Diterima pakai kaos doang. Saya nangis dalam hati. Begitu besar keinginan presiden saya untuk nilai tambah SDA negeri ini. Kalaulah anak negeri ini mampu mandiri dibidang hitech, engga mungkin presiden saya sampai merendahkan diri bertemu dengan Elon…

No comments: