Sunday, June 30, 2024

Banjir produk impor karena kebodohan.

 


Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan mengenakan nilai pajak yang tinggi, khususnya untuk barang-barang yang diimpor dari China. Hal ini dilakukan untuk memerangi banjirnya impor dari Negeri Tirai Bambu. “ Ya bisa saja (dikenakan 200%), tergantung hasil penyelidikannya. Kita tunggu dulu masih dalam proses," kata Budi Santoso, mengutip Detikcom, Minggu (29/6/2024). 


Sepertinya di benak pemerintah, satu satunya yang bisa dilakukan Indonesia terhadap banjirnya produk China adalah dengan penetapan tarif tinggi lewat Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). Itupun akan sulit diterapkan. Engga mudah. Mengapa ? karena kita sudah meratifikasi Free Trade Area dengan negara mitra, rata-rata tarif bea masuk Indonesia tinggal 2,6 persen. Itu harus diakui karena kegagalan kita dalam diplomasi dagang. Karena faktanya negara lain mampu menetapkan tarif lebih tinggi, misal Korea (7,7 persen), China (3,5 persen) dan India (6,3 persen) ( sumber : Bank Dunia, Dana Moneter Internasional). 


Kalaupun kita mau menerapkan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), maka kita hanya bisa dengan alasan negara mitra kita, misal China  melakukan praktek dumping. Tapi tidak bisa begitu saja kita menuduh orang lain dumping tanpa ada alasan yang tepat.. Sementara kita sudah meratifikasi kerjasama multilateral  terutama terkait dengan ME-ASEAN, seperti ASEAN Trade In Goods Agreement(ATIGA), ASEAN-China Free Trade Area(ACFTA) dan lain lain.. Indonesia juga meratifikasi semua ketentuan WTO soal tarif.


Kalau menteri Perdagangan tetap ngotot membuat aturan tarif sepihak tanpa proses yang diatur dalam ACFTA, China akan masuk ke Pengadilan internasional. Kita akan kalah mudah. Contoh kalahnya kita di WTO atas gugatan UE soal larangan ekspor mentah mineral tambang. Kalau kita tetap tidak peduli dengan keputusan Pengadilan internasional, China juga punya hak melakukan keputusan sepihak.  Nah kita akan masuk perang dagang dengan China.  Sementara kita masih bergantung ekonominya dari SDA yang mana china adalah market terbesar kita. Ingatlah loh, pasar terbesar batu bara, nikel, CPO adalah China. Apa siap kita kehilangan peluang pasar yang raksasa itu.? Apa siap kita kehilangan sumber devisa.? Apalagi China termasuk kreditur kita.


Kita bukan AS yang jago dan terkesan seenaknya melanggar perdagangan bebas. AS menetapkan tarif tinggi atas barang dari China, itu juga tidak gegabah. Ada proses panjang dari sejak investigasi praktek dumping, perundingan bilateral soal temuan hasil investigasi. Adu argumentasi dan bisa bisa masuk ke sidang WTO.  Jadi kalau sampai akhirnya AS membuat keputusan tarif terhadap China, itu sudah bisa dipertanggung jawabkan sesuai dengan kesepakatan bilateral maupun multilateral. Kalau China tidak membawa ke sidang WTO, itu masalah lain. Karena bisa saja China punya cara lain untuk menghadapi perang dagang dengan AS dan AS sudah siap.


Kebijakan tarif impor tinggi tanpa alasan rasional walau itu cara proteksi industri dalam negeri namun bagaimanapun itu cara jadul. Udah engga jaman lagi, apalagi di era FTA. Apalagi indonesia sudah masuk ME-ASEAN. Investasi di Malaysia sama saja dengan di Indonesia. Kalau Indonesia protetif namun negara ASEAN lain tidak, kan engga ada artinya. Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah ? Ini saran saya.


Pertama. Memberikan insentif kepada Industri hulu (upstream) berupa nol % Bea Impor barang modal dan linked product dan pengurangan tarif Pajak Penghasilan.  Misal, Smelter baja, nikel, aluminium, petrokimia, benang  dan serat, API Pharmacy, heavy industry, Oleo pangan dan chemical. Namun industri upstream tersebut dikenakan pajak tambahan ekspor yang tinggi, agar mereka focus mendukung industri downstream dalam negeri. Jadi sudahi mindset hilirisasi yang hanya mendukung supply chain luar negeri demi pemasukan devisa. Kita harus berubah agar industri dalam negeri tumbuh dan menyerap angkatan kerja luas dan pada akhirnya memperkuat basis kemandirian kita.


Dengan kebijakan ini akan mendorong relokasi Industri downstream yang ada di negara maju ke dalam negeri untuk memanfaatkan harga bahan baku yang disubsidi. Karena insentif ini secara tidak langsung mensubsidi supply chain industri hilir ( Midstream dan downstream) dalam negeri dan memperkuat kemandirian pasar domestik dari serangan produk impor.

Kedua. Perbaiki logistik nasional,  khususnya dwelling time dibuat secepat mungkin. Artinya bukan hanya membangun fisik jalan dan pelabuhan tetapi yang lebih penting adalah  pembenahan administrasi kepabean agar efektif dan efisien. Ingat loh, salah satu daya saing utama dalam bisnis internasional adalah kecepatan delivery dan on time. Kalau delivery telat itu akan menghambat arus investasi terutama sektor industri yang sangat bergantung kepada supply chain global. 


Ketiga. Memberikan insentif pajak kepada industri midstream atau downstream yang melakukan riset sains untuk melahirkan produk inovasi. Mengapa ? Pengukuran dengan metode ISIC Rev.3-2011 UNIDO di tahun 2014, struktur kemampuan penguasaan teknologi tinggi industri kita yang ada sekarang hanya 6 persen, teknologi menengah-tinggi 28 persen, teknologi menengah-rendah 23 persen, dan teknologi rendah 43 persen. Tanpa insentif R&D tidak mungkin kita bisa naik kelas dan tidak mungkin kita bisa bersaing.


Keempat. membangun ekosistem bisnis lewat tata niaga berbasis IT. Pemerintah sediakan gudang lewat sistem stokis berbasis IT, ya semacam warehousing ecommerce marketplace and logistic. Nah lewat aturan tata niaga, maka setiap pabrik atau produsen akan nyaman menempatkan barangnya di warehousing. Karena lewat ekosistem financial dari warehousing, likuiditas mereka terjamin. Dan pedagang secara B2B lewat ecommerce bisa dengan mudah mengakses barang di gudang tersebut untuk dijual lewat market place.


Dengan adanya warehousing ecommerce marketplace and logistic itu,  otomatis terjadi transformasi ekonomi dan sosial. Karena adanya efisiensi dari segi distribusi  dan  financial. Industri akan tumbuh berkembang pesat dan peluang berdagang terbuka luas bagi siapa saja untuk menjangkau 123 juta konsumen indonesia. Kalau bisa dibuat berdasarkan cluster sesuai type produk ( barang kebutuhan umum dan komoditas pertanian) dan segmentasi pasar ( industri, pemerintah maupun rumah tangga) secara B2B. Setiap pemda minimal punya satu warehousing ini. Buatnya engga semahal bangun kereta cepat dan tidak sesulit buat satelit. Itu kalau tahu arti perubahan dan punya niat baik untuk bangsa dan negara.


Dah itu aja.


Saran saya, engga usah gamang melihat keok nya industri dalam negeri akibat banjirnya produk impor khususnya dari China. Akui saja selama ini kita gagal melakukan transformasi ekonomi dari SDA ke Industrialisasi. Banjirnya produk impor karena kebodohan kita. Selagi akal masih berguna, selalu ada cara untuk bersaing dan survival di tengah situasi global yang tidak ramah.

Thursday, June 27, 2024

Masa depan ekonomi suram?

 



Warisan ekonomi Jokowi memang memberatkan pemerintahan PraGib. Walau pertumbuhan ekonomi rata rata 5%. Namun pertumbuhan hutang juga tinggi. Ada empat hal engga mungkin bisa diatasi dengan cepat katakanlah 5 tahun. Bisa saja bertahan udah bagus. Kecenderungan kemungkinan terjungkal juga ada. Saya tidak nakut nakuti. Tidak juga negatif thinking. Apalagi pesimis. Semua yang saya sampaikan berdasarkan data. Saya hanya mengingatkan saja. Kini situasi pasar wait and see. Masih khawatir di tengah ketidakpastian kebijakan fiskal Prabowo. Apa saja empat hal itu ?


Pertama. Tahun ini tren penurunan penerimaan negara mulai terjadi. Penerimaan negara hingga Mei 2024 baru sebesar Rp 1.123,5 triliun, atau turun 7,1% dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 1.209 triliun. Tren ini akan terus berlanjut dan akan semakin tajam. Karena turunnya volume permintaan akan komoditas utama Indonesia di pasar dunia.  Ya imbas dari adanya ketegangan geopolitik dan persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Selain itu, perusahaan-perusahaan multinasional sedang menyelaraskan kembali rantai pasokan di sepanjang jalur geopolitik, sehingga menimbulkan risiko terjadinya tirai besi ekonomi baru dan spiral harga lebih lanjut

Situasi dunia ini tidak akan berjangka pendek. Itu akan lama. Terbukti AS sudah diantisipasi dengan melakukan chip act dan inflation reduction act untuk melindungi industrinya. Serta, Eropa melakukan mekanisme penyesuaian pembatasan karbon atau CBAM.  Kemudian, India melakukan production linked incentive dan larangan ekspor kritikal mineral dari RRT dan Korea dengan Korean chips act.


Kedua. Kurs rupiah yang terus melemah, bahkan melewati ambang psikologi Rp. 16.000/USD. Kuartal pertama NPI sudah defisit. Maklum walau neraca perdagangan masih surplus namun jasa masih bergantung  ke luar negeri dan produksi dalam negeri masih bergantung supply chain impor. Bahkan ketergantungan pangan dan BBM dari impor semakin tinggi.  Kurs melemah akan menaikan harga jual.Dampaknya adalah penurunan pendapatan ril masyarakat. Pabrik dan UKM yang bergantung pasar domestik akan banyak yang mengurangi produksi dan PHK, bahkan terancam bankrut.   Pada gilirannya akan menurunkan penerimaan negara dari pajak.


Keadaan sektor real sekarang juga tidak baik baik saja. Pemerintah meminta perpanjangan kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan yang terdampak Covid-19 hingga 2025. Kalau ini disetujui oleh OJK, maka ini yang keempat kali penundaan berakhirnya restruktur kredit perbankan C19. Artinya kalau baik baik saja engga mungkin sampai 3 kali penundaan. Padahal bank itu jantung ekonomi. IMF sudah mengingatkan bahwa tidak boleh lagi ada perpanjangan. Mengapa ? khawatir Perbankan kita menyimpan zombie korporat atau semacam soang mati diatas danau. Keliatan ngapung tetapi udah engga bernyawa. IHSG akan drop. Lost trust! Apalagi  berdasarkan temuan BPK, ketahuan OJK merugikan negara Rp. 400 miliar.


Ketiga. Sampai tahun 2029 nanti utang yang jatuh tempo mencapai hampir Rp. 4000 triliun. Itu sama saja 50% dari stok utang tahun 2024. Sementara kondisi APBN kita defisit. Jadi disamping utang belanja juga terpaksa harus tambah utang untuk bayar utang. Dan ini akan berdampak kepada semakin melebar ratio utang terhadap PDB. Bisa saja seperti dikhawatirkan oleh Morgan Stanley akan menuju 50% dari PDB. Sehingga bursa kita downgrade jadi underweight. Kalau hitungan saya.  itu bisa tembus pagu utang yang diatur dalam UU, 60% dari PDB. Di situasi penerimaan negara drop, maka debt to tax revenue yang sekarang sudah mendekati 50%, akan mendekati 100% tahun tahun berikutnya. Rupiah bisa terjun bebas.


Keempat. Keadaan ekonomi yang diwariskan Jokowi adalah kegagalan negara mendistribusikan sumber daya kepada masyarakat luas. Hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Deindustrialisasi terjadi. Rente meluas. Karenanya sangat bergantung kepada subsidi langsung maupun tidak langsung untuk bantalan ekonomi. Kalau tidak ada subsidi BBM, ongkos logistik akan naik. Akan memicu harga harga eceran naik di pasar. Engga ada subsidi pupuk bisa lumpuh pertanian. Engga ada bansos beras dan BLT, bisa kelaparan rakyat. 


Tanpa subsidi, bisa jatuh pemerintahan. Jadi sifatnya udah ketergantungan. Tentu dengan situasi ekonomi dunia yang suram, debt to revenue tax RI yang tinggi, memang dilema bagi PraGib. Apakah berusaha memperbaiki keadaan ekonomi dengan mengurangi anggaran sosial namun resiko chaos sosial terjadi. Atau utamakan stabilitas politik dengan meningkatkan dana stimulus untuk bantalan namun resiko ekonomi chaos. Dua duanya mimpi buruk memang bagi masa depan Indonesia.


Empat itu aja. 


Saran saya kepada Prabowo, agar upaya restrukturisasi APBN dilakukan sejak awal masuk istana. Akan lebih baik bila di umumkan di masa transisi ini. Perkecil defisit APBN, Bila perlu pangkas APBN 40%. Sangat mungkin dapat dukungan politik. Karena rakyat masih tinggi kepercayaannya. Dan karenanya pasar pasti bereaksi positif dan rupiah akan menguat. Jangan tunggu sampai Debt to PDB tembus 60%. Jangan tunggu sampai Debt to revenue tax 100%, dan Cadev turun dibawah pagu aman. Karena telat sedikit aja, perubahan ekonomi akan cepat sekali menyapu yang ada. Kita akan mundur jauh sekali. NKRI bisa pecah berkeping keping..

Monday, June 24, 2024

ESG dan daya saing.

 



ESG ( Environment Social Governance ) itu standar dari PE Firm yang dimotori oleh Hedge fund player. 90% Investor kelas dunia memandang ESG sebagai hal yang mendukung investasi – dan mayoritas mengatakan bahwa analisis ESG dapat membantu mengungkap peluang investasi yang menarik. Ini masalah sustainable. Walau beberapa emiten mencatatkan diri dengan tingginya rating ESG. BUMN tambang juga begitu. Misal Pertamina peringkat satu dunia dalam sub-industri Integrated Oil and Gas. Namun menimbulkan pertanyaan, mengapa aliran modal (FDI) dari investor global kepada emiten dan BUMN rendah. Kebanyakan sumber dana berasal dari pasar uang dalam negeri  dan perbankan domestik. 


Misal. PT Hengjaya Mineralindo di Morowali, Sulawesi Tengah yang mayoritas sahamnya dipegang oleh Hedge fund Hedonova yang berbasis di Paris. Januari lalu Hedonova terpaksa melepas sahamnya di tambang nikel Mineralindo itu. Mereka memilih hengkang. Bukan tidak menguntungkan. Tetapi dapat tekanan dari investor hedge fund. Saham mereka dibeli oleh Indo-Pacific Net-Zero Battery Materials Consortium (INBC), yang dikenal tidak peduli dengan ESG. HIt and run aja. Tidak sustain.


PT Adaro Minerals Tbk (ADMR) yang memiliki mega proyek fasilitas pemurnian atau smelter aluminium yang berlokasi di Kalimantan Utara. Fuel nya menggunakan batubara. Namun akhirnya   bulan Mey 2024, Hyundai sebagai investor dan juga off taker buyer  aluminum mengundurkan diri. “ Skema investasi tidak patuh kepada ESG. Ya sumber daya keuangan tertutup. Hyundai memilih mundur lah dari kemitraan dengan Adaro.” kata teman.  ADMR masih berusaha mencari investor alternatif dan itu sulit kecuali dapatkan fasilitas kredit dari bank dalam negeri yang memang standar ESG rendah. Namun dengan ketatnya likuiditas dan adanya aturan baru BI yang membatasi penjaminan hutang LN oleh perbankan. Itu semakin sulit.


Awalnya pembiayaan proyek Refinery Development Master Plan Balikpapan senilai USD 7,2 miliar diharapkan  dari Mubadala Petroleum, melalui Indonesia Investment Authority. " Dana terhambat karena faktor ESG. Engga ada investor mau beli bond mereka. " Kata teman. Daripada mangkrak, akhirnya Jokowi keluarkan Kepres dengan skema Proyek strategis nasional, masalah pendanaan bisa diatasi. Pembiayaan proyek berasal dari Pertamina sendiri dan didukung oleh perbankan dalam negeri yang terdiri dari Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Tabungan Negara, Bank Syariah Indonesia.


Saat sekarang penilaian investor institusi ( hedge fund institution) tidak melihat indikator formal. Walau rating daya saing Indonesia meningkat, mengalahkan Jepang dan Inggris, engga ada urusan. Kalau menurut mereka ESG rendah ya unqualified to investing. Mereka focus dengan cara mereka sendiri menilai kepatuhan ESG. Tidak akan diumumkan. Namun bisa dilihat dari sikap mereka dengan menolak berinvestasi di Indonesia. 


Itu juga alasan mengapa Apple, Google, dan Microsoft ogah invest di Indonesia.Karena dana mereka berasal dari Hedge fund player. Walau alasan Softbank mengundurkan diri dari proyek IKN karena  pertimbangan bisnis semata. Namun sebenarnya mereka kesulitan dapatkan investor lewat Product hedge Fund, vision fund. “ Kalau alasan bisnis, Masayoshi Son jago berkelit. Ya dia pemain.Tetapi kalau soal ESG, nyerah dia. Maklum investor Softbank terikat dengan ESG “ Kata teman.


Sebenarnya memenuhi standar ESG itu mudah aja. Yaitu turunkan Index korupsi. Dengan index korupsi turun itu menandakan pemerintah serius mengawal setiap investasi yang peduli kepada lingkungan, kehidupan sosial yang ramah dan tata kelola yang bermoral dan bermartabat. Gitu aja. Pemerintah yang bersih akan melahirkan dunia usaha yang juga bersih dan persaingan jadi sehat. 


Sunday, June 23, 2024

Family office?

 




Family office atau private wealth management advisory firms adalah perusahaan pengelolaan kekayaan privat dari para orang super kaya. Orang super kaya ini perlu kenyamanan dan family office menyediakan rasa aman dari gejolak politik, dan harta bisa di mobile untuk tujuan business value agar harta bisa terus berlipat ganda dari satu generasi ke generasi berikutnya. Family office menyediakan berbagai layanan terperinci mulai dari pembukuan, membayar para proxy, tempat penitipan aset dan perencanaan transfer kekayaan untuk bisnis atau filantropi.


Peningkatan kekayaan di seluruh dunia selama dua dekade terakhir telah menyebabkan pertumbuhan jumlah family office. Jasa mereka semakin meningkat selama bertahun-tahun karena kemampuan mereka untuk memusatkan dan menyederhanakan pengelolaan kekayaan keluarga yang kompleks sambil memastikan privasi, kontinuitas, dan personalisasi. Penyebaran keluarga secara geografis dan kebutuhan untuk menjaga kekayaan dalam keluarga juga berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah family office.


Saat sekarang family office yang punya reputasi global ada di  Beijing, Dubai, Geneva, Hong Kong, London,  Miami, New York, Singapore ,Sydney, Tokyo. Kalau sebut kota  itu, anda bisa tahu lah. Itu negara sebagai pusat kemajuan peradaban dan tempat tinggal orang super kaya di dunia dan markas bagi pusat rumah mode kelas dunia. Tempat parkir kendaraan super mewah dari Yacht, private jet, sedan luxury dan pusat riset.


Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Jokowi telah menyetujui pembentukan family office di Indonesia. Luhut mengatakan family office perlu dibentuk mengingat tingginya permintaan. Menurutnya, keluarga kaya di luar negeri tertarik menyimpan uangnya di Tanah Air, rencananya Bali akan jadi tempat family office.


Saya mengerutkan kening ketika membaca berita ini.  Mengapa ? karena sepertinya semua idea itu mudah diomongkan. Alias asal bunyi atau asbun. Seperti dulu waktu mau bangun IKN. “ Ah tidak perlu dana APBN. Investor asing siap tanamkan uangnya di IKN. Soft Bank siap uannya. US-IDFC sudah datang ketemu Presiden. Mereka juga siap uangnya. Kita akan jadikan IKN sebagai pusat pemerintah dan business berkelas dunia. “ Nyatanya investor asing hanya omong doang. Apakah memang asingnya PHP atau pejabat negara kita yang boongin presiden. Entahlah.  


Untuk menjadi negara yang punya family office.  ada 4 syarat


Pertama. Negara atau wilayah itu harus masuk 10 rating terbaik dalam hal ramah bisnis. Dan Indikator lainnya adalah tingkat korupsi yang rendah. Lah indonesia ranking 73 dari 190 negara dalam hal kemudahan bisnis. Pada tahun 2023, Skor IPK Indonesia adalah 34 poin. Indonesia berada di urutan keenam dari 10 negara ASEAN. Bagi orang super kaya, jangankan mau buka family office, ngelirik ke Indonesia aja udah nek.


Kedua. Sistem perpajakan negara itu sederhana dan tarif nya rendah. Maklum negara yang sudah ada family office itu tax ratio sudah diatas 10%. Kesadaran pajak tinggi dan itu karena didukung transparansi yang juga tinggi. Lah kita , tax ratio di bawah 10%. Kesadaran pajak rendah dan tarif masih tinggi. Kalau dibuat sederhana. Bisa bisa tax ratio makin terpuruk. Dan lagi engga ada orang kaya yang mau buka family office di negara yang pengelolaan pajak nya rumit.


Ketiga. Negara itu menjadi hub business berkelas dunia. Misal Hong Kong, singapore, Dubai, New York itu hub logistik dunia. Industri jasa logistik sudah sangat maju dan terintegrasi, yang ditandai dengan pelayanan yang cepat. Lah kita aja barang bisa numpuk bulanan di pelabuhan. Belum lagi uang siluman. Mana mungkin orang kaya mau buka family office.


Keempat. Sistem keuangannya sudah sangat likuid. Sedikitnya 50 bank kelas dunia punya kantor cabang penuh dan sedikitnya 100 manajer aset global teratas punya cabang penuh di negara tersebut. Bursa saham dan komoditi berkelas dunia. Lah kita, UU dan aturan membatasi beroperasinya bank asing di Indonesia dan keuangan inklusif belum luas. Likuiditas bursa dan moneter rendah sekali. Itu karena sistem keuangan yang masih bersifat rente dan IDR yang terus terdepresiasi dari tahun ketahun.


Kelihatannya family office ini juga akan jadi cerita halu seperti IKN. Visi rendah dan lack knowledge serta literasi global juga kurang. Makanya siapapun yang ngomong didengar dan langsung disetujui. Aneh memang dan tidak ada kewibawaan.

Wednesday, June 19, 2024

Data yang absurd

 




Pertama. Pemerintah selalu mengukur kinerja ekonomi berdasarkan angka PDB. Saya yakin ketika pemerintah membanggakan angka PDB pada waktu bersamaan orang awam bingung. Bertambah bingung ketika katanya PDB meningkat sementara mereka rakyat jelantah merasakan pendapatannya semakin tidak cukup akibat harga harga naik.  Bertambah bingung lagi bagi mereka yang kena korban PHK karena pabrik tempatnya kerja bangkrut. 


AS itu sangat objektif mengukur kinerja ekonomi. Mereka tidak lihat angkat PDB. Tetapi angka nonfarm payrolls, yaitu data tenaga kerja. Artinya semakin besar kebutuhan pekerja, maka pengangguran berkurang. Itu artinya mesin ekonomi bergerak. Ekspansi bisnis terjadi. Daya beli tumbuh. Misal laporan juni ini  angka nonfarm payrolls meningkat. Artinya disaat suku bunga tinggi, ekonomi AS rebound. Ngapain AS akan turunkan suku bunga. Walau pertumbuhan ekonomi AS hanya 1,6% kuartal 1 tahun ini, EGP aja.


Bandingkan dengan Indonesia dimana PDB kuartal 1 tahun 2024 diatas angka 5%. Indikator angkatan kerja di Indonesia tidak valid. Datanya telat 3 bulan, itupun tidak database. Masih survey manual. Beda dengan AS yang update day by day dilaporkan setiap bulan. Maklum data base kependudukan nya sudah online terintegrasi. Jadi pasti valid. 



Nah di Indonesia kita hanya bisa tahu data objektif dari kurs rupiah yang terus depresiasi. Artinya fundamental ekonomi kita tidak cukup kuat menghadapi goncangan faktor eksternal. Pertumbuhan kredit turun. Artinya ekspansi dunia usaha menurun. Tentu daya serap tenaga kerja berkurang, bahkan ada yang terpaksa PHK. Pembelian kendaraan turun. Itu artinya kelas menengah sudah mulai bokek. Engga bisa lagi bergaya. Harga pangan naik. Itu artinya memenggal income mereka yang bergaji dibawah Rp. 5 juta/bulan. Mulai pusing emak emak mikirin uang belanja. Porsi pengeluaran akan otomatis turun. Pasar domestik drop. Padahal kontribusi belanja domestik diatas 50% pada PDB.


Kedua. Pemerintah selalu ngeles kalau dikatakan utang kita sangat besar. “ Ah rasio utang terhadap PDB kita terendah dibandingkan negara lain. Kita kan masih dibawah 40%. Jauh dibawah pagu utang terhadap PDB yang ditentukan UU. Aman terkendali. “ begitu kira kira kata mereka. Udah seperti buzzer ngomongnya. 




Utang itu keniscayaan kalau anda ingin berkembang. Apapun itu termasuk masalah personal. Karena lewat utang itu anda bisa mengeskalasi pertumbuhan diatas kebutuhan sehingga anda bisa surplus untuk lebih besar lagi tumbuhnya. Tetapi itu dengan syarat bila kewajiban yang timbul ( bunga) dari adanya utang itu tidak lebih 10% dari pendapatan anda. Kalau lebih dari , itu sudah pasti utang bukannya alat berkembang malah mempercepat anda tumbang.


Mari kita lihat data negara yang utang terhadap PDB tinggi namun smart mengelola utang.  Singapore, walau utang terhadap PBD sebesar 167,9% namun singapore bayar bunga setiap tahunnya hanya 0,3% dari penerimaan pajaknya. Jadi engga ada arti. Mengapa ? Singapore melarang negara berhutang untuk belanja rutin. APBN Singapore selalu surplus. Jadi Singapore tidak berhutang karena bokek atau defisit.  Lantas untuk apa ? untuk meningkatkan daya tahan ekonomi dan sekaligus hedging terhadap risiko faktor eksternal. Maklum mereka negara jasa yang ekonominya bergantung kepada luar.


Jepang walau utang terhadap PDB 261% tetapi pembayaran bunga 0 koma terhadap PDB. Bank central rate hanya 0,1%/tahun. Artinya walau utang besar,  bayar bunga tidak significant. Sama dengan China. Walau utang terhadap PDB diatas 300% namun pembayaran bunga tidak significant. Karena didominasi oleh local government financing vehicle (LGFV) yang skemanya walau utang negara namun tidak dijamin negara. Sistem bagi hasil.


Nah Indonesia walau rasio utang terhadap PDB masih dikisaran 39%. Namun untuk pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan pajak itu mencapai 47,4% ( rata rata tahun 2015-2022). Artinya dari Rp 100 pendapatan pajak, Rp. 40 bayar bunga dan cicilan.  ini sudah masuk dengan jebakan utang yang bukannya berkembang tapi hanya masalah waktu akan tumbang. Mengapa ? karena udah tidak rasional. Hampir 50% pendapatan habis untuk bayar bunga dan cicilan. Pasti akan gali lubang tutup lubang. 


Mengelola negara dan personal sama saja. Bayangkan anda punya gaji bulanan, 50% habis bayar bunga dan cicilan utang. Saya yakin anda bisa stress. Engga ada lagi kenyamanan di rumah tangga. Bangun pagi udah berat banget. Lihat muka bini udah engga ada gairahnya. Mengelola perusahaan juga sama. Kalau hampir setengah dari pendapatan untuk bayar bunga dan cicilan utang. Ya, tinggal tunggu kapan masuk PKPU ( Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ). Kan engga mungkin gali lobang tutup lobang terus. Jadi ukurannya bukan dari rasio utang tetapi likuiditas. Dan likuiditas itu bagus kalau untuk bayar bunga dan cicilan di bawah 10% dari pendapatan.

Monday, June 3, 2024

Rupiah loyo...

 



Segala upaya telah dilakukan BI untuk kembalikan Rupiah ke batas psikologis yaitu Rp. 15.000/USD. Seperti meningkatkan penjualan instrumen SRBI dan SVBI dengan rate khusus ( High rate). Hot money memang. Valas yang didapat dari SRBI dan SVBI tidak dibelanjakan. Reserve repo sifatnya.  Hanya memperkuat Cadev. Sebelumnya sudah menaikan BI rate. Sampai segitunya menjaga rupiah agar tidak terpuruk dalam. Namun nyatanya tetap saja rupiah melewati batas psikologis. Kini sudah diatas Rp. 16.000 ( Rp. 16220/USD 3/06).


Selalu alasan pemerintah dikemukakan karena faktor eksternal. Seakan kalau kalau ada masalah pada ekonomi dan moneter kita, itu melulu karena faktor eksternal. Dan lucunya kalau ekonomi membaik, itu karena faktor internal, bukan karena faktor eksternal akibat kenaikan harga komoditas ekspor. Selama ini memang informasi selalu bias. Wajar saja. Namanya pencitraan politik. Lantas apa penyebab sebenarnya.? Saya akan sampaikan penyebab Rupiah loyo secara sederhana.


Pertama.  Rupiah loyo karena supply valas yang bersumber dari  aktivitas perdagangan dan aliran modal, investasi drop. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I 2024 defisit USD6,0 miliar. Walau BI berusaha menyerap likuiditas dari pasar lewat SRBI, SVBIi lebih dari Rp. 500 triliun, namun tetap aja tidak berdampak signifikan terhadap penguatan rupiah. Pasar tidak melihat kebijakan mendasar yang bisa memperbaiki NPI. Itu hanya skema pompom aja.


Kedua. Walau cadangan devisa pada akhir Maret 2024 tercatat tetap tinggi sebesar USD 140,4 miliar, atau setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor. Masih di atas pagu internasional yang 3,2 bulan impor. Namun Transaksi berjalan pada triwulan I 2024, defisit USD2,2 miliar atau 0,6 persen dari PDB, lebih tinggi dibandingkan dengan defisit USD1,1 miliar atau 0,3 persen dari PDB pada triwulan IV 2023.  Tren defisit ini diperkirakan akan terus melebar akibat beban pembayaran utang dan pasar komoditas global yang suram.


Ketiga. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Mei 2024 terjadi deflasi sebesar 0,03%. Pemerintah berusaha menangkis penyebab deflasi karena daya beli turun “ "Enggak lah (deflasi karena daya beli lemah), ini karena fluktuasi harga, ini memang karena ada perubahan harga komoditas yang kita hitung dari keranjang inflasi," kata Kepala BPS, Jakarta, Senin (3/6/2024). Deflasi terjadi karena fluktuasi harga yang sifatnya temporer. Bukan karena pasokan barang lebih banyak akibat kegiatan produksi meningkat dibandingkan uang beredar.


Deflasi pada bulan Mei tidak mengindikasikan tren harga akan terus turun dan ekonomi membaik. Berdasarkan BPS, misal harga beras, secara year to year harga eceran naik 11,75 persen. Artinya tren kenaikan harga terus berlangsung dari tahun ke tahun. Selain beras, jangan tanya. Mana ada yang turun. Tren nya naik semua. Apa artinya? keadaan ekonomi dalam negeri tidak baik baik saja.


Kesimpulan. 

Ketergantungan valas dari ekspor terutama komoditas SDA, sangat rentan terhadap faktor eksternal. Dengan adanya penguatan mata uang USD akibat suku bunga the fed tinggi, akan cenderung membuat harga komoditas turun di pasar global. Dan ini akan menekan daya tahan cadev, yang terpaksa mencari sumber valas lewat hutang. Sementara likuiditas pasar uang  global ketat. Ongkos moneter akan semakin mahal. Likuiditas perbankan juga ketat akibat suku bunga the fed, yang diikuti naiknya BI rate. Belum ada tanda akan turun. Dunia usaha sulit lakukan ekspansi, yang berikutnya IHSG akan terancam drop. Memang masa depan rupiah suram. Apalagi dibayangi dengan defisit APBN diatas 2%.  Harus ada solusi tapi apa ? ruang politik tidak tersedia untuk solusi.