Tuesday, November 30, 2021

Non Recourse loan.




Anda punya perusahaan sudah lama  berdiri. Neraca perusahaan bagus. Tetapi kalau neraca perusahaan digadaikan ( jadi collateral)  untuk proyek baru. Ini akan beresiko. Meningkatkan rasio utang terhadap modal. Akan menurunkan performa perusahaan. Nah agar perusahaan tidak terlibat menanggung resiko atas utang itu, maka anda ajukan kredit investasi dengan skema non recourse loan. Jadio non recourse loan itu adalah skema pinjaman dimana jaminan adalah proyek itu sendiri. 


Namun bank tidak bego. Biasanya mereka memberikan pinjaman sebesar 70% dari total nilai proyek. Sisanya, 30% ditanggung oleh anda sebagai project sponsor. Nah yang jadi collateral itu nilai 100% ( hutang + modal ). Artinya kalau ternyata proyek ini tidak mencapai laba,  bank akan jual proyek sebagai collateral dengan harga  diatas 70%. Jualnya pasti mudah. Resiko bank tidak ada. Tentu bank tidak akan cairkan kredit sebelun proyek jadi. Namun commitment bank itu sudah bisa dijadikan jaminan oleh EPC untuk kerjakan dengan skema turn key. EPC induk perusahaan, dan pemilik proyek anak perusahaan. Klop dah.


Dalam praktek bisnis, skema non recouse loan ini diberikan untuk proyek infrastrutktur termasuk property atau industri yang pasarnya sudah terjamin atau sudah eksis sebagai kebutuhan publik. Sebagian besar pembiayaan berkaitan dengan phisik, bukan non phisik. Jadi secure loan. Hampir semua proyek infrastruktur yang dibangun oleh BUMN menggunakan skema non recourse loan ini. Perhatikan fasiitas yang diberikan negara: Untuk jalan toll. Negara beri jaminan IRR yang diminta oleh investor. Katakanlah IRR 12%. Kalau ternyata hitungan investasi IRR hanya 8%, maka 4 % ditanggung APBN. Ini disebut dengan VGF ( viability gap funding). Jadi benar benar dijamin untung.


Bagi BUMN karya, mereka jadikan peluang non recourse loan ini untuk dapatkan kerjaan kontraktor (EPC). Caranya? mereka membentuk SPC atau anak perusahaan sebagai investor jalan toll. Kemudian anak perusahaan ini ajukan pinjaman dengan skema non recourse loan. 30% Modal disediakan BUMN sebagai induk perusahaan. 70% dari bank. Nah kongkalingkong terjadi. 30% itu hanya permainan akuntasi saja. Karena proyek udah di mark up sampai 30%. Praktis mereka bangun jalan toll duitnya semua dari bank. Smart. Kerjaan kontraktor dapat, saham jalan toll di anak perusahaan dapat pula. Nanti kalau sudah jadi jalan tol, Induk perusahaan bisa lakukan divestasi untuk bayar utang bank. Walau ada mark up, kan kalau dijual bisa untung.


Tapi mengapa akhirnya BUMN itu bleeding terlilit hutang? Karena ketika proyek dibangun, di level anak perusahaan juga terjadi mark up. Akibatnya cost orerrun.  Belun lagi setelah proyek selesai dibangun. Mereka menghadapi negatif cashflow sedikitnya 5 tahun. Ya namanya baru. Untuk menutupi cash flow itu, anak perusahaan engga mungkin utang lagi. Karena proyek sudah digadaikan ke bank. Mau engga mau anak perusahaan pinjam uang ke induk atau pinjam ke bank yang jamin neraca Induk perusahaan. Nah dari satu proyek ke proyek lain begitu semua. Ya akhirnya jebol juga neraca induk perusahaan. Mau lakukan divestasi, harga udah kemahalan. Mau disekuritasai udah engga layak. 


Mengapa sampai terjadi begitu? BIaya lobi mahal. Sejak proses dapatkan penugasan bangun proyek, ajukan kredit bank, sudah bayar lobi. Belum lagi proses pembebasan lahan walau itu proyek pusat tetap aja perlu lobi ke pemda. Jadi sebenarnya proyek infrastruktur yang katanya B2B, adalah bentuk lain dari cara berbagi uang diantara elite, dimana BUMN sebagai vehicle aja.

Wednesday, November 24, 2021

Sistem ekonomi dan moral?

 




Ada teman yang suka sekali membahas berbagai issue politik dan ekonomi berhubungan dengan teori konspirasi tentang kapitalisme yang dikuasai oleh eite financial global. Walau didukung referensi hebat,  namun menurut saya referensi itu juga berkaitan dengan teori konspirasi. Jadi berputar putar tentang teori dengan dukungan data cocoklogi. Mau bantah gimana? lah wong teori kok. Kan semua tahu. Kalau teori tidak selalu benar. Sama juga dengan dalil agama.  Yang punya dalil merasa benar. Karena punya referesi kuat tentang Al quran dan hadith. Padahal itu hanya cocoklogi saja. Engga perlu debat. Engga ada manfaatnya.


Mengapa saya katakan kecurigaan itu hanya sebatas teori?. Karena capitalisme itu terjadi akibat proses sejarah yang panjang. Tidak datang mendadak. Kapitalisme itu hadir dengan  berbagai solusi atas terbatasnya sumber daya ditengah semakin besarnya jumlah penduduk planet bumi dan meningkatnya kebutuhan dan keinginan masyarakat modern akan barang dan jasa. Apalagi karena zaman, hidup semakin rumit. Perubahan terus terjadi dan terjadi. Jadi engga bisa sesederhana itu menyimpulkan bahwa apa yang terjadi itu by design. Dengan menyalahkan segelitir orang yang menguasai sumber daya keuangan.


***


Ketika kebutuhan semakin besar, orang banyak bingung. Peran negara begitu besar menghambat produksi, distribusi barang dan jasa. Alasan pemerintah melindungi rakyat sebagai konsumen,  justru yang terjadi adalah distorsi terhadap dunia usaha. Produksi jadi rendah. Distribusi terhambat. Padahal dunia usaha itu menghadapi ketidak pastian dan resiko. Di tengah kebingungan itu, tampilah Adam Smith memberikan solusi. "The Theory of Moral Sentiments" (1759) and "An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations" (1776). Dia membujuk pemerintah. “ Jangan terlalu diatur perdagangan. Bebaskan saja. Yang perlu diawasi itu kompetisinya. Jangan saling mematikan. Dengan perdagangan lancar, ekonomi akan beres. Negara juga yang dapat manfaat.


Selama 1 abad perdagangan lancar, ekonomi tumbuh melahirkan kemakmuran, tetapi ternyata menimbulkan ketimpangan sosial dunia.  Kemakmuran terjadi. Tetapi hanya di Barat dan AS. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin blangsat. Kalau tidak ada solusi maka akan berdampak chaos sosial. Makanya tampillah, David Ricardo. Dia bukan hanya ekonom hebat  tapi juga trader di London Stock Exchange. Dia tetap mendukung kebebasan pasar namun keadilan sosial mutlak ada. Caranya? lewat kebijakan politik tentang pajak. Solusi itu dia tuangkan dalam buku, Principles of Political Economy and Taxation" (1817).


Setengah abad kemudian, keadaan masyarakat semakin rumit. Orang bertambah banyak. Beragam industri dan jasa tumbuh. Walau perdagangan bebas dan pajak diterapkan namun pemerintah tidak bisa mengukur dengan pasti setiap kebijakan itu berdampak secara mikro, Maklum Adam Smith dan Ricardo lebih banyak berfilsafat dan berretorika dengan dasar asumsi asumsi ideal. Padahal hidup tidak ideal. Dalam kebingungan itu tampil Alfred Marshall. Dia berusaha menghindari ekonomi dalam ranah politik. Bukunya yang terkenal adalah Economics of Industry" (1879) dan "Principles of Economics" (1890), merupakan gabungan dari supply and demand curva, marginal utility dan marginal production. Sudah matematika pendekatannya.


Setengah abad berlalu, terjadi great depression. Pasar uang dan modal rontok, PHK terjadi dimana mana. Produksi drop terlalu dalam. Kembali orang bingung. Gimana mengatasinya? Tampillah LGBPT yang nyentrik, Keyness. Dia bicara tentang perlu pasar regulated. Harus ada intervensi Pemerintah terhadap pasar. Itu yang diterapkan oleh Obama dan Trump ketika sebagai presiden AS.  Pemikirannya tentang pasar regulated itu dituangkannya tahun 1935 dalam Buku, ”General Theory of Employment, Interest and Money”


Seperempat abad berlalu, orang kembali bingung. Apa pasal.? Uang hanya menumpuk di negara maju. Sementara sumberdaya ada di negara miskin dan berkembang. Apa arti uang kalau sumber daya tidak ada. Sebaliknya apa arti sumber daya kalau uang tidak ada. Nah ini dijawab oleh Milton Friedman. Dia bilang” Kalau ingin distribusi modal dan sumber daya terjadi merata. dan kemakmuran meluas, pertumbuhan berkelanjutan, ya pemerintah jangan mengatur. Biarkan saja semua proses terjadi atas dasar kebebasan. Yang penting dari keuntungan dunia usaha itu negara bisa dapat pajak untuk melakukan intervensi sosial.” Idenya itu dia tulis tahun 1962 dalam buku yang terkenal "Capitalism and Freedom”.


Nah kalau ada pengamat yang menentang pasar bebas, sebenarnya tidak setuju dengan pemikiran Friedman, tetapi dia copy paste pemikiran Keyness. Itu pernah diterapkan oleh Soeharto. Apa yang terjadi? Begitu besarnya peran pemerintah. Hasilnya KKN. Keyness gagal, bukan hanya di Indonesia tetapi di negara lain juga. . Justru karena gagal maka  tampilah Friedman. China terinspirasi terhadap kapitalisme ketika Friedman berpidato di hadapan petinggi partai komunis. Belum 50an tahun China reformasi, kini telah jadi kekuatan ekonomi nomor 1 dunia. 800 juta rakyat lepas dari kemiskinan akut/ Jadi kalau ada pengamat bicara berbusa tentang keadilan sosial atas kebijakan ekonomi Jokowi dengan menjejalkan teori konspirasi yang menakutkan, sebenarnya hanya mengulang retorika Keyness. 


***


Jadi apa sebenarnya solusi terhadap kapitalisme ? Albert Hirschman mengeritik Milton Friedman dalam esainya, Against Parsimony: Three Easy Ways of Complicating Some Categories of Economic Discourse: ketika kapitalisme bisa meyakinkan setiap orang bahwa ia dapat mengabaikan moralitas dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri, sistem itu akan menggerogoti vitalitasnya sendiri. Sebab vitalitas itu berangkat dari sikap menghormati norma-norma moral tertentu. Apa yang diungkapkan oleh Hirschman sejalan dengan pemikiran Adam Smith, dalam bukunya The Theory of Moral Sentiment. Ia tidak menganggap kehidupan bersama adalah sesuatu yang hanya dibentuk oleh Pasar, oleh kepentingan diri dan motif mencari untung. Smith,  juga berbicara tentang perlunya perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan semangat kebersamaan.


Kini memang terbukti: Pasar yang hanya mengakui bahwa rakus itu bagus seperti yang dikumandangkan oleh risalah macam The Virtue of Greed dan In Defense of Greed pada akhirnya terguncang oleh skandal Enron, Madoff, Lehman Brothers. dan lain lain. Tapi itu juga terjadi dalam simbol agama untuk meraih untung. Kepercayaan runtuh, kita bertanya apakah belum cukup bukti bahwa kapitalisme sudah salah jalan. Idiologi ini memberikan ruang kebebasan namun kebanyakan kita melupakan esensi moral yang harus diemban dan soal ini Milton Friedman, telah keliru bukan karena Smith salah. Ia sendiri yang keliru memahami persepsi  Smith tentang kapitalisme.


Sebagaimana dicatat oleh sejarah,  kapitalisme tak muncul sebelum ada sistem hukum dan praktek ekonomi yang menjaga hak milik dan memungkinkan berjalannya perekonomian yang berdasarkan kepemilikan.  Adalah salah besar menempatkan hukum kapitalis semata untuk memastikan “bujuk orang kaya dengan bunga tinggi dan biarkan orang miskin bekerja keras dengan upah rendah agar mereka terus tergantung dengan modal. Ini salah. Atau mendapatkan laba sebesar besarnya dengan pengorbanan sekecil mungkin. Itu juga salah. Siapapun berada didalam system kapitalisme dan mampu menerapkannya secara ideal , maka dia sebetulnya tidak pernah kehilangan esensi moral didalam hatinya. Orang sukses karena kerja keras dan moral selalu berujung kepada tanggung jawab moral kepada orang banyak. 


Itulah sebabnya  pada 9 Desember 2010, atau dua tahu setelah Lehman Brothers tumbang dan wallstreet  terjerembab, Gates, Warren Buffett, dan Mark Zuckerberg (CEO Facebook) menandatangani janji yang mereka sebut "Gates-Buffet Giving Pledge". Isinya adalah mereka berjanji untuk menyumbangkan setengah kekayaan mereka untuk amal secara bertahap. Mereka tumbuh dan mendulang sukses akibat kapitalisme seperti yang smith ajarkan tentang  perlunya perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan semangat kebersamaan.  Dengan sikap mereka itu , mereka bukan hanya memaknai bahwa sukses  harus diraih dengan kerja keras tapi bagaimana mempertanggung jawabkan kesuksesan itu untuk sesuatu yang lebih bernilai, dan ini hanya mungkin dengan konsep memberi. Seperti ungkapan Curchil “We make a living by what we get. We make a life by what we give.”. 


Semua agama mengajarkan ini , namun tidak semua orang beragama mampu melakukannya. Jadi bukan soal sistem ini atau itu, bukan soal agama ini atau itu tapi  tergantung akhlak orang yang menjalankannya, bahwa rakus itu buruk, berbagi itu indah dan menentramkan..


***


Bahwa masa depan tidak mencuatkan paralelisme antara ruang, jarak, dan waktu. Tentu masa depan bukan reproduksi kehidupan kelampauan dan ke-masa-mendatangan yang unpredictable. Bagaimanapun masa depan merupakan kausalitas perjalanan tentang substansi ''keberadaan'' (eksistensi) dan beraktualisasi tentang hidup itu sendiri. Pun rekonseptualisasi mengenai masa depan, tiadalah nilai kesejarahan hidup masa silam yang diterima. Sebagai masa depan, manusia dituntut -mengutip Dr Zhivagonya dalam novel Boris Pasternak- untuk membentuk kembali hidup. 


Itulah yang dilakukan oleh mereka yang meng “nol” kan dirinya untuk memulai sesuatu yang baru dalam dimensi baru. Sikap mereka seakan menegaskan tentang semangat juang untuk berbuat lebih untuk orang lain , yang mereka yakini sebagai wahana yang lebih bernilai dari apa yang sudah mereka capai. Memang bahwa manusia dilahirkan buat Hidup, bukan untuk bersiap-siap menghadapi hidup. Hidup senantiasa memperbarui, menciptakan kembali, mengubah, dan meningkatkan dirinya. Mempertimbangkan masa depan adalah membentuk kembali hidup. Berdasarkan pertimbangan semacam itulah, permenungan masa depan dimulai agar tidak menghadapi kecemasan, dus merugi. Bukankah dalam rentang waktu, kehidupan manusia senantiasa merugi.


Bangsa Indonesia sebagai komunitas dunia , seharusnya memandang masa depan dengan mata hati dan bukannya mata gelap. Ditengah kepayahan yang menimpa bangsa ini akibat rezim masalalu yang memanjakan namun menipu , diperlukan kearifan tersendiri untuk memandang masa depan. Setidaknya bagi mereka yang sudah terlalu kaya karena korupsi atau manipulasi tanpa tersentuh hukum untuk meng “nol” kan dirinya ; memulai sesuatu yang baru dan lebih bernilai. Agar masyarakat bangsa ini memandang masa depan bukan sebagai penantian waktu yang tak kunjung selesai. Mari hadapi masa depan dengan optimis dan kerja keras.


Sunday, November 21, 2021

Prahara ekonomi, hanya masalah waktu.

 




“ Hampir semua produk China harganya naik. Padahal ekonomi china sedang melambat. Di tandai dengan Purchasing Manager's Index (PMI) Maufaktur bulan oktober yang turun dari 49,2 poin, dari bulan sebelumnya 49,6. Ada apa ? tanya saya kepada teman di China. Menurut teman, pertama karena on schedule terhadap program jangka panjang China dalam kemandirian industri. Tahun ini pemerintah China mulai mencabut subsidi atas industri hulu. Tentu berdampak harga di hilir jadi naik. Kedua. Pada waktu bersamaan terjadi krisis energi. Itu juga semakin mendorong harga naik. 


Dengan situasi tersebut diatas, kan bisa berdampak kepada stagflasi. Produksi jatuh, tetapi harga naik. Lihat aja data. Badan Statistik Nasional China menyatakan pada Oktober 2021 Indeks Harga Produsen atau Producer Price Index (PPI) melonjak 13,5%. Hal ini menjadi penanda bahwa angka inflasi di China melonjak ke level tertinggi sejak 26 tahun lalu. Danpaknya bukan hanya dalam negeri china tetapi juga global. Maklum China adalah negara yang 20% menjamin supply chain dunia. Inflasi di Eropa dan AS sudah mulai merangkak naik. Para importir dan distributor mengurangi pembelian dari China. Barang di pasar retail jadi berkurang. Hanya masalah waktu akan merambat ke Indonesia dan negara ASEAN lainnya.


Bagaimana dengan sektor pasar uang dan modal? tingginya tingkat inflasi di tengah krisis energi dan rantai pasok akan memicu kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral, lebih cepat dari prakiraan awal. Setelah itu, yield pada pasar obligasi dunia akan naik sehingga bisa memicu capital outflow dari pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Inilah yang akan menjadi gelombang ganas ekonomi. Mengapa ? karena berkaitan dengan produksi. Berapapun uang di tangan, kalau produksi turun, engga ada lagi siasat moneter mengatasinya. Mau engga mau uang harus mengikuti harga.


Bila selama ini  likuiditas banjir di pasar modal yang dipicu pemodal asing. Sehingga mendorong bubble value. Kelak akan terkoreksi dengan sendirinya. Para emiten harus menghadapi realita. Berproduksi namun laba turun atau  mengurangi kapasitas produksinya, PHK melanda. Mengapa ?


***


Karena peningkatan ekonomi dunia selama ini tidak menciptakan keseimbangan ekonomi. Distribusi modal timpang. Euforia bisnis digital mendorong investor membelanjakan uang untuk infrastruktur big data berupa data center, jaringan fiber optic, ekosistem bisnis. Padahal bisnis digital membutuhkan listrik sangat besar. Sementara investasi pendukung berupa listrik tidak meningkat significant. Karena alasan ecogreen. Mengurangi efek rumah kaca atau pemanasan global dengan beralih dari energi fosil ke energi ramah lingkungan. Kembali ke energi fosil tentu bukan masa depan yang bagus bagi bumi. Dampak perubahan iklim sangat mengerikan bagi penduduk planet bumi.


Apa yang terjadi sekarang, sebetulnya pengulangan dari era sebelumnya. Hanya tingkat kerusakannya semakin lama semakin besar. Tahun 2000, survei dari business week memperlihatkan bahwa 72% masyarakat Amerika merasa corporates terlalu menguasai hidup mereka. Angka ketergantungan kepada korporat itu sekarang mungkin meningkat jauh lebih tinggi lagi. Sementara fundamental korporat menyimpan kanker. Lemah. Sama seperti valuasi berlebihan  terhadap saham bisnis digital, tindak penyelewengan korporatis lewat window dressing dan transfer pricing. Praktek merger dan akuisisi dengan motivasi menyingkirkan saingan, sebagian lagi berharap mendapatkan pembaharuan keuntungan dari suatu proses mistis yang disebut ‘sinergi’ ini. Pada kenyataannya, banyak merger berakhir dengan hanya konsolidasi pembiayaan semata tanpa menambah laba.


Dengan margin  laba menjadi kurus, maka kelangsungan hidup mereka semakin bergantung pada pembiayaan bursa dan perbankan, yang selalu dilonggarkan oleh otoritas. Beberapa perusahaan yang sulit menunjukkan prospek, beralih ke jalur ‘mendapatkan dana sekarang dengan menjual janji di masa depan’, suatu praktek yang dikuasai sangat baik oleh para manajer investasi di sektor decacorn, high-tech. Ini adalah suatu teknik yang nampak inovatif, tapi sejatinya adalah teknik perdagangan yang bertumpu pada ilusi. Teknik inilah yang mengakibatkan melangitnya nilai share saham di sektor IT. Meski sebenarnya mereka kehilangan hubungan dengan realita.


Beberapa perusahaan lain yang baru berproduksi, kehilangan segala kontaknya pada industri dan beralih strategi berusaha menggelembungkan harga saham untuk memberi jalan bagi para kapitalis ventura (venture-capitalist) dan manajer investasi yang punya akses dan pilihan untuk melakukan pembunuhan sejak awal IPO. Dan setelah itu emiten ditinggalkan sekarat. Kalaupun bertahan, hidup dalam kegenitan akuntasi. Yang sebenarnya hanyalah suatu trik untuk menyingkirkan biaya dan hutang dari neraca. Adalagi cara yang lebih kasar, misalnya menyamarkan biaya sebagai investasi atau kerugian ke dalam hutang.


Lantas apa penyebabnya? itu karena sistem ekonomi yang memanjakan sektor privat. Sehingga sangat mudah menjebol fire wall antara manajemen dengan dewan pemegang saham, antara analis saham dengan pialang saham, antara auditor dengan yang diaudit. Karena sama-sama dirundung oleh bayang-bayang keruntuhan ekonomi serta menipisnya pendapatan bagi semua pihak, maka baik para pengawas maupun yang diawasi memainkan pretensi  seolah-olah dikendalikan sistem check and balance. Dan bersatu untuk menciptakan ilusi kekayaan, dengan tujuan mempertahankan selama mungkin skema ponzy korporat. Sampai akhirnya runtuh sendiri. Keadaan euforia kini hanya masalah waktu akan jadi killing field dan memaksa negara bailout.


Pusat persoalannya adalah pada dinamika sistim kapitalisme global yang dinakhodai sektor finansial tanpa regulasi. Persoalan ini tak bisa dilenyapkan hanya dengan pernyataan kebaikan seperti: ‘tak ada kapitalisme tanpa nurani’ atau penyelesaian usang seperti: ‘good corporate governance.’  Sementara diwaktu yang sama, elite financial capitalist mengatur seenaknya on/off likuiditas. Mata uang akan merosot karena inflasi dan lubang bubble investasi  makin menganga. Paduan antara krisis ekonomi struktural dengan krisis legitimasi kapitalisme neo-liberal ini, jelas menjanjikan masa depan yang buruk. Semoga ada perubahan menuju keseimbangan baru, yang lebih arif.

Tuesday, November 2, 2021

Bisnis PCR memang menggiurkan


 


PCR digunakan untuk mendiagnosis penyakit Covid-19, yaitu dengan mendeteksi material genetik virus Corona, meski tak sepenuhnya akurat. Pentingnya test  PCR (Polymerase Chain Reaction) bagi orang yang menggunakan transportasi publik lewat  jalur darat, laut dan udara di jawa dan Bali agar memastikan tidak terjadi penularan COVID-19 akibat pergerakan manusia. Ketentuan test PCR itu dibuat oleh pemerintah. Karena ketegasan atas aturan itu maka lambat laun jumlah kasus COVID-19 berkurang. Dan kini kita diakui dunia sebagai negara yang dianggap berhasil menekan kasus COVID-19. 


Namun pemerintah hanya mengeluarkan aturan wajib test PCR. Sementara pengadaan PCR diserahkan kepada swasta dan dilakukan dengan prinsip bisnis, namun tarif tertinggi ditetapkan oleh pemerintah. Hal tersebut tercantum dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor: HK.02.02/I/2845/2021, yaitu maksimal Rp 495 ribu untuk wilayah Jawa-Bali dan Rp 525 ribu untuk di luar Jawa-Bali yang berlaku mulai 17 Agustus. Pada Oktober 2020, pemerintah menetapkan harga PCR seharga Rp 900 ribu. 


Apakah harga itu kemahalan? Kalau mengacu harga maksimal tahun 2020, data Indonesia Corruption Watch menunjukkan, harga PCR Indonesia (Rp 900 ribu) lebih mahal daripada di Malaysia (Rp 509 ribu), Sri Lanka (Rp 470 ribu), Vietnam (Rp 470 ribu), dan India (Rp 96 ribu).  Setelah harga diturunkan menjadi Rp 495 ribu pun, harga PCR di Indonesia masih lebih mahal daripada Sri Lanka, Vietnam, dan India. Namun apakah setelah harga turun, penyedia rugi? Tidak. Business Development Manager Helix Laboratorium Fitri Evita mengaku Helix tidak mengalami kerugian ketika pemerintah memutuskan menurunkan harga PCR dari Rp 900 ribu menjadi Rp 495 ribu. 


Secara bisnis, penjual PCR tidak akan rugi walau harga turun sampai Rp. 275.000. Mengapa ? Apalagi katanya harga impor reagen hanya Rp. 13.000. Jadi selama ini yang bikin harga itu tinggi karena business process jasa PCR. Itu mencakup biaya alat pelindungi diri (APD) dari perawat atau petugas laboratorium yang mengambil sampel, biaya swab stick, alat pelindung diri (APD), biaya jasa dokter, dan sebagainya. Jadi semua lini kebagian cuan dari adanya ketentuan PCR ini. Apakah menggiurkan bisnis pengadaan alat test PCR ini? Woh luar biasa. Mari lihat datanya.


Menurut Badan Anggaran (Banggar) DPR RI perhitungan kasar gurita bisnis tes PCR, potensi omzetnya mencapai Rp800 miliar sampai dengan Rp1,6 triliun dengan kebutuhan alat 2,8-5,6 juta per bulan. Hitung aja berapa setahun. Data dari Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat nilai impor reagen ( alat test PCR) hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp2,27 triliun melonjak drastis dibandingkan dengan bulan Juni senilai Rp523 miliar.  Sebagian besar atau 2/3 di impor dari China. Jadi anda bisa hitung berapa besarnya cuan dibalik jasa PCR ini. Ini bisnis mudah. Karena pasar terbentuk akibat regulasi.


Makanya wajar saja bila beberapa pengusaha menjadikan ini peluang bisnis meningkatkan uang mereka di brankas. Salah satunya adalah PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Menurut Juru Bicara Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, pemegang saham GSI ada 9. Diantara 9 pemegang saham itu ada nama Toba Bumi Energi ( Pemegang sahamnya LBP). Ada juga Kakaknya Eric Thohir melalui Yayasan Adaro. Ada juga ketua KADIN, Arsjad Rasjid  melalui Yayasan Indika.  Ada juga Patric Walujo, dari Northstar. Petric Walujo sendiri adalah menantu dari  T.P. Rachmat, boss Astra.


Saya tidak melihat bisnis PCR ini salah. Karena memang dibutuhkan untuk standar kepatuhan kesehatan sesuai aturan pemerintah.  Tidak melibatkan APBN. Yang jadi masalah adalah mengapa baru sekarang diketahui mereka yang terlibat dalam bisnis PCR itu adalah mereka yang punya akses kepada kekuasaan? Kalaulah dari awal disosialisasikan kepada publik dasar mereka terlibat, tentu tidak akan ada masalah. Kalau baru bicara setelah Pak Jokowi geram dan paksa harga PCR turun, apapun dalihnya sulit diterima dengan standar moral dan etika. Apalagi sebelumnya masyarakat merasa dirugikan adanya ketentuan PCR dengan ongkos yang mahal itu.