Elok-elok kau jalani umur muda Ali. Pandai-pandai mencari kawan. Kawan yang baik, Nak, tak mengundang datangnya mudarat. Jangan tinggalkan sholat agar kau terhindar dari maksiat. Itu kata Nur kepada putra sulung kami ketika hendak pergi merantau. Sejak Nur tahu dari berita TV tentang kasus Ali kena OTT KPK, kesehatannya langsung drop. Anak, setelah dewasa, beranak pula, memang tidak lagi di bawah-asuh orangtua. Tapi, siapa dapat memupus hubungan anak-orangtua? Siapa mampu mengelak dari derita anak?Nurmala bergerak. Matanya perlahan terbuka. Dia lihat aku sejenak, lalu beralih melihat tivi. ”Ya kusedihkan. Sejak Ali jadi kaya, dia tak lagi sholat, Abang ?” katanya. Suaranya lirih seperti bisik. Matanya redup, hatiku teriris.
”Ari dan Aini ?”tanya Nur.
”Mereka juga tidak menelepon. Pindah ke kamar, ya. Mereka tak telepon tentu karena tak ada yang perlu dikabarkan.”
“ Aku masih ingin di sini.”Kata Nur, tidur di sofa di depan TV.
”Kalau begitu tidurlah kembali. Dokter menyuruhmu istirahat. Tuhan juga.”
Ia tersenyum, ”Abang tahu Tuhan menyuruhku istirahat?” Katanya. Matanya berbinar, mengerdipkan harapan.
”Tentu.” Kuberanjak dari kursi, aku dekati dia. ”Ia suruh kita lebih dulu menjaga diri, sebelum orang lain. Dia larang kita mencelakai diri.”
“ Ali bukan orang lain, Abang.”
” Ya. Anak kita. Tapi bukan diri kita. Tidurlah.”
Nurmala menarik napas, telentang lagi. Matanya perlahan terkatup. Bulu matanya lentik dilindung alis lengkung halus. Kulitnya putih, bersih. Tubuhnya masih ramping. Aku kecup keningnya dengan sayang. Serasa baru kemarin kami menjadi pengantin.
Tak lima menit, matanya terbuka pula. ”Aku ingat ayah Abang,” katanya.
”Ya, ya. Aku mengerti. Tidurlah kembali. Istirahat.”
“ Ayah sangat percaya aku bisa menjaga perut Abang. Dan, aku selalu ingatkan agar tak sejarah pun rezeki yang bukan hak Abang dibawa pulang”
”Ya. Tentu. Lena, istri Ali, juga pandai memasak.”
“ Tapi, dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai aggota DPRD. Padahal Ali sudah beri dia segala galanya?”
”Kau pun sibuk dulu, guru sekolah, ya kan.”
“ Ya. Kalaupun sibuk aku selalu ada waktu memasak untuk abang. Tetapi Ali…”
“ Lena juga walau sibuk, dia pesan pembantu apa yang mesti dimasak. Dia ajari mereka memasak, agar yang disantap tidak hanya sedap tetapi juga sehat, untuk Ali.”
Tahun 98 Ali putra kami masih merintis usaha. Walau hidupnya bersehaja, tetapi kami senang melihat semangatnya. Terutama istrinya yang begitu setia. Dia juga aktifis keagamaan. Setelah reformasi, dia dapat boss besar, yang membantunya bisnis kedelai. Sejak itu hidupnya berubah. Kebetulan melalui ormas keagamaan dia dikenalkan dengan menteri perdagangan. Dia dapat izin impor kedelai. Belakangan dia juga dapat izin impor garam. Semua modal dari boss besar. Dia hanya terima fee. Dari fee itu setiap kali impor dia dapat miliaran rupiah. Kerjaannya hanya elus elus telor menteri dan Ketua Ormas keagamaan. Dari itu dia hidup di kawasan mewah dan bergaya hedonis.
Aku sempat kawatir dengan perubahan hidupnya. “ Abak engga perlu kawatir. Kini kesempatan bagi kita kaya. Ada temanku, yang tadinya hanya pedagang perantara obat dari Singapore. Usaha itu bangkrut karena keagenannya dipegang oleh pabrik obat di Indonesia. Istrinya minta cerai. Anaknya 3 tinggal dengan orang tuanya di Medan. Tahun 2004, dia sudah kaya raya.”
“ Bagaimana bisa? kataku
“ Itu karena kedekatannya dengan Partai dan Ormas keagamaan, dia punya akses ke pejabat BPPN. Dari sana dia dapat asset dengan harga murah. Uangnya dari cukong di Singapore dan dia dapat fee saja. Belakangan dia dapat bisnis buka hutan untuk kebun sawit. Semua modal dari Singapore. Setelah hutan dibakar, dan sawit ditanam dia dapat fee dari Singapore lewat skema akuisisi, jasa buka lahan. Kini tiga anaknya sekolah di AS.
Ada cerita lain, temanku tadinya hanya pedagang hasil bumi antar pulau. Tidak pernah berkembang. Namun ketika booming batu bara , dia kenalan dengan Ketua Partai dan Ormas. Dari sana dia dapat konsesi tambang. Duit dia dapat dari investor di China. Semua alat berat dan biaya exploitasi dari Cina, dan China pula sebagai pembeli. Praktis dia hanya duduk manis, dapat uang sekian dollar dari setiap ton batu bara yang diekspor. Setiap tahun jutaan dollar dia dapat. Terakhir aku ketemu dia, kendaraanya seharga miliaran rupiah. Katanya dia punya 11 mobil mewah di rumah dan selusin jam tangan mewah yang rata rata harganya per unit diatas USD 200.000. Artis tenar dia jadikan kucing piaraan.
Ada juga teman yang kaya raya karena dapat konsesi bisnis infrastruktur. Dia dapat goodwill fee miliaran rupiah dari jual konsesi itu kepada investor asing lewat skema JV dan akuisisi setelah proyek jadi. Makanya dia rajin sekali elus elus telor pejabat. Dari TNI, politisi, ormas dia rangkul mesra agar segala kemudahan dan fasilitas dia dapat. Ada juga yang kaya raya dari melobi BUMN yang pegang duit banyak seperti Dapen dan Asuransi. Dia atur skema investasi, atur pejabat terkait agar meloloskan skema itu. Dari sana dia dapat miliaran uang dengan mudah. Tanpa resiko. Secara legal dia tidak terlibat. Kalau terjadi apa apa dikemudian hari dia hanya senyum. Yang masuk bui direktur BUMN dan pejabat itu.” Kata Ali seakan hendak meyakinkanku akan lingkungan pergaulannya.
Aku hanya terdiam dengan penuh kawatir. Ali seperti bukan anak kami yang kami didik dengan agama dan kesederhanaan.
“ Saat sekarang, Abak. Tidak perlu korupsi untuk kaya. Engga perlu ngerampok APBN. Itu cara jadul. Era sekarang kita cari uang, ikuti peraturan yang ada. Dari aturan itulah kita dapat uang mudah” Katanya kembali meyakinkanku.
”Kalau begitu, kenapa Ali” Terdengan suara Nur lirih, membuyarkan lamunanku.
”Tidur sajalah kembali. Istirahatlah,” kubilang.
”Mataku tak bisa pejam, Abang. Pikiranku tak dapat lelap.”
”Tetapi tubuhmu membutuhkan. Jantungmu. Dokter menyuruhmu istirahat.”
”Ya, Tuhan juga.” Ia senyum. ”Tapi, menurut Abang, apakah Ali tidak selalu makan di rumah?”
”Aku pun sesekali makan di lepau dulu. Kau tahu itu. Di kota macam Jakarta, tak mungkin orang makan siang di rumah lalu kembali ke kantor. Kota itu bukan lagi Jakarta tempo dulu, waktu kita tinggal di situ.”
Nur menarik napas pula. Lapat-lapat kudengar suara kendaraan menyusup ke dalam ruang, usai berenang meniti daun dan bunga di halaman. Dia bawa serta harum kenanga yang tumbuh di pekarangan. Dan, hari terus berlayar dekat ke petang; seperti umur, bagai usia. Siapa lebih dulu yang akan tiba di senja, lalu malam, di antara kami berdua?
Aku bangkit dari kursi, mendekati Nur. ”Tidurlah kembali. Istirahat,” kataku membujuk. ”Atau, kusuruh Siimah bikin teh? Hangat-hangat. Mau?”
”Aku hanya ingin dekat Abang. Anak-anak, menantu, dan juga cucu.”
”Aku di dekatmu. Aku selalu bersamamu. Jika sembuh nanti, pekan depan kita tengok mereka ke Jakarta.”
”Mereka dulu anak-anak yang manis. Ali, Ari dan Aini. Ali elok laku, sadar benar jadi sulung. Selalu dia mengalah dan bertanggung jawab kepada adik-adiknya.”
”Dia belum tentu bersalah,” kataku. ”Baru dipanggil. Diperiksa KPK, sebagai saksi. Bukan terdakwa.”
Mata Nur berbinar lagi, mengerdipkan harapan. Dia juga senyum kepadaku. Lembut-manis tetap seperti dulu. ”Abang tahu,” dia bilang, memegang tanganku. ”Itu yang membuatku dulu tidak ragu menerima Abang waktu kita dijodohkan. Ketegaran, dan kesabaran Abang. Kalau, abang mengapa suka di jodohkan denganku
”Kata bunda, kau pandai memasak. Bunda bilang, kalau wanita pandai memasak, dia juga pandai menjaga suaminya agar tak membawa uang haram pulang ke rumah.”
***
Nur masih tidur di sofa ruang tengah. Angin tak sampai. Hanya lapat-lapat suara kendaraan, agak jauh di depan, di jalan. Juga harum kenanga. Dan hari tak henti berenang dalam petang. Aku masih duduk di kursi mengamati Nur, sesekali melihat ke tivi. Alangkah lengang petang. Betapa sunyi siang di ujung hari. Aku dengar suara galau, kudengar bisik-bisik mengimbau. Adakah anak-anak, terutama Ali, tahu, bahwa ayahnya, lelaki tua ini tak sesabar dan setegar yang dilihat ibunya? Adakah dia tahu ada yang remuk di dalam, justru di penghujung usia?
Apa kiranya yang kerap ia santap di luar rumah, lalu menjelma nafsu serakah, mengalir dalam darah? Mengapa tak ia jaga lambungnya, perutnya, seperti ayah, juga kakeknya? Seberapa banyak, seberapa lama, seberapa parah gerangan yang ia lahap di luar, sampai-sampai yang berasal dari masakan ibunya di masa kecil, seolah tidak berbekas? Ah andaikan Ali mematuhi nasehat ibunya untuk tidak berteman dengan orang yang membawa mudharat, mungkin Ali akan baik baik saja.
Tak lama lagi, seiring tiba senja, stasiun-stasiun tivi akan berlomba menyiarkan berita. Umumnya mengenai OTT kasus impor kedelai dan garam. Apakah anak itu, Ali, bakal muncul lagi di sana; seperti kemarin, dan jantung ibunya bermasalah, ayahnya remuk di dalam–debarnya serasa menghancur tulang?
Aku alihkan mata dari tivi, menengok ke arah Nur. Dia masih tidur di sofa, di ruang tengah, tak bergerak. Napasnya halus, lunak. Dadanya bak tak beriak. Mukanya bersih, putih. Atau, pucat? Tidak, tidak. Kulit Nur memang putih, bersih, dan di saat tidur mukanya tampak semakin putih. Namun aku mendekat juga. Kuraba keningnya, lalu merasa lega karena kehangatan mengalir di sana.
Di luar, hari terus berenang menyelesaikan petang. Seperti umur, serupa usia; tidak henti menarik garis menuju batas. Tivi memainkan gambar-gambar. Tik-tok jam di dinding. Sesaat lagi berita-berita. Dadaku kian berdebar. Aku tengok berganti-ganti dari Nur ke tivi, dari tivi ke Nur.
Lalu selularku bergetar. ”Halo? Abak?”terdengar suara Aini.
”Ya. Aini? Ya, ini Abak. Ada apa?”
“ Bang Ali, resmi di tangkap oleh KPK.” Seolah rangkaian gelas-piring dibanting. Aku menatap Nur yang terlelap tidur..Akankah dia bisa tabah dengan berita ini? Di usia menua ini aku mengkawatirkan Nur, bukan anak anak. Kalaulah mereka mencintai ibunya, tentu mereka mendengar nasehat ibunya. Tetapi mereka lebih mencintai dirinya sendiri, Tuhan pun mereka belakangi, apalagi ibunya.
No comments:
Post a Comment