Friday, January 7, 2022

Peluang dibalik ancaman.

 




Saya diskusi dengan team bisnis developement saya tentang peluang bisnis IT. “ peluang bisnis di Indonesia untuk IT sangat besar. Tetapi dibalik besarnya peluang itu, ada kelemahan. Pebisnis digital sekarang bermain diatas kelemahan itu. Yang boleh dikatakan medan lumpur. Kalau kita bisa bersihkan lumpur itu maka perkembangan bisnis digital dengan beragam aplikasi dan Infrastuktur pendukung akan tumbuh cepat dan ini bisa mendongkrak PDB Indonesia.” Katanya.


“ Apa yang dimaksud dengan medan lumpur ? Tanya saya 


“ Itu soal penyediaan infrastruktur telekomunikasi. Yang jadi masalah dalam penyediaan ini adalah Negara atau PT Telkom yang menguasai backbone nasional tidak bisa bergerak cepat untuk mengantisipasi pertumbuhan bisnis digital. Maklum mereka tidak bisa memenuhi standard SOA Compliance yang ditetapkan SEC. Jumlah karyawannya untuk ukuran industri sejenis , jelas kebanyakan dan tidak layak untuk dapatkan dana lewat  skema investasi yang murah.


Sementara  pihak swasta tidak bisa all out karana izin terbatas yang mereka punya. Masing masing mereka kini juga terjepit. Karena satu sama lain tidak singkron. Tidak bisa menjadi solusi secara menyeluruh. Hidup segen mati engga mau. 


Jadi kalau ingin menjadikan kelemahan itu sebagai peluang bisnis maka akuisisi tiga perusahaan yang punya izin fixed line, wireless dan backbone jaringan international. Kemudian lakukan ketiganya  merger dengan visi integrated nerwork solition provider. Dengan akuisisi tiga izin itu maka posisi PT Telkom akan tergeser. Dan ini bisnis yang engga ada matinya. Karena hidup mati provider konten, aplikasi, data Center, bank digital dll,  tergantung bisnis ini. 


****


Mall itu menarik bagi banyak pedagang dan jasa. Karena, pertama, akses ke mall itu bagus dan lancar. Tempat parkir tersedia luas. Kedua, setelah masuk ke dalam mall, jalan akses ke setiap outlet yang beragam sangat tertata baik sehingga kita nyaman mengitari mall. Ketiga, walau kita masuk gratis namun semua barang dan jasa yang kita akses lebih mahal daripada diluar mall. Tetapi kita senang karena nyaman dan puas. Mall juga melakukan seleksi yang ketat bagi setiap tenan agar tidak ada fraud atas barang dan jasa yang dijual. Sekuriti tersedia pada setiap sudut.


Analogi diatas menunjuk situasi internet di Indonesia. Kalau jaringan telekomunikasi itu diibaratkan mall besar. Sementara para tenan adalah penyedia aplikasi digital. Maka bagi konsumen, mall yang ada benar benar tidak nyaman. Sama dengan pasar Inpres. Engga aman. Lantainya becek. Barang yang dijual tidak jelas akreditasijya. Jasanya dikuasai preman. Kalau engga terpaksa, ogah datang. Itulah gambaran sederhana tenteng bisnis digital sekarang.


Mengapa? Jaringan telekomunikasi itu ada dua. Yaitu  jaringan tetap ( fixed line/ kabel / fiber oftik) dan nir kabel ( wireless).  Dalam konteks investasi terbagi tiga, yaitu infrastruktur aktif seperti spektrum dan antena; infrastruktur pasif tower baja, BTS shelter, generator, pendingin udara, hingga alat pemadam api; dan infrastruktur backhaul seperti peralatan transmisi, GPRS services nodes, dan lainnya


Jaringan Tetap  masih dikuasai oleh operator telekomunikasi besar seperti Telkom. Namun investasi Telkom dibatasi oleh aturan Wallstreet dengan ketat ( SOA compliance). Maklum Telkom udah listing di Bursa New York. Bisnisnya tidak efisien kalau dibandingkan dengan industri sejenis. Infrastruktur  backbone dalam negeri sangat terbatas. Begitu juga backbone ke international juga terbatas. Masih sebagian sewa dengan provider FO lintas benua. Sementara perusahaan yang menggelar FO dalam negeri sebagian tidak ada value. Kerena masalah sekuriti jaringan fisik dan  galian yang asal asalan. Bahkan ada yang numpang di kabel Telkom dan PLN.


Jaringan wireless. Punya keterbatasan akan frekwensi. Maklum frekwensi itu sumber daya terbatas. Agar bisa menjangkau lebih banyak User dan lebih cepat perlu ditingkatkan kualitas spektrum ya seperti ke 5G. Tetapi bagaimana mau tingkatkan? . Kalau regulasi sendiri tidak memberikan peluang untuk itu. Karena faktor membela kepentingan segelintir pengusaha yang tidak siap 5 G. Kawatir bisnisnya tenggelam akibat adanya perkembangan Tekhnlogi jaringan.


Apa yang terjadi dengan situasi infrastruktur seperti itu? menurut laporan Speedtest oleh Ookla, secara global Indonesia menempati urutan ke-108 dalam hal kecepatan internet bergerak, dan posisi 116 untuk kecepatan internet tetap (fixed broadband). Indonesia kalah dari Singapura (17), Brunei (36), Filipina (76), Malaysia (82) dan Laos (84) untuk urusan internet bergerak.   Nah dengan situasi ini maka gebyar orang berinvestasi dibisnis  digital untuk  premium akses ( sms), high bandwith ( internet ), low bandwith ( node access/ IoT ) menggunakan jaringan Mobile/ wireless maupun fixed line, sama seperti kita pergi ke pasar Inpres yang kumuh. Engga nyaman.  Apa jadinya kelau semakin banyak orang akses sebagaimana dreaming pelaku bisnis digital seperti Unicorn, decacorn, bank digital? Pasti akan stuck karena bottlenack. Dan itu hanya masalah waktu saja. Kecuali ada perbaikan insfrastruktur.

No comments: