Monday, July 20, 2020

COVID-19 datang., ekonomi China juara dunia.



Dengan adanya pandemi dan sekaligus krisis ekonomi sebagai kelanjutan dari perang dagang, pada kwartal pertama Ekonomi China mengalami kontraksi 6,8%. Survey yang dilakukan media digital the Diplomat. Pada kwartal pertama,  separuh  UKM telah mengurangi jumlah karyawannya lebih dari 25 persen. Perusahaan besar mengurangi 20 persen tenaga kerja mereka. Yang paling memprihatinkan adalah sepertiga dari UKM mengalami tekanan cash flow yang parah. Mereka mengalami kesulitan membayar sewa, membayar gaji karyawan, membayar pemasok. Bagi China soal UKM ini sangat serius. Karena 60% bisnis di China ditopang oleh UKM. Inti dari komunisme ada pada UKM. Kalau UKM terpuruk, negara itu akan bubar dengan sendirinya.

Namun berdasarkan data Badan Pusat Statistik China yang baru saja di rilis, pada kwartal kedua, ekonomi tumbuh positif di angka 3,2 persen. Mengapa China cepat sekali bangkit? Padahal kwartal pertama sempat negatif ? Penyebabnya ada tiga, yaitu :

Pertama, China tidak tergantung supply chain global. 90% supply chain China berasal dari dalam negeri. Sehingga tidak sulit bagi China untuk menghidupkan mesin industrinya. Sementara negara lain seperti AS, Eropa, Jepang, mayoritas (75%) perusahaan yang disurvei oleh Institute for Supply Management mengatakan mereka mengalami kesulitan akan supply chain. Empat dari 10 (44%) mengatakan supply Chain mereka tergantung kepada China dan mereka tidak punya cara yang efektif mengatasi ini. Karena masa pandemi terjadi restriksi perdagangan international, sehingga sulit mendapatkan pasokan dari China.

Kedua, Sudah lebih 10 tahun propaganda Pemerintah Pusat China agar rakyatnya doyan belanja produk dalam negeri. Atau lebih banyak menggunakan uang untuk belanja daripada menabung. Di pusat kota , ada slogan di billboard dalam ukuran besar “ belanjalah, agar kalian dan teman kalian tidak kehilangan pekerjaan”. Namun tidak bisa mengubah budaya nabung dan berhemat rakyat China. Dengan adanya covid-19, barang impor menurun dan jasa logistrik dari luar negeri melambat. Orang China terpaksa harus belanja produksi dalam negeri dan itu dipermudah dengan adanya aplikasi belanja online, dan fasilitas fintech belanja dengan kredit sebagai bagian dari program stimulus ekonomi untuk menghidupkan bisnis UMKM. 

Dengan demikian platform ekonomi baru China yaitu ke dalam negeri, jadi sukses. Covid-19 seakan social engineering yang efektif melakukan perubahan, bahwa China tidak lagi sepenuhnya tergantung pada pasar eksport. Itu ditandai dengan output industri nilai tambah China naik 4,4 persen Y2Y di kuartal II karena pabrik meningkatkan produksi. Pasar domestik bergairah. Vitalitas ekonomi menunjukan ujudnya secara nyata. Angka pengangguran turun 0,2%.

Ketiga, sebelum covid-19 China sudah menimbun bahan mineral dan baja serta crude oil. Sehingga kebutuhan industri petrokimia dan alat berat, downstream tidak terganggu ketika pasokan bahan baku dari negara lain berkurang. Sehingga program stimulus yang sangat besar dapat dilakukan dengan cepat. Pembangunan ekonomi “infrastruktur baru” dicanangkan dengan ambisius seperti jaringan 5G, stasiun pengisian NEV, program efisiensi energi, dan inisiatif lain yang memastikan China lead di masa depan sebagai negara yang tumbuh berkat high tech dan pasar domestik yang raksasa. Belanja APBN China sangat besar, dan ini mendorong terjadinya konsumsi, yang pada gilirannya menghidupkan kembali UKM dan supply chain. IMF memperkirakan tahun 2021 China akan benar benar ada di depan, dan meninggalkan negara maju lainnya, dengan pertumbuhan 9,2%.

Hal tersebut diatas beralasan. Karena para ekonom memprediksi tahun 2020 sebagian besar ekonomi negara maju akan berkontraksi. Meskipun AS telah memompa  uang USD 2,3 triliun untuk menstabilkan ekonomi, tetap tidak akan bisa membuat pertumbuhan positip. IMF memproyeksikan ekonomi AS akan kontraksi sebesar 5,9 persen pada tahun 2020 dan tumbuh sebesar 4,7 persen pada tahun 2021. Demikian pula tahun 2020 Ekonomi kawasan Euro akan drop  sebesar 7,5 persen, sebelum bangkit kembali menjadi 4,7 persen pada tahun berikutnya.

Kemarin saya teleconference dengan mitra saya di China. Pada kesempatan itu saya tanyakan ke dia “ Bagaimana China bisa membuat kebijakan yang tepat dan cepat. Sehingga dari kerusakan ekonomi yang parah pada kwartal pertama, dalam hitungan bulan bisa recovery. Ini hampir sulit bisa dilakukan negara lain” 

“ Kuncinya ada pada data. Pergerakan semua sektor terekam dengan baik oleh sistem database terpusat. Jadi keputusan pemerintah, bukan karena rumor atau asumsi tetapi berdasarkan data dan fakta yang ada. Dengan demikian, kami bisa menghitung dengan cepat berapa kebutuhan dana stimulus, dan apa langkah terbaik dilakukan dalam situasi krisis dan pandemi. Kebijakan pelonggaran menjaga jarak dalam rangka COVID-19 adalah salah satu kesuksesan dalam recovery enonomy,  namun tetap waspada. Di samping itu proses pengambilan keputusan yang cepat. Sama seperti bagaimana China bisa sepenuhnya mengendalikan COVID-19 dan cepat keluar dari lockdown dengan sukses.” kata mitra saya.

Bagaimanapun dengan mulai pulihnya ekonomi China, ini merupakan angin segar bagi negara ASEAN. Proses transformasi ekonomi baru China akan mendorong terjadinya relokasi Industri ke negara ASEAN. Tentu ini akan mempercepat proses pemulihan ekonomi ASEAN. Investasi China akan mengalir untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka yang rakus bahan baku, dan peluang pasar China otomatis terbuka lebar. Namun bagaimanapun tergantung dari pemimpin ASEAN, sejauh mana mereka bisa memanfaatkan peluang pemulihan ekonomi ini dan mengendalikan COVID-19 untuk segera mulai berproduksi.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan PP tentang penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Untuk itu telah menunjuk Menteri Negara BUMN sebagai Ketua Pelaksana Satuan Tugas bidang Ekonomi. Ini menunjukan bahwa langkah kebijakan pemerintah akan menjadikan BUMN sebagai lokomotif utama menggerakan ekonomi di tengah pendemi Covid-19. Ini bisa dimaklumi. Karena revaluasi aset negara mencapai Rp10.467,53 triliun, naik hingga 65%. Padahal sebelum di revaluasi sebesar Rp6.325,28 triliun. Inilah yang akan jadi fuel dan trigger untuk melakukan serangkaian kebijakan extraordinary di bidang ekonomi. Indonesia dengan berpenduduk 268 juta dan  tingkat konsumsi terbesar di ASEAN, sangat berpeluang untuk lead di kawasan. Proyeksi World Bank dan IMF, hanya tiga negara yang masih diperkirakan bertahan di atas 0 persen atau positif  yaitu Indonesia, Tiongkok dan India. 

No comments: