Friday, May 27, 2022

Ekonomi Dunia terancam Resesi

 




Entah ada ksepakatan atau tidak, yang jelas sepertinya Rusia dan China kompak untuk membawa dunia ke jurang resesi. Rusia menghentikan pasokan Gas ke Eropa. Sementara semua tahu, Eropa sangat bergantung kepada Rusia akan energi. German yang merupakan kekuatan ekonomi di Eropa dan nomor empat dunia sudah terpuruk ekonominya. Dengan adanya krisis Energi di Eropa telah membuat harga energi naik dan tentu memicu kenaikan inflasi. 


Sementara China dengan alasan COVID telah melakukan lockdown di kota utamanya seperti Beijing dan Shanghai. Ini tentu mengurangi supply chain global. Hampir semua pabrik kendaraan kesulitan mendapatkan pasokan semi konduktor. Banyak barang kebutuhan umum yang tadinya diimpor dari China kini berkurang. Tentu semua berdampak  kepada kenaikan harga dan mendorong inflasi terkerek naik.


Krisis karena berkurangnya pasokan, itu sudah berhubungan dengan masalah struktural ekonomi. Tidak mudah menyelesaikannya. Karena sudah menyangkut politik.  Prinsip globalisasi yang dulu diperjuangkan semua negara agar terjadi kebebasan pasar tanpa intervensi negara, kini tidak lagi menjadi prinsip. Ekonomi dan pasar ditentukan oleh kebijakan politik. Yang lebih konyol, adalah politik saling menghabisi, bukan politik bersinergi.


Mengapa?


Inflasi itu hantu yang sangat ditakuti oleh negara seperti Eropa dan AS yang menerapkan state welfare. Mengapa? karena dalam sistem state welfare bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap biaya sosial. Inflasi akan memaksa negara semakin besar menggelontorkan dana untuk melakukan intervensi sosial. Kebijakan ini sangat bertolak belakang dalam upaya memulihkan ekonomi. Karena menggerogoti fundamental ekonomi negara. Krisis akan cepat sekali menuju resesi. Dunia kini memang terancam resesi, menurut World bank.


Bagaimana dengan Indonesia? memang selama ramadhan dan lebaran terjadi lonjakan permintaan dan tidak ada pengaruh significant terhadap inflasi. Karena memang selama dua tahun COVID, kita dalam kondisi bisa dikatakan deplasi. Jadi momentum pembukaan paska COVID, dimanfaatkan oleh produsen melepas stok. Tetapi setelah itu inflasi sudah mulai terkerek. Apalagi sudah ada keluhan dari Menteri Keuangan akan perlunya bailout kerugian PLN dan Pertamina atas  kenaikan harga minyak mentah, gas dan barubara.


Dampak kenaikan suku bunga the fed, kedepan Indonesia akan menghadapi masalah kelangkaan likuiditas. Maklum pasar uang dan modal kita masih bergantung kepada investor asing. Disaat likuiditas mengering, itu akan mudah sekali menguras cadangan devisa untuk belanja impor. BI akan bleeding tahan kurs. Mengapa? Walau kita negara pertanian, nyatanya sebagian produk pangan masih kita impor. Walau kita negara penghasil minya dan gas, kita masih bergantung impor minyak dan gas. 


90% industri dalam negeri masih bergantung impor untuk linked product nya. Apa jadinya kalau harga supply chain naik di pasar global? Jelas saja industri dalam negeri akan terpaksa menaikan harga dan bila likuiditas kering. pasar tidak mendukung, pabrik terpaksa mengurangi produksinya. Gelombang PHK akan meluas. Harga harga kebutuhan akan melambung. Orang miskin semakin blangsat dan kelas menengah jatuh kere. Orang kaya semakin bersembunyi sambil menikmati suku bunga tinggi.


Solusi bagi Indonesia adalah perkuat fundamental ekonomi. Kenaikan harga komoditas itu momentum untuk kita semakin kuat dan dewasa. Tentu harus bijak menyikapinya. Caranya? hindari beban sosial APBN dalam bentuk intervensi harga. Hingga sektor real tidak terdistorsi. Soal dampak dari krisis global ? Ya, focus saja kepada bantuan langsung tunai kepada mereka yang terdampak blangsat. Yang kaya engga usah dipikirkan. Mereka punya tabungan untuk bertahan. Setidaknya selama krisis itu, kelas menengah terpaksa berani keluar dari zona nyaman. Ini saatnya perbaikan mental dalam arti sesungguhnya. Sekalian menguji karakter bangsa kita. Apakah kita bangsa pemenang atau pencundang.  Lupakan pencitraan menjelang pemilu 2024. 


***


APBN itu kan anggaran. Yang namanya anggaran kan berdasarkan asumsi. Contoh untuk mencapai angka pertumbuhan sekian persen, kita perlu anggaran sekian. Sekian untuk ekspansi agar tercapaian pertumbuhan pendapatan. Tentu asumsi itu harus realistis dan didukung kemampuan dan peluang yang tersedia. Engga bisa semaunya. Kalau semaunya, itu ngayal namanya. Nah saat sekarang berita yang kita terima dari Kantor Menteri Keuangan bahwa APBN surplus? Mungkin ini kali pertama dalam sejarah sistem defisit ( surplus ) anggaran kita bisa surplus.


Mengapa kita surplus ? ya karena waktu buat APBN asumsi yang kita tetapkan memang tidak terlalu tinggi. Maklum situasi ekonomi dunia sedang krisis. Tetapi karena dampak perang Rusia- Ukrania, ternyata berlanjut kepada krisis sumber daya. Sehingga, negara raksasa seperti China mulai menumpuk stok. China mulai beli Batubara, Baja, nikel, CPO dalam skala besar. Akibatnya harga komoditas andalan kita naik di pasar dunia. Ini tentu membuat pengusaha dalam negeri tajir melimpir, potensi penerimaan negara sebesar Rp. 420 triliun. Peningkatan pajak inilah membuat APBN kita surplus.


Apalagi setelah pandemi mereda. Belanja negara agak berkurang. Setelah bleeding akibat PEN, Pemerintah kini lebih focus konsolidasi daripada ekspansi. Pengusaha juga lebih hati hati untuk melakukan ekspansi karena bayang bayang peningkatan inflasi yang mengancam. Kemungkinan akibat kebijakan menekan inflasi, suku bunga akan segera BI naikkan. Tentu cost of fund akan jadi mahal, dan likuiditas akan tersendat. jadi lebih baik wait and see.


Namun ditengah situasi yang menggeembirakan itu, ada ancaman serius. Karena sebagian konsumsi kita juga berasal dari impor. Maka pengaruh eksternal akibat kenaikan suku bunga the fed dan inflasi akan berdampak pula dari sisi pengeluaran APBN. Apa itu. Misal kita kan net importir Migas. Jadi akibat kenaikan itu angka subsidi juga naik. Nah pemerintah akan ajukan ke DPR tambahan anggaran dalam APBN 2022 hingga sebesar Rp. 368 triliun.


Namun kalau melihat angka tambahan anggaran sebesar Rp. 368 triliun, saya mengerutkan kening. Mengapa? Ada angka kompensasi energi sebesar Rp275 triliun. Angka inilah yang dimaksud dengan bailout kerugian PLN dan Pertamina. Pertanyaan bego saya, Sampai kapan bailout ini akan terus dilakukan? bukankah keadaan eksternal dari tahun ketahun semakin memburuk. Kalau begitu terus bisa jebol APBN. Apalagi istilah kompesasi itu tidak ada dalam UU kebijakan energi terutama dalam kebijakan harga BBM sesuai harga pasar.


Di tengah situasi pragmatis itu, Srimulyani tidak yakin pertumbuhan ekonomi pada semester kedua tahun ini akan mencapai pertumbuhan sesuai asumsi APBN. Kemungkin pertumbuhan akan drop menjadi 3,6%. Saran saya, daripada kita terus berdamai dengan cara pragmatis, sebaiknya focus aja kepada aturan. Paksa Pertamina dan PLN terapkan harga jual sesuai nilai ekonomi. “ utamakan pemasukan, ongkos sosial soal lain. Jangan korbankan pemasukan hanya karena menjaga citra politik. istilah, biar tekor asalkan kesohor, itu endak baek.” Kepentingan sektor real lebih utama daripada citra politik. Harga BBM naik tentu akan memicu inflasi. Hadapi inflasi itu dengan program subsidi langsung kepada rakyat yang terdampak. Ya, kalau APBN surplus, tentu APBN punya kemampuan lebih melakukan ekspansi sosial. Ya kan boss.

No comments: