Bertempat di Jalan Cikini, bilangan Jakarta Pusat, berdiri megah sebuah hotel bintang tiga. Hotel ini dimiliki oleh keluarga kaya raya turun temurun. Di hotel inilah sahabatku Fernandez, tinggal selama ada di Jakarta. Aku mengenalnya pertama kali dari seorang teman yang bekerja di bank asing. Aku tidak tahu pasti berapa lama dia sudah tinggal di hotel ini. Aku tidak menanyakan itu padanya karena tentu saja, aku tak ingin bertanya sesuatu yang tidak penting. Semua karyawan hotel, akrab denganya. Dia adalah pria berkewarganegaraan Mexico. Penampilannya sederhana namun pancaran matanya menunjukan bahwa dia orang yang cerdas. Dia fasih berbahasa Inggris dan Indonesia. Bahkan bahasa Jawa dan Sundanya lebih baik dariku.
Aku sendiri tidak punya hubungan bisnis dengan Fernandez. Namun aku senang berjumpa dengannya karena dia, teman yang asik diajak ngobrol. Itulah sebabnya di setiap akhir pekan, aku selalu menyempatkan waktu untuk bertemu Fernandez. Yah, sekedar untuk ngobrol ringan tentang banyak hal.
Ketika aku sampai di loby hotel, tampak Ester sedang duduk sendirian di lounge sambil membaca sebuah majalah wanita. Aku berdiri tepat di sisinya ketika kutangkap kerling mata itu, melirik padaku dan berkata, “Fernandez sedang pergi keluar.”
Ester adalah salah satu sahabat wanitaku. Dia datang kemari juga dengan tujuan yang sama. Kami sering berkunjung ke hotel ini untuk sekedar ngobrol dan makan malam sambil menikmati red wine yang biasanya, di beli Ester dari luar hotel. Persahabatan kami telah berlangsung lebih dari dua tahun. Kali pertama bertemu dengan Eater, ketika aku membuka rekening private banking dimana dia bekerja. Sejak itu kami menjadi akrab dan kadang, bila ada waktu senggang, kami makan malam di luar.
Ayah Ester adalah orang German sementara ibunya adalah orang Jawa. Dia cantik dengan wajah opalnya. Hanya saja Ester kurang suka bersolek sehingga penampilannya terkesan tomboy. Pakaian yang dikenakan Ester selepas bekerja sebagai Account Officer sebuah bank, selalu celana denim dengan atasan Tshirt. Kukira kalau dia bersolek, akan banyak pria yang ingin mejadikanya pacar bahkan menikahinya. Ester tidak peduli manakala usianya sudah di atas tigapuluh tahun dan dia masih sendiri. Yang pasti, dia merasa nyaman bersahabat dengaku. Mungkin karena kami berusia hampir sebaya, hanya terpaut dua tahun.
Dari pintu lobi utama hotel nampak Fernandez datang bersama temannya. Dia seorang pria dengan penampilan bak pragawan. Dia ganteng, tinggi dengan postur tubuh propotional, berambut pirang, bermata abu-abu dan hidung yang runcing. Dia berjalan dengan elegance dalam balutan hem putih dan setelan jas warna biru tosca. Di tangannya, dia menjinjing sebuah tas hitam kecil. Sementara Fernandez, membantunya untuk membawa sebuah koper hitam dengan ukuran sedang.
“Siapa pria yang bersama Fernandez itu?” Ester bertanya sambil melirik kearahku. Aku mengangkat bahu dan menjawab sekenanya, “Tidak tahu. Ini kali pertama aku melihatnya. Mungkin tamunya dari luar negeri.”
Dengan senyum mengembang, Fernandez menghampiri kami. “Sudah lama menunggu? Maaf karena aku harus menjemput tamu di Bandara.” Kata Fernandez sambil menoleh kepada pria ganteng yang berdiri di sampingnya, “Kenalkan, ini Tomasi.”
Kami berjabat tangan dan dengan percaya diri, aku memperkenalkan namaku sebagai Jaka Samora. Tomasi melempar sebuah senyum yang menawan. Kemudian Ester menjulurkan tangan kepada Tomasi untuk menjabat tangannya dan dengan gayanya yang cuek, dia memperkenalkan diri sebagai Esterina.
Mereka bergabung dengan kami dalam satu meja setelah Tomasi check in kamar. Kutatap Tomasi dengan hormat sambil berbasa basi, “ini kali pertama Anda datang ke Jakarta?”
“Benar. Ini kali pertama.”
“Bagaimana pendapat Anda tentang Jakarta?”
“Kota besar. Sangat besar. Semoga saya menikmati kota ini sebelum berangkat ke Bali “
“Bali?” aku terkejut. Benarlah bahwa orang asing belum lengkap bekunjung ke Indonesia bila tidak ke Pulau Dewata.
“Ya, besok saya mau ke Bali menemani Tom. Apakah kalian mau ikut?” tawar Fernandez.
“Tawaran menarik yang tak mungkin ditolak!” sahut Ester yang sedari tadi hanya diam.
“Bagaimana dengan kamu, Ja?”
“Ikut!” kataku tegas sambil tertawa. Ester tersenyum melihat tingkahku. Kami tahu, kalau sebuah rencana datang dari Fernandez, maka semua ongkos akan ditanggung olehnya. Namun Fernandez membaca pikiran kami dan dia berkelakar, “hmmm… kamu pintar sekali memanfaatkan peluang, ya? Ini kesempatan terbaik menikmati Bali dengan pesta sepanjang malam. Kita berangkat dengan investment banker dari Eropa. Dia yang tanggung semua biaya.” Kata Fernandez sambil ujung dagunya menunjuk ke arah Tomasi. Aku merasa konyol dan mentertawakan diriku sendiri karena tebakanku salah. Ternyata Tomasi yang menanggung semua biaya perjalanan. Tapi yang pasti, ini akan menjadi liburan yang sangat menyenangkan!
“OK, kalau begitu semua harus siap di hotel ini besok pagi. Karena kita akan terbang dengan pesawat pertama.” Tambah Fernadez, lalu kami menyanggupi usulannya dengan mendentingkan gelas wine yang kami pegang.
Malam semakin larut dan kami juga semakin asik berbincang banyak hal. Pada beberapa kesempatan, aku mampu memancing Tomasi untuk berbicara tentang siapa dia sebenarnya. Namun bagaimanapun, Tomasi terkesan tertutup kecuali dia menegaskan bahwa dirinya punya bisnis di bidang investasi surat berharga dan masuk ke bursa pasar uang di pusat keuangan dunia. Bagiku ini bisnis yang luar biasa yang hanya dilakukan oleh segelintir orang. Kalau benar apa yang dia katakan, maka dia adalah elite player.
Keesokan paginya, kami sudah berkumpul di hotel. Fernandez sudah menyiapkan taksi pribadi untuk membawa kami ke bandara. Aku duduk di barisan tengah dengan diapit oleh Fernandez dan Ester.
“Bagaimana hasil test kerja kamu?” Tanya Fernandez kepada Ester.
“Lusa aku ikut wawancara akhir di Hong Kong. Kalau lolos, mungkin bulan depan aku akan pindah ke Hong Kong.”
Fernandez melirik ke arah Ester yang duduk di sebelahnya dengan wajah heran. “Mengapa harus pindah? Orang seperti kamu dibutuhkan oleh negeri ini. Bagaimana Indonesia akan maju bila orang sehebat kamu lebih memilih bekerja di luar negeri?”
Dengan gaya acuhnya Ester menjawab, “Aku muak dengan sang diktator. Sehebat apa pun kita, tidak akan dihargai secara pantas. Di sini pengusaha menjilat kepada penguasa dan menindas karyawan. Karena pengusaha merasa kemajuan usahanya lebih disebabkan kedekatannya kepada penguasa untuk menguasai bisnis rente. Tidak! Aku tidak mau menua di negeri ini. Kita hidup hanya sekali. Dunia ini luas dan kesempatan di luar terbentang lebar. Sayang kalau usia di buang dengan menyia-nyiakan kesempatan untuk berkembang. Ya, kan?”
Aku tersenyum sekaligus kagum akan sikap Ester untuk menentukan pilihan hidup juga masa depanya. Namun Fernandez berusaha meyakinkan bahwa dia mempunyai prinsip yang berbeda dengan Ester. “Tetap aku tidak sependapat dengan kamu. Setiap generasi harus berkorban untuk masa depan negaranya. Kakekmu juga berkorban untuk kemerdekaan negera ini. Mungkin bukan harta saja yang hilang, tapi juga nyawa yang dipertaruhkan untuk merebut kemerdekaan dari Belanda. Dan kini, kamu bisa merasakan era kebebasan dari system colonial.”
Nampak Ester agak terpengaruh secara emosional ketika Fernandez mengingatkannya akan cinta Negara. Namun itu hanya sebentar saja. Ester dengan diplomasi berkata, “Aku tetap mencintai negeri ini. Hanya beri aku kesempatan untuk berkembang di usia muda. Kelak bila telah berhasil, aku akan pulang membangun negeri ini” Ester tersenyum dan menoleh ke arahku yang menahan tawa demi mendengar kalimat Ester. “Kata-katamu seperti putra Minang,” kataku. “Merantaulah dulu, Buyung. Karena di kampung belum berguna!” Ester gemas dan mencubit pinggangku. Kami tergelak bersama.
Selama di Bali, Tomasi lebih banyak menghabiskan waktu bersama Fernandez. Kalau pun bersama aku dan Ester, itu hanya waktu makan malam. Dan setelah makan malam, Fernandez akan kembali ke kamar. Entah apa yang diperbincangkan keduanya. Aku tak begitu peduli dengan mereka. Sementara aku dan Ester, menggunakan kesempatan liburan ini dengan sebaik-baiknya.
Sebulan sejak wisata ke Bali itu, Ester mengabarkan padaku bahwa dia diterima bekerja di bank investasi di Hong Kong. Sejak itu pula aku jarang bertemu dengan Fernandez karena dia pindah ke apartement yang cukup jauh dari kantorku. Lagi pula Fernandez jarang ada di Jakarta. Dia sering melakukan travelling ke luar kota. Entah apa yang dia lakukan. Walau aku tahu sedikit tentang bisnisnya yang katanya bergerak di bidang riset tambang emas. Tetapi aku tidak tahu pasti bisnisnya yang sesungguhnya. Disamping itu, keadaan ekonomi Negara semakin mengarah kepada pelemahan pertumbuhan karena kurs rupiah yang terus melemah. Aku sibuk mencari solusi merestruktur hutang perusahaanku yang bermata uang dolar.
Beriring berjalannya waktu, aku sering kali merindukan Ester. Rindu kebersamaan yang indah tanpa ada beban kecuali kami menikmati persahabatan yang tulus. Ester, kuharap kau baik-baik saja di tempat dan pekerjaan barumu. Gumamku dalam hati.
***
Aku dapat kabar dari Fernandez bahwa dia di tangkap oleh pihak imigrasi. Saya segera meluncur ke Kalideres Tahanan Imigrasi dimana dia ditahan. Menurutnya dia kena tipu oleh relasinya di Indonesia. Uang nya dirampok dan passport nya dicuri. Dia berusaha menemukan relasinya dan lapor ke polisi tapi tidak ada kelanjutannya. Akhirnya dia kena over stay. Dia minta tolong agar aku mengurus Passpor nya di kedutaan negaranya. Segera aku urus. Setelah passport kudapat, aku mendampinginya berjuang menanti proses pengadilan dan deportasi.
Selama dia ditahan, setiap hari aku menjenguknya di penjara. Aku katakan ke istri bahwa temanku itu seorang diri di sini. Dia tidak punya uang. Dia sudah bercerai dengan istrinya. Aku sedang berusaha menghubungi kedua anaknya. Dan lagi dia dizolimi orang. Setiap hari aku bawa makan siang untuk dia di Penjara. Kalau akau sibuk, istriku membantuku membawa makan untuk dia. Begitu seterusnya sampai akhirnya tiga bulan dalam tahanan dia bisa bebas. Aku antar dia ke bandara ketika dideportasi oleh imigrasi. Dia sempat menangis sambil memelukku, begitu caranya mengungkapkan rasa terimakasihnya. Aku bersyukur saya bisa mengirimnya pulang. Agamanya kristen. Orang asing, namun dia sahabatku.
Setelah itu aku masih terus berkomunikasi via email. Aku tahu dia sedang berusaha membangun kembali usahanya. Aku juga katakan bahwa indonesia sedang krisis moneter sehingga peluang bisnis agak sulit. Dia maklumi. Dia menyarankan aku agar hijrah dari Indonesia. Cari peluang bisnis di luar negeri itu lebih baik daripada stuck di Indonesia. Tahun 2000 aku lost contact dengan dia. Kami disconnect sama sekali. Walau begitu kenangan tentang dia selalu ada. Aku mengikuti sarannya hijrah ke Hong kong, kebetulan Ester maksa ku ke Hong Kong. Dia sukses berkarir sebagai banker di Hong Kong. Kadang aku mendoakan yang terbaik untuk dia.
***
Tahun 2006, aku sedang terjepit masalah di Hong kong. Karena pemerintah Hong Kong menghentikan semua bisnisku. Akupun tidak boleh meninggalkan Hong kong sampai kasus selesai. Itu juga karena fitnah seseorang. Di satu pagi aku terkejut karena ada telp ke apartemn dari seseorang yang tak mungkin lupa suara khasnya. Fernandez. Aku segera berlari ke loby untuk menemuinya. Dia memelukku dengan erat. Dia datang khusus untukku. Dia dapat kabar tentangku dari seorang banker relasinya di New York. Itu karena upaya Ester tanpa lelah membantuku keluar dari masalah. Termasuk menghubungi kolega nya di NY. Hanya dua hari setelah kedatangannya di Hong kong dia bisa menyelesaikan masalahku. Ternyata dia telah sukses pemain private equity. Kantor nya di NY , London, Swiss. Dia juga mengelola tambang di Afrika , Papua New Guinea dan Mexico. Dia bermitra dengan investment banker world class. Setelah itu dia kenalkanku dengan mitranya. Walau aku menolak namun dia berkeras. Alasannya agar aku dapat financial resource untuk mengembangkan bisnis. Saat itu Ester juga termasuk mendukung aku menerima kemitraan itu.
***
Tahun 2013, mitra nya menyerangku untuk melakukan hostile atas business batubara kami di Mongolia. Aku berusaha memaklumi posisi Fernandez yang sudah kenalkan aku dengan mitranya. Setelah aku berhasil keluar dari jebakan hostile itu, mereka kembali menyerangku dengan tuduhan money laundry dan insider trading. Aku tahu ini tuduhan yang lahir dari konspirasi hebat, yang bisa membuat aku habis. Terkubur tak berbekas. Aku harus hadapi sampai pada batas kemampuanku sebagai manusia.
Aku kembali ke Jakarta karena harus mundur dari holding agar bisa focus menyelesaikan kasus. Suatu hari Fernandez datang ke Jakarta untuk menemuiku. Dia sengaja ajak aku makan ketupat kegemaranku di Jatinegara. Dengan tersenyum dia memelukku ketika sampai di tempat itu. Dia bicara panjang lebar bernostalgia tentang masa lalu dia di Jakarta. Tapi selama pembicaraan itu aku tidak pernah menyinggung kasus yang aku hadapi, yang di sebabkan ulah mitranya. Ketika kembali ke Hotelnya, dia hanya bicara sedikit kepada saya “ Bro, maafkan saya. Karena saya tidak bisa bantu kamu. “ Air matanya nampak berlinang. Aku menepuk bahunya, “ Its ok, It's just business. Nothing to serious.”
Tahun 2017 bulan maret aku bisa selesaikan kasusku. Tak terasa 3 tahun proses pengadilan itu seakan waktu terpanjang dalam hidupku. Melelahkan dan ongkosnya mahal sekali. Pengadilan Hong kong dan Zurik menyatakan aku tidak bersalah, dan memberi peluangku untuk menuntut balik. Fernandez datang bersama mitra globalnya ke Jakarta. Waktu pertemuan itu aku di dampingi lawyer dari London dan Ester khusus datang dari Hong Kong. Dengan tenang aku katakan bahwa aku tidak akan menuntut balik. Aku hanya ingin melupakan yang telah lalu. Mereka terkejut. Karena mereka tahu kemampuanku untuk bertarung. Kalau aku bisa bertahan dan menang , maka tentu tidak sulit bagiku menyerang balik untuk jadi pemenang. Mereka menjabatku dengan hangat dan sekarang kami menjadi sahabat tak terpisahkan.
Kalau sampai seseorang berkorban untukmu dan berbuat d luar akal, maka itu dia lakukan dengan hatinya. Dia berbuat karena cinta. Tuhan mengirim seseorang untuk mu dan akhirnya menjadi tongkatmu tidaklah gratis. Akan ada proses sampai akhirnya kamu dan dia tak terpisahkan. Ketika Tuhan memberimu sahabat, pada waktu bersamaan juga Tuhan memintamu berkorban untuk dia. Hadapi sahabat atau orang terdekat mu dengan sabar dan ikhlas sampai akhirnya kamu tidak berharap apapun dari dia kecuali inginkan yang terbaik untuk dia..maka setelah itu tunggulah. Tangan Tuhan akan bekerja memberikan reward...selalu indah pada akhirnya..
No comments:
Post a Comment