Friday, May 27, 2022

Ekonomi Dunia terancam Resesi

 




Entah ada ksepakatan atau tidak, yang jelas sepertinya Rusia dan China kompak untuk membawa dunia ke jurang resesi. Rusia menghentikan pasokan Gas ke Eropa. Sementara semua tahu, Eropa sangat bergantung kepada Rusia akan energi. German yang merupakan kekuatan ekonomi di Eropa dan nomor empat dunia sudah terpuruk ekonominya. Dengan adanya krisis Energi di Eropa telah membuat harga energi naik dan tentu memicu kenaikan inflasi. 


Sementara China dengan alasan COVID telah melakukan lockdown di kota utamanya seperti Beijing dan Shanghai. Ini tentu mengurangi supply chain global. Hampir semua pabrik kendaraan kesulitan mendapatkan pasokan semi konduktor. Banyak barang kebutuhan umum yang tadinya diimpor dari China kini berkurang. Tentu semua berdampak  kepada kenaikan harga dan mendorong inflasi terkerek naik.


Krisis karena berkurangnya pasokan, itu sudah berhubungan dengan masalah struktural ekonomi. Tidak mudah menyelesaikannya. Karena sudah menyangkut politik.  Prinsip globalisasi yang dulu diperjuangkan semua negara agar terjadi kebebasan pasar tanpa intervensi negara, kini tidak lagi menjadi prinsip. Ekonomi dan pasar ditentukan oleh kebijakan politik. Yang lebih konyol, adalah politik saling menghabisi, bukan politik bersinergi.


Mengapa?


Inflasi itu hantu yang sangat ditakuti oleh negara seperti Eropa dan AS yang menerapkan state welfare. Mengapa? karena dalam sistem state welfare bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap biaya sosial. Inflasi akan memaksa negara semakin besar menggelontorkan dana untuk melakukan intervensi sosial. Kebijakan ini sangat bertolak belakang dalam upaya memulihkan ekonomi. Karena menggerogoti fundamental ekonomi negara. Krisis akan cepat sekali menuju resesi. Dunia kini memang terancam resesi, menurut World bank.


Bagaimana dengan Indonesia? memang selama ramadhan dan lebaran terjadi lonjakan permintaan dan tidak ada pengaruh significant terhadap inflasi. Karena memang selama dua tahun COVID, kita dalam kondisi bisa dikatakan deplasi. Jadi momentum pembukaan paska COVID, dimanfaatkan oleh produsen melepas stok. Tetapi setelah itu inflasi sudah mulai terkerek. Apalagi sudah ada keluhan dari Menteri Keuangan akan perlunya bailout kerugian PLN dan Pertamina atas  kenaikan harga minyak mentah, gas dan barubara.


Dampak kenaikan suku bunga the fed, kedepan Indonesia akan menghadapi masalah kelangkaan likuiditas. Maklum pasar uang dan modal kita masih bergantung kepada investor asing. Disaat likuiditas mengering, itu akan mudah sekali menguras cadangan devisa untuk belanja impor. BI akan bleeding tahan kurs. Mengapa? Walau kita negara pertanian, nyatanya sebagian produk pangan masih kita impor. Walau kita negara penghasil minya dan gas, kita masih bergantung impor minyak dan gas. 


90% industri dalam negeri masih bergantung impor untuk linked product nya. Apa jadinya kalau harga supply chain naik di pasar global? Jelas saja industri dalam negeri akan terpaksa menaikan harga dan bila likuiditas kering. pasar tidak mendukung, pabrik terpaksa mengurangi produksinya. Gelombang PHK akan meluas. Harga harga kebutuhan akan melambung. Orang miskin semakin blangsat dan kelas menengah jatuh kere. Orang kaya semakin bersembunyi sambil menikmati suku bunga tinggi.


Solusi bagi Indonesia adalah perkuat fundamental ekonomi. Kenaikan harga komoditas itu momentum untuk kita semakin kuat dan dewasa. Tentu harus bijak menyikapinya. Caranya? hindari beban sosial APBN dalam bentuk intervensi harga. Hingga sektor real tidak terdistorsi. Soal dampak dari krisis global ? Ya, focus saja kepada bantuan langsung tunai kepada mereka yang terdampak blangsat. Yang kaya engga usah dipikirkan. Mereka punya tabungan untuk bertahan. Setidaknya selama krisis itu, kelas menengah terpaksa berani keluar dari zona nyaman. Ini saatnya perbaikan mental dalam arti sesungguhnya. Sekalian menguji karakter bangsa kita. Apakah kita bangsa pemenang atau pencundang.  Lupakan pencitraan menjelang pemilu 2024. 


***


APBN itu kan anggaran. Yang namanya anggaran kan berdasarkan asumsi. Contoh untuk mencapai angka pertumbuhan sekian persen, kita perlu anggaran sekian. Sekian untuk ekspansi agar tercapaian pertumbuhan pendapatan. Tentu asumsi itu harus realistis dan didukung kemampuan dan peluang yang tersedia. Engga bisa semaunya. Kalau semaunya, itu ngayal namanya. Nah saat sekarang berita yang kita terima dari Kantor Menteri Keuangan bahwa APBN surplus? Mungkin ini kali pertama dalam sejarah sistem defisit ( surplus ) anggaran kita bisa surplus.


Mengapa kita surplus ? ya karena waktu buat APBN asumsi yang kita tetapkan memang tidak terlalu tinggi. Maklum situasi ekonomi dunia sedang krisis. Tetapi karena dampak perang Rusia- Ukrania, ternyata berlanjut kepada krisis sumber daya. Sehingga, negara raksasa seperti China mulai menumpuk stok. China mulai beli Batubara, Baja, nikel, CPO dalam skala besar. Akibatnya harga komoditas andalan kita naik di pasar dunia. Ini tentu membuat pengusaha dalam negeri tajir melimpir, potensi penerimaan negara sebesar Rp. 420 triliun. Peningkatan pajak inilah membuat APBN kita surplus.


Apalagi setelah pandemi mereda. Belanja negara agak berkurang. Setelah bleeding akibat PEN, Pemerintah kini lebih focus konsolidasi daripada ekspansi. Pengusaha juga lebih hati hati untuk melakukan ekspansi karena bayang bayang peningkatan inflasi yang mengancam. Kemungkinan akibat kebijakan menekan inflasi, suku bunga akan segera BI naikkan. Tentu cost of fund akan jadi mahal, dan likuiditas akan tersendat. jadi lebih baik wait and see.


Namun ditengah situasi yang menggeembirakan itu, ada ancaman serius. Karena sebagian konsumsi kita juga berasal dari impor. Maka pengaruh eksternal akibat kenaikan suku bunga the fed dan inflasi akan berdampak pula dari sisi pengeluaran APBN. Apa itu. Misal kita kan net importir Migas. Jadi akibat kenaikan itu angka subsidi juga naik. Nah pemerintah akan ajukan ke DPR tambahan anggaran dalam APBN 2022 hingga sebesar Rp. 368 triliun.


Namun kalau melihat angka tambahan anggaran sebesar Rp. 368 triliun, saya mengerutkan kening. Mengapa? Ada angka kompensasi energi sebesar Rp275 triliun. Angka inilah yang dimaksud dengan bailout kerugian PLN dan Pertamina. Pertanyaan bego saya, Sampai kapan bailout ini akan terus dilakukan? bukankah keadaan eksternal dari tahun ketahun semakin memburuk. Kalau begitu terus bisa jebol APBN. Apalagi istilah kompesasi itu tidak ada dalam UU kebijakan energi terutama dalam kebijakan harga BBM sesuai harga pasar.


Di tengah situasi pragmatis itu, Srimulyani tidak yakin pertumbuhan ekonomi pada semester kedua tahun ini akan mencapai pertumbuhan sesuai asumsi APBN. Kemungkin pertumbuhan akan drop menjadi 3,6%. Saran saya, daripada kita terus berdamai dengan cara pragmatis, sebaiknya focus aja kepada aturan. Paksa Pertamina dan PLN terapkan harga jual sesuai nilai ekonomi. “ utamakan pemasukan, ongkos sosial soal lain. Jangan korbankan pemasukan hanya karena menjaga citra politik. istilah, biar tekor asalkan kesohor, itu endak baek.” Kepentingan sektor real lebih utama daripada citra politik. Harga BBM naik tentu akan memicu inflasi. Hadapi inflasi itu dengan program subsidi langsung kepada rakyat yang terdampak. Ya, kalau APBN surplus, tentu APBN punya kemampuan lebih melakukan ekspansi sosial. Ya kan boss.

Friday, May 20, 2022

Pemerintah diatur pedagang.




Kadang saya bertanya kepada diri saya sendiri. Apakah karena saya tidak sekolah tinggi sehingga cara berpikir saya diketawain dengan alasan macam macam seakan rumit banget. Saya tahu bahwa pasar itu hanya dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran. Kalau anda punya pasar besar ditangan. Anda bisa kendalikan harga produksi orang lain. Anda kurangi permintaan, mati itu produksi atau setidaknya bleeding dia sebelum akhirnya mati juga. Kalau anda punya produksi besar, anda bisa tahan barang. Pasar akan ketar ketir. Harga akan naik dan anda bisa dapatkan keuntungan dari kepanikan itu.


Artinya kalau anda pegang posisi permintaan besar, anda akan mudah kendalikan penawaran. Sebaliknya kalau penawaran anda besar,  anda pun mudah kendalikan permintaan. Paham ya. Tetapi dengan catatan apabila anda smart dalam mengelola posisi itu. Kalau anda punya pasar besar, tetapi anda tidak punya gudang. Ya bego namanya. Anda akan diatur oleh ritme produksi. Kalau anda punya produksi besar tetapi anda tidak punya gudang, ya bego juga. Mengapa ? gudang itu adalah kekuatan anda dalam mengatur keseimbangan permintaan dan penawaran.  Sederhana kan.?


Lucunya di Indonesia hal yang sederhana cara berpikir pedagang sempak itu dianggap kuno. Padahal realitas bahwa harga pasar itu kan turun naik. Ketika harga turun ya beli. Kalau harga naik ya jual. Kalau engga, ya tahan jadi stok. Selagi terus dikelola dengan mekanisme begitu, engga akan rugi. Barang kan nilainya naik terus, beda dengan uang yang nilainya terus turun karena inflasi. Anak SMA paham itu. Jadi kenapa takut stok?. Apalagi sekarang sudah ada ekosistem financial yang mendukung sistem supply chain resource enterprise. Jadi berapapun stok tidak akan membuat stuck cash flow.


Tahun 2015 Jokowi membuat aturan bahwa harga BBM dikembalikan ke pasar. Saat itu di sosmed saya paling militan membela kebijakan Jokowi itu. Saya berdebat dengan banyak orang. Bahkan saya diserang oleh kader partai oposisi. Benar benar brutal debatnya. Mengapa saya begitu militan bela Jokowi? karena tidak masuk akal uang dibakar begitu saja untuk subsidi. Dan gilanya subsidi itu lebih banyak dinikmati kelas menengah. Sementara Jokowi ingin alihkan anggaran subsidi itu ke pembangunan infrastruktur. Clear ya.


Tetapi dalam perjalanannya, aturan itu tidak ditegakan. Indonesia itu konsumen BBM nomor 13 terbesar di dunia. Kalaulah Indonesia punya stok atau bunker 1 tahun konsumsi. Kita aman dari segala gejolak harga. Seharusnya dengan adanya kebijakan harga diserahkan ke pasar, saat itu juga Pertamina menempatkan dirinya sebagai trader yang punya hak monopoli pasar. Artinya, ya bermainlah. Buat analisa pasar. Kalau harga minyak  jatuh di pasar dunia, ya beli besar. Bangun bunker untuk jaga stok. Perbesar kontrak Forward. Nah ketika harga naik, ya jual dengan margin gede. Sehingga dari keuntungan itu Pertamina bisa trade off harga untuk menjaga stabilitas harga BBM dalam negeri.


Tetapi apa yang terjadi? dalam prakteknya walau tata niaga udah mendepak Petral, tetapi tetap saja trader di Singapore yang atur. Pertamina justru jadi konsumen dihadapan trader Singapore. Konyol kan. Udah begitu. Sebagin besar produksi NOC yang punya kontrak Karya,  jual Crude ke trader di Singapore. ya disedot oleh kilang Singapore dan setelah itu mereka jual lagi ke Indonesia. Ampun dah begonya.


Integrated supply chain (ISC) Pertamina justru lebih banyak beli minyak di pasar spot. Lucu ya. Punya market monopoliti tetapi beli ketengan. Kalah sama Udin pedagang sempak. yang berani beli grosir. Tetapi Ok lah. Kalau memang begitu, ya naikan harga sesuai pasar. Jangan ditahan harga hanya untuk jaga citra di hadapan presiden. Entar kalau udah kegedean harga naik, barulah harga di naikan. Ya rakyat kaget. Marah, wajarlah. Coba kalau dinaikan secara bertahap sesuai perkembangan harga. Tentu rakyat engga kaget.


Nah karena aturan subsidi sudah tidak ada lagi. Sementara Pertamina jebol. Direksi Pertamina minta negara bailout kerugian itu? Kan lucu banget. “ Anda selama ini dibayar mahal gajinya, tetapi rugi minta negara bailout. Kalaulah anda pintaran dikit dan malu dibayar mahal, ya tidak perlu Pertamina rugi. Lah anda jual dengan aturan harga pasar. Kalau untung teriak bangga. Pas rugi minta negara bailout. Anak alay juga bisa kerja begitu.” Lucunya, pemerintah mau beri kompensasi. Ya sama saja dengan bailout.


Kalau negara beri kompensasi atas kerugian Pertamina sebesar Rp. 190 triliun. itu sama saja pemerintah ( komisaris dan Meneg BUMN) mengakui kesalahan Pertamina selama ini diketahui dan dibiarkan saja. Bisa saja itulah buah konspirasi antara elite dan pedagang. Kalau pemerintah tidak tahu, ya segera pecat semua direksi dan komisaris Pertamina. Ganti orang yang lebih pintaran sedikit. Berani engga Jokowi?

Ada lagi yang aneh dan lucu. Apa itu? minyak goreng. Sudah jelas bahwa kita kendalikan produksi dan konsumsi. Karena kita produsen CPO terbesar dunia. Kita juga konsumen minyak goreng terbesar nomor 1 di dunia. Tetapi stok di tangki hanya dua minggu saja. Apa yang terjadi ? Nah bayangin aja. Kita kuasai market dan produksi, eh malah kita jadi korban pasar. Semua bilang tekor, Konsumen merasa dirugikan harga naik.  pengusaha sawit juga cerita rugi gara gara harga. Itulah contoh tidak smart pegang posisi.


Padahal semua tahu bahwa BBM dan Minyak goreng itu sudah jadi prodk strategis. Karena bersinggungan langsung dengan politik.  Ini menyangkut kebutuhan vital publik. Konyolnya sudah jelas begitu,  eh dikelola dengan mental pedagang Tanah Abang. Pragamatis sekali. Ya jangan salahkan kalau Indonesia jadi korban trader. Trader itu tidak punya barang dan tidak punya pasar. Tetapi mereka kendalikan barang dan juga pasar. Trader bermain dengan instrument trading lewat mekanisme future trading dan ekosistem financial. Walau stok hanya dalam bentuk kertas doang, tetapi harga terbentuk dan mereka dapat cuan setiap pergerakan harga.


Apakah tidak ada orang pintar di pemerintah? banyak pastinya. Tetapi yang punya niat baik bagi kepentingan negara, itu tidak banyak. Pemerintah itu memang  berbicara atas nama kepentingan rakyat tetapi dalam kebijakannya  untuk kepentingan pedagang.  Ya namanya pedagang kan ingin tetap negara lemah agar sumber daya negara bisa mereka nikmati tanpa kerja keras dan resiko rendah. Selebihnya bagi bagi uang kepada elite. Dan Demokrasi tetap bisa diongkosi agar sistem kekuasaan terus berjalan baik baik saja.


Thursday, May 19, 2022

Pemerintah keok di hadapan cukong sawit

 





Akhirnya pemerintah tidak berdaya dengan kebijakan larangan ekspor CPO. Terpaksa larangan ekspor itu dicabut lagi. Sama dengan larangan ekspor batubara. Dari awal sudah bisa ditebak akan begini jadinya. Karena memang keputusan yang tidak didukunga agenda yang jelas dan visioner. Hanya pragmatis saja. Keliatan sekali memang politik harus patuh kepada realita bahwa yang berkuasa sesungguhnya adalah oligarki bisnis. Pemerintah yang kita pilih dengan harapan tidak ada berarti apapun di hadapan kekuatan kartel bisnis. Itulah realitasnya.  


Saya ingin memberikan solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk keadilan dan pertumbuhan industri dalam negeri. Walau saya sendiri tidak yakin solusi ini akan diterapkan oleh pemerintah. Tetapi sekedar upaya anak bangsa yang tak pernah kehilangan harapan dan tidak pernah lelah mencintai negeri ini, saya sampaikan tulisan ringan yang mencakup tiga hal, yaitu tata niaga, logistik dan insentif.


Tata niaga.

Kebaradaan business sawit sudah ada sejak era Soeharto dengan program PIR yang merupakan sinergi antara rakyat dan perusahaan. Ini sudah established. Melahirkan konglomerat masuk dalam datar 50 orang terkaya di Indonesia. Jadi apakah kita akan terus memperkaya mereka itu atau kita juga perlu memberi kesempatan luas orang lain menikmati kemelimpahan sumber daya Sawit? kalau pilihan untuk kepentingan konglomerat ya sudah. Selesai sampai disini. Tetapi kalau ingin melaksanakan misi Pancasilan sila ke lima, ya kita harus melakukan perubahan. Bukan sekedar perubahan tetapi perubahan struktural. Apa itu? perubahan tata niaga.


Tetapkan pajak tinggi untuk ekspor CPO. Bila perlu pajak diatas 50% dari harga ekspor. Hapus saja soal ketentuan DPO dan DMO. Jadi biarkan pengusaha upstream menentukan sikap atas kebijakan pajak itu. Ini lebih adil. Karena dengan pajak tinggi itu, sistem lebih transfarance. Semua masuk APBN dan dikelola diawasi oleh DPR. Negara punya tambahan sumber pendapatan untuk trade off atas kenaikan harga downstream seperti minyak goreng di pasaran. Artinya kalaupun harus subsidi minyak goreng dalam jangka pendek, tidak menganggu belanja rutin APBN.


Logistik.

Pemerintah bisa gunakan keberadaan BULOG ( Badan Usaha Logistik) sebagai penyangga produksi CPO dengan harga domestik tanpa pajak. Untuk itu BULOG harus bangun pusat logistik yang terintegrasi dengan kawasan industri downstream CPO. Saat sekarang pemerintah sudah bangun KEK di Sei Mangke dengan luas 2000 hektar. Sementara untuk logistik sudah pula dibangun di Kualan Tanjung. Jadi pusat logistik CPO dan kawasan industri downstream itu sudah ada. Tinggal pemerintah selanjutnya keluarkan regulasi tata niaga Sawit dengan dukungan kelembagaan BULOG dan KEK. 


Agar sistem ini bisa berjalan dengan baik dan cepat, BULOG bisa terapkan sistem  IT supply chain resource Entreprise.  Sehingga sumber daya atas stok CPO bisa diakses oleh publik yang ingin masuk ke dowsntream CPO. Karena berada di Kawasan Ekonomi Khusus, ekosistem financial untuk mendukung likuiditas stok akan terbentuk dengan sendirinya.


Insentif.

Pendirian usaha di KEK downstream CPO, mendapatkan insentif bebas pajak ekspor dan PPN. Yang keluarkan izin cukup pengelola KEK. Tidak perlu lagi minta izin kepada pemda dan pusat.  Dengan adanya insentif ini tentu akan mendorong relokasi dowstream yang ada di luar negeri seperti China, dan lain lain untuk masuk ke KEK. Pengusaha lokal juga akan antusias dirikan industri downstream. Karena engga perlu lagi invest stok untuk kelanjutan produksi.  


Artinya pengusaha UKM bisa dirikan industri downstream. Karena modal terbesar untuk downstream ada pada bahan baku dan stok barang jadi. Dengan adanya sistem IT supply chain resource Entreprise biaya stok bisa diatasi lewat ekosistem financial sebagaimana UU Sistem Resi Gudang.


***

Saya datang ke tempat seminar terbatas. Saya di Undang bukan sebagai pendengar tetapi sebagai pembicara. Saya sempat bingung. Ada apa ? saya tidak kenal lembaga penelitian itu. Tetapi ternyata itu rekomendasi dari lembagan keuangan di Eropa yang jadi sponsor, yang minta saya jadi pembicara. Seminar diadakan di hotel bintang V. Di dalam ruangan itu hanya ada 30 orang saja. Mereka yang datang itu umumnya adalah analis investasi dan pejabat pemerintah.


Tadi di dalam kendaraan menuju tempat seminar, saya sempatkan baca summary topik seminar lewat smartphone. Ini tentang Supply Chain and sustainability. Saya datang acara sudah berlangsung. Saya menanti 30 menit. Kemudian dapat kesempatan bicara. Awalnya bingung juga. Darimana saya mulai. Mereka yang hadir jelas semua sarjana. Mungkin S3. Kalau saya bicara dengan pendekatan akademis, jelas diketawain. Saya engga tahu referensinya. Jadi lebih bak saya bicara secara praktis saja. Soal mereka paham atau tidak , bukan urusan saya.


“ Bapak dan ibu sekalian. Silahkan dengar lagu ini sebelum saya bicara. " Saya putarkan lagu lewat smartphone yang berjudul “Gebyar gebyar. “ Saya perbesar volume. Mereka mendengar. Ada yang serius dan ada yang senyum. Saya bersikap sempurna saat mendengar lagu itu. Usai lagu itu. Saya tatap mereka semua.


Bapak bapak ibu ibu, kalau saya dengar lagu itu saya malu kepada diri saya sendiri. Sebagai putra ibu saya. Saya gagal menjadi putra yang dibanggakan. Kita kaya SDA, tapi SDA yang tidak mensejahterakan. Yang tidak berkeadilan. Kadang SDA itu seperti kututukan.Membuat kita saling curiga dan saling serang. Kita kuat itu karena TNI dan POLRI, bukan karena mental kita sebagai bangsa. Andaikan TNI lemah, saya tidak tahu, mungkin kita saling baku hantam. Itulah kutukan SDA.


Padahal masalah SDA yang tidak memakmurkan itu bukan hal rumit. Itu karena kita engga punya sistem tataniaga, yang secara ekosistem mendukung proses produksi, distribusi, yang berkeadilan dari segi sumber daya. Ini tidak terjadi disemua sektor. Akibatnya kita hanya sibuk rebutan papasan perang. Yang kuat yang dapat banyak. Yang lemah engga dapat apa apa. Akibatnya terjadi ketimpangan agraria, sampai kepada ketimpangan kekayaan. Untuk lebih jelasnya baik saya uraikan secara sederhana apa yang saya maksud itu.


Saya kembali kepada topik seminar ini. Supply Chain and sustainability. Saya perlu koreksi sedikit. Supply chain itu bukan hanya focus kepada IT, tetapi yang esensinya adalah berkaitan dengan 3 sumber daya. Apa saja itu ? Bahan baku, logistik ( termasuk gudang/ tanki) , dan financial. Kalau tiga hal tersebut dipenuhi maka proses berkelanjutan ( sustainable ) akan terjadi dengan sendirinya. “ Kata saya. Saya menatap kesemua yang hadir.


Nah “ lanjut saya. “ Contoh sederhana yang yang hot sekarang. Sawit. Kalau kita punya sistem Supply chain yang didukung tiga sumber daya itu, tidak mungkin sampai ada laranga ekspor dari pemerintah. Larangan itu adalah intervensi pasar karena sistem tidak bekerja, dan berdampak merugikan negara dan konsumen. Solusinya yang menguntungkan semua pihak dan negara tidak perlu intervensi, yaitu pemerintah harus membangun pusat logistik CPO yang terhubung dengan ekosistem bisnis sawit dan ini pasti didukung ekosistem financial.


Akibatnya dari sistem supply chan itu, kelebihan stok tidak jadi beban pabrik dan tidak menghalangi pemilik kebun untuk menjual TBS tanpa ada kemungkinan permainan harga akibat demand and supply yang diatur kartel. Kalau logitisk tertata baik itu akan jadi magnit besar bagi investor dalam dan luar negeri, itu akan mendorong pengusaha membangun downstream. Karena bahan baku terjamin. Otomatis  ekosistem financial terbentuk. Mengapa ! Karena kita adalah produsen sawit terbesar di dunia. We served the world and we are the world. Relokasi industri downstream dari China, Korea, Jepang, India akan terjadi secara natural tanpa perlu diundang segala. “ Kata saya.


Saya kembali putar lagu “ Kulihat ibu pertiwi” Setelah usai lagu di kumandangkan. “ Cukup sampai disini. Saya bukan akademisi. Kalau ada kata saya salah, anggap angin lalu. Terimakasih. “ kata saya. Mereka yang hadir berdiri bertepuk tangan. Saya malah bingung. Apanya yang hebat ? Saya permisi pergi untuk meeting di jalan Thamrin.

Sunday, May 15, 2022

Rencana Tesla invest di Indonesia?

 




Tahun lalu Tesla negosiasi dengan Indonesia untuk bangun pabrik EV. Akhirnya Tesla membatalkan rencananya itu. Alasannya sederhana saja. Karena Indonesia tidak bisa comply ESG ( enviromental Social Governance ).Sementara sarat utama investasi bagi perusahaan yang sudah IPO di Wallstreet harus di negara yang patuh dengan standar ESG. Mengapa Indonesia dianggap tidak memenuhi ESG ? karena Indonesia belum ada solusi konkrit tentang limbah penambangan nikel.


Kemudian Tesla lanjutkan rencana membangun pabrik EV di India. Setelah negosiasi yang panjang. Bahkan Tesla sudah mendirikan perusahaan di India, Tesla India Motors and Energy Private Ltd di Bengaluru pada 8 Januari, 2021. Namun tiga hari lalu Tesla mengumumkan bahwa mereka mundur dari rencana itu. Mereka pastikan meninggalkan pasar India. 


Apa pasal? karena India tidak ingin  hanya dimanfaatkan pasarnya saja. Tanpa ada tekad serius Tesla bangun pabrikasi secara terintegrasi di India. "Kami hanya punya pasar, dan anda punya tekhnologi. Kalau mau masuk pasar kami, ya serahkan tekhnologi kepada kami. Kalau engga, Ya engga usah invest. " Kira kira itu sikap pemerintah Idia. Tesla minta izin waktu secara bertahap membangun pabrik terintegrasi. India tidak masalah. Tetapi tetap saja impor komponen yang didatangkan dari pabrik Tesla di CHina kena pajak impor tinggi. Itulah yang membuat Tesla capek negosiasi dan akhirnya cao.


Sebenarnya tahun 2019 Tesla berencana membangun pabrik baterai EV di India. Itu juga gagal. Karena India tidak mau tekhnologi modul baterai didatangkan dari pabrik Tesla di China. Harus bangun sendiri di India. Kalau engga, ya dikenakan tarif impor tinggi. Jadi sebenarnya, India tidak salah. Tesla sudah tahu platform pengembangan industri di India sebelum dia masuk. Namun Tesla mau take advantage akan keberadaan tekhnologi EV dan kesiapan China mau dukung pembiayaan. Ternyata India tidak bisa dibujuk  kalau kepentingan domestik diabaikan.


Mungkin anda bingung. Baik saya jelaskan. Pabrik EV itu ada tiga unsur. Pertama, lempengan baterai. Kedua, modul baterai. Ketiga, kerangka dan fitur. Ya lempengan baterai itu bisa dibuat dimana saja. Nilai tambahnya rendah. Satu paket lempengan baterai per satu kendaraan value nya hanya USD 1200. Sementara modul baterai itu nilai tambahnya USD 15,000. Nah modul tekhnologi ini tidak akan ditransfer tekhnologinya kepada pihak lain. Sedangkan kerangka, itu bisa dibuat di mana saja. Karena tekhnologinya sederhana. Soal fitur itu bisa juga engga sulit.


Nah apa agenda pertemuan Jokowi dengan Elon Musk boss Tesla? apa yang ditawarkan Indonesia kepada Tesla untuk berinvestasi di Indonesia? kemungkinan besar itu hanya lempengan baterai saja, bukan modul baterai. Ya sama dengan yang dibangun oleh Indonesia Battery Corporation (IBC). Perusahaan patungan empat BUMN, PT Indonesia Asahan Aluminium/Inalum), PT Anyam Tbk (ANTM), PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero). Kemungkinan besar yang invest di Indonesia itu adalah unit bisnis Tesla di China. Karena dia engga mungkin dapat duit dari AS, kecuali dari China yang tidak mensaratkan ESG. Kemungkina sukses kecil sekali. Namun sekedar PR ya lumayan memuaskan pejabat yang atur pertemuan antara Elon Musk dan Jokowi.


Namun yang patut diperhatikan adalah kalau alasan bangun pabrik baterai itu, Tesla juga minta izin masuk pasar domestik untuk EV nya. Ya pemerintah harus tetap dengan kebijakan standar perlindungan pasar domestik. Kalau engga, sampai kapanpun kita tidak akan punya industri EV terpadu. Pasar domestik hanya dimanfaat pihak luar. Nasip kita akan sama dengan industri kendaraan konvensionnal ( Non EV) yang ada sekarang, yang kita tidak bisa mandiri.  Itu karena kebijakan masa lalu yang lemah atau longgar terhadap APM ( Agen Pemegang Merek).


***

Program hilirisasi Nikel

Kalau saya baca program hilirisasi Nikel itu sudah benar sesuai dengan UU Minerba. Jokowi laksanakan UU itu dengan konsisten. Tidak ada satupun kementrian yang berani bermain. Ya karena sudah undang undang. Artinya hilirisasi itu sudah konsesus politik.  Walau UU Minerba  itu kali pertama di create era SBY dan di revisi di era Jokowi, namun sampai sekarang hilirisasi itu hanya sebatas  antara (intermidiate) dan didominasi oleh produk kelas dua, yakni nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi). Belum sampai ke produk jadi yang nilai tambahnya tentu jauh lebih tinggi.


Pada tahun 2021, konsorsium BUMN, PT Pertamina (Persero), PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT PLN (Persero) dan PT MIND ID. mendirikan pabrik baterai , namanya PT Industri Baterai Indonesia (IBI) dengan masing-masing 25%. Ini juga bukan baterai modul. Hanya sebatas lempengan baterai. Tapi nilai tambahnya lumayan. Itu 5 kali daripada jual nikel mentah. Kalau modul baterai, itu nilai tambahnya bisa mencapai 50 kali.


Menurut saya, itu sudah bagus. Asalkan Pemerintah focus kepada riset dalam negeri agar kita mampu mengembangkan sendiri downstream nikel itu. Berdayakan saja  kampus seperti ITB, ITS, dan lain lain agar terlibat serius mendapatkan tekhnologi downstream nikel yang lebih luas. Mengapa? kalau kita tidak focus riset, saya kawatir kita dihabisi oleh predator dari luar. Bayangin aja betapa begonya kita kehilangan puluhan kali nilai tambah hanya karena kita tidak kuasai tekhnologi. 


Belum lagi saya dengar ada skema supply chain yang ingin kuasai SDA nikei. Misal PT Industri Baterai Indonesia kerjasama dengan Hyundai Motor Company, KIA Corporation, Hyundai Mobis, dan LG Energy Solution bangun pabrik baterai senilai US$1,1miliar. Begitu juga IBI kerjasama dengan Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL) asal Tiongkok dengan investasi sebesar US$ 5 miliar (Rp 72 triliun), dan LG Chem Ltd asal Korea Selatan sebesar US$ 13-17 miliar (Rp 187,5-245 triliun).


Investasi tersebut diatas sebenarnya itu sama saja dengan counter trade ( imbal beli SDA). Investasi dibayar dengan produksi. Karena investor yang kerjasama dengan IBI itu adalah juga offtaker produk baterai itu sendiri. Tetapi itu hanya sebatas lempengan baterai. Lempengan itu dikapalkan ke CHina untuk mendukung supply chain industri modul bateral dan EV. Kita hanya kebagian nilai tambah 5 kali saja dari harga nikel. Sementara korea dan cHina dapatkan nilai tambah 10 kali dari lempengan baterai itu. Belum lagi China dan Korea dapat laba dari pabrik baterai mereka di Indonesia sebagai JV.


Betapa besarnya anggaran pendidikan di APBN. Bahkan 20% dari total APBN. Itu tentu berharap investasi pendidikan bisa memberikan sumbangan bagi kemajuan negeri ini. Tetapi sampai sekarang kita hanya jadi pecundang di bidang hilirisasi SDA. Karena kampus hanya sibuk berpolitik dan omong kosong dan output nya para sarjana yang sibuk cari kerjaan dan nyinyir. Mau gimana lagi. Itulah nasip negeri kita. Mindset terjajah belum tuntas dihapus. Inferior banget nget. 


Apalagi lihat jokowi sampai menemui Elon. Diterima pakai kaos doang. Saya nangis dalam hati. Begitu besar keinginan presiden saya untuk nilai tambah SDA negeri ini. Kalaulah anak negeri ini mampu mandiri dibidang hitech, engga mungkin presiden saya sampai merendahkan diri bertemu dengan Elon…

Thursday, May 12, 2022

AS tidak waras

 



Tahun kemarin ada film Dont Look up di Netflix. Kate Debiasky (Jennifer Lawrence), mahasiswa pascasarjana astronomi  mengingatkan akan potensi komet menabrak bumi. Itu bisa membuat kiamat. Hitungannya terkonfirimasi oleh Dr. Randall Mindy (Leonardo DiCaprio) bahwa komet tersebut berpotensi menabrak Bumi dalam waktu enam bulan ke depan. Bumi berpotensi akan hancur. Tapi peringatan itu jadi bahan lelucon para elite dan politisi AS. Akibatnya memaksa Kate Debiasky membocorkan ancaman itu lewat media massa. Keadaan jadi kacau. Publik jadi takut dan kawatir atas berita tersebut.


Apa yang terjadi kemudian?  issue itu dimanfaatkan oleh Gedung Putih sebagai cara meningkatkan rating politik dihadapan rakyat. Bahwa berita soal komet itu bohong. Sementara Dr. Randall Mindy dan Kate ngotot bahwa itu bukan rumor tapi sains. Tambah ramai, issue itu juga dijadikan cara meningkatkan value saham di bursa atas perusahaan yang dapat misi untuk mengalihkan orbit komet tersebut. Padahal program perusahaan itu tidak masuk akal secara sains. Namun anehnya didukung presiden. Karenanya sikap rakyat terbelah atas issue tersebut. Ada yang percaya, dan ada yang tidak.


Film Dont Look up jenis drama satire. Walau cerita fiksi namun cukup menggambarkan betapa kehebatan sains ( akal sehat) tidak berarti sama sekali kalau sudah bicara politik kekuasaan yang diharuskan culas. Saya nonton film ini seperti membayangkan suasana batin dari Scott McClellan, juru bicara Gedung Putih Era Geoge Bush, yang menulis buku Inside The bush White House and Washington’s Culture of deception. Tahun 2005  dia sampai dapat curhat dari Alan Greenspan. Betapa renta system perbankan AS. Mungkin saat itu Alan Greenspan seperti lakon Dr. Randall Mindy dan Kate pada Film Dont Look up tidak tahu bagaimana lagi meyakinkan Presiden AS akan bahaya yang mengancam. 


Saat itu AS sedang menghadapi ancaman, bubble price di Wallstreet. Paling lama 6 bulan gelembung itu akan meledak. Dampaknya bisa menggerus 1/3 PDB AS. Scott McClellan sebagai orang dekat  George Bush berusaha menyampaikan peringatan Alan Greenspan dan minta dukungan Presiden untuk melakukan antisipasi. Apa sikap George Bush? malah yang terjadi tahun 2006, Alan Greenspan mundur sebagai Chairman the Fed, digantikan oleh Ben Shalom Bernanke.  Subprime mortgage, yang pertama kali terdeteksi tahun 2006, telah menyebar ke seluruh dunia pada musim panas 2007. Itu adalah pinjaman predator kriminal yang hipoteknya yang tidak berharga dikemas ulang agar terlihat seperti investasi yang aman dan dijajakan di seluruh dunia. 


Orang Amerika kehilangan tabungan pensiun 50%. Kekayaan bersih rumah tangga AS anjlok hingga $11 triliun — dalam satu tahun. Ini adalah angka yang sama dengan output tahunan gabungan Jerman, Jepang dan Inggris. Mereka saling menjarah dengan kejam. Tahun 2006 itu sudah terasa goncangan ekonomi. Tetapi tetap saja presiden AS tidak menyadari atau ignore atas gejala itu.   Barulah tahun 2008, setelah Lehman Brother delisting di bursa, semua terkejut. Ibarat teori domino. Satu jatuh yang lain ikut jatuh. Sistemik sekali. 


Lucunya Henry Merritt "Hank" Paulson, Menteri keuangan AS saat krisis itu terjadi, dia  sendiri tidak paham apa yang  sedang terjadi. Dia sempat bertanya kepada stafnya apa yang dimaksud CMO ( collateralized mortgage obligation). Mengapa sampai jadi pemicu crisis wallstreet? . Padahal semua tahu dia  mantan Boss Goldman Sachs, investment banker first class. Sampai kini proses recovery tidak kunjung terjadi. Bahkan semakin membuat ekonomi AS dan dunia menghadapi krisisl. Semakin engga waras.


***

Mengapa kamu sebut AS itu tidak waras? tanya teman setelah membawa tulisan saya yang di share lewat WAG. Saya senyum aja. Tetapi karena dipaksa jawab maka saya jelas secara sederhana. “ Cobalah bayangkan. Setiap kampanye presiden selalu digaungkan janji menaikan upah. Sementara proses perubahan struktural bisnis kan engga bisa cepat terhadap adanya kenaikan upah itu. Akibatnya, pertumbuhan upah lebih cepat dari pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dibawah 5% sementara upah meningkat 6,6 % setahun. Padahal di AS, 2/3 ongkos ekonomi terkait dengan upah.”


“ Tapi AS kan sudah pengalaman melewati krisis, setidaknya selama  60 tahun terakhir, termasuk pada tahun 1965, 1984 dan 1994, AS The Fed sangat perkasa mengendalikan pesawat ekonomi AS. Sehingga walau digoncang turbulensi, the fed tetap bisa soft landing"  kata teman.


“ Tahu sebabnya ?  


" Apa ?


" saat itu inflasi rendah, dan pertumbuhan upah rendah. Jadi walau the fed menaikan suku bunga tidak berdampak buruk terhadap ekonomi. Tetapi sekarang? Upah sudah tinggi, inflasi juga tinggi. Naikan suku bunga itu sama  saja membunuh sektor real. 


“ Jadi itu yang kamu maksud tidak waras? tanya teman saya. 


“ Ya. Upah yang naik tidak berdasarkan alasan rasional, tetapi lebih karena alasan politik populis,  itu sudah tidak waras. “


“ Pastilah ada alasan politik yang masuk akal ? bisa jelaskan.”


“ Secara Ekonomi AS itu sudah keok dengan China. Banyak industri dan manufaktur AS yang pindah ke China. Karena alasan upah rendah di China. Anehnya ini tidak disadari oleh pemerintah AS. Mereka masih aja menjanjikan upah naik pada setiap putaran pemilu.  Sementara mesin bisnis mereka pada hengkang ke China. Yang tersisa hanya industri dan manufaktur yang tidak efisien. Diserbu oleh produk China, ya keok lah. Masih juga engga disadari. Seharusnya mereka restruktur ekonomi mereka. Tetapi malah ajak perang dagang China. Kan konyol. Dampaknya barang kebutuhan jadi naik di pasar retail. Ini memicu inflasi.” kata saya.


“ Ya kenapa mereka naikan terus upah? 


“ AS itu kan sama  dengan Eropa. Mereka menganut sistem negara kesejahteraan. Masalah upah itu amanah konstitusi. Yang jadi masalah, upah boleh jadi ukuran kesejahteraan, tetapi kenaikan itu  seharusnya karena memang perusahaan untung. Ekonomi bergairah. Kalau ekonomi lesu, pengusaha banyak yang hengkang ke China, kan engga waras naikan upah”


“ Terus apalagi dasarnya kamu bilang tidak waras ? tanya teman


“ Udah tahu AS itu tergantung energi dan gandum dari impor. Eh dia ajak ribut Rusia yang merupakan salah satu negara produsen minyak dan gandum terbesar di dunia. Ya harga minyak  dan gandum melambung. Ini juga jadi pemicu inflasi. Ditambah lagi,  eh China lockdown alasan covid. Rantai pasokan jadi terganggu. Banyak pabrik di AS kesulitan supply chain dari China. Terpaksa mereka kurangi produksi. Kacau kan.” kata saya tersenyum


“ Benar, kata kamu. AS udah engga waras." kata teman


***


Setelah The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan pada Rabu (4/5/202). Bursa bereaksi. Saham unggulan berjatuhan. Apple, rontok $220 miliar. Microsoft telah kehilangan sekitar US$ 189 miliar. Tesla menyusut US$ 199 miliar. Amazon jatuh sebesar US$ 173 miliar. Alphabet, (Google), jatuh sebesar US$ 123 miliar, Nvidia kehilangan US$85 miliar. Meta Platforms induk Facebook telah kehilangan US$70 miliar. Kalau ditotal, market telah kehilangan USD 1 triliun. Kejadian seperti ini sudah diprediksi sejak tahun lalu. Terutama dampak dari tapering atau kenaikan suku bunga.


Sebelum invasi Rusia ke Ukrania, saya sudah restruktur rekening ETF saya. Pengalaman krisis 1998 dan 2008 mengajarkan banyak hal kepada saya. Saya juga menulis di blog dengan judul “ Prahara ekonomi, hanya masalah waktu”. Itu saya tulis pada bulan november 2021. Makanya minggu lalu terjadi killing field di Bursa, saya aman saja. Lantas apa penyebab sampai cepat sekali badai turnado itu datang. Apakah hanya karena kebijakan moneter AS ? Mari kita analisa sederhana ala pedagang sempak.


Pertama, terjadinya over capacity di semua sektor produksi dan manufaktur. Terutama sektor tekhnologi. Yang peningkatannya bukan berdampak kepada efisiensi tetapi justru kerakusan yang berlebihan. Sehingga terjadi bubble value. Ini sebenarnya teori dasar keuangan. Semua tahu dampak dari over capacity yang berujung over value. Tetapi para otoritas tidak berdaya menghalangi proses bubble value ini.


Kedua, dampak dari over capaciity dan over value ini, memaksa para fund manager yang mengelola portfolio terjebak dalam bisnis ilusi. Memainkan harga demi menjaga aset agar tidak busuk, walau tahu sebagian besar aset yang mereka kelola sudah deadduck. Tidak ada hope. Ini ongkosnya mahal sekali. Mereka menarik uang dari berbagai sumber dengan berbagai skema dan cerita, sehingga uang tercatat melimpah dalam neraca tetapi tidak mengalir ke sektor produksi. Ini justru mendorong meningkatnya bubble value.


Ketiga, yang paling bahaya adalah kemelimpahan sumber daya disektor moneter itu mendorong terjadinya inflasi. Maklum, sektor real tidak bertambah, uang terus bertambah. Yang jadi korban adalah publik dengan meroketnya harga barang di pasar. Ini yang disebut dengan imbalance economy. Dampaknya sangat sistemik. Karena sudah menyangkut struktural. Proses recovery sangat sulit dan ongkosnya teramat mahal.


Kempat. Para fund manager berkelas dunia sudah berpikir mendekati tahap closed file terhadap peran AS sebagai pendorong pertumbuhan PDB dunia. Bagi mereka mengelola aset berbendera Amerika itu udah no hope dan semakin lama semakin omong kosong. Udah engga waras. Apalagi utang terus meroket, Udah tembuh diatas 100% dari PDB. Sementara kebijakan paket ekonomi Biden di ketawain oleh Kongres. Presiden sudah engga ada reputasi lagi memberikan hope kepada rakyat.


Dengan empat hal tersebut, Indonesia harus cerdas mengantisipasi perubahan global. Hal ini sudah diperingatkan oleh riset World Economic League Table 2021 yang dilakukan oleh Centre for Economics and Business Research (CEBR) pada desember tahun 2021, bahwa AS sudah tidak lagi bisa diharapkan. Posisinya sudah bergeser ke China. Tahun 2023 atau 2024, AS akan masuk lubang resesi. Jadi presiden setelah Jokowi harus orang yang bukan pro AS. Harus orang yang jago mensiasati ekonomi China.