Thursday, February 23, 2012

Dana terbatas tetapi pembangunan jalan terus.



Seusai rapat di kantor, saya terpikir mampir ke Perpustakaan Nasional di Kawasan Salemba. “ Ngapain kamu ke Perpustakaan. “ tanya Yuni waktu saya bilang mau ke perpustakaan.
“ Saya mau riset soal Pancasila “
“ Aneh. Emang kamu engga pernah belajar waktu sekolah. Anak SD juga tahu Pancasila” Katanya.
“ Saya penasaran aja. Bagaimana bisa muncul kalimat filosofi yang begitu hebat dalam lima sila itu. Kamu yakin Pancasila itu ada dalam pikiran bapak pendiri bangsa saat kita mau proklamasi”
“ Yakin. Kamu ?
“ Engga begitu yakin. Waktu persiapan kemerdekaan itu sangat singkat.  Tempat rapat aja numpang. Emang ada waktu mikir konsep falsafah negara? Saya engga yakin.”
“ Duh jauh amat kamu mikir. Udah dech. “
“ Biarin saja. Saya perlu bahan untuk tulisan di Blog. “

Yuni antar saya ke perpustakaan Nasional, setelah itu dia kembali ke kantor.  Setelah dapat izin masuk. Saya mulai menjelajahi buku yang ada di perpustakaan lewat daftar katalog. Ketika saya sedang membaca daftar index sesuai tema riset, seseorang menghampiri saya. “ Babo ya.” Serunya, Saya tahu ini pasti pembaca blog saya. 
“ Ya benar. “
“ Ada apa Babo kemari?
“ Cari buku.”
“ Untuk apa ?
“Lengkapi bahan tulisan di blog.”
“ Wah segitunya ya. Sampai riset di perpustaan. “
“ Kebetulan aja. Memang lagi iseng cari data di perpustakaan.” Kata saya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswi S2 Ekonomi. 

“ Babo boleh tanya engga ? Katanya kemudian saat saya sedang sibuk cari buku di daftar katalog
“ Tanya aja “
“ Waktu Jokowi berkuasa, kan APBN kita masih defisit. Bahkan sampai sekarang masih defisit. Utang bertambah tapi rasio utang berkurang sedikit dibandingkan era sebelumnya. Artinya likuiditas APBN terjaga dengan baik. Bisa bayar utang, bisa juga ngutang lagi. Tetapi tetap saja ruang fiskal kita kecil. Kalau ruang fiskal diperlebar lewat pembiayaan pembangunan, defisit akan melebar diatas pagu yang ditetapkan oleh UU, jelas engga boleh. Pertanyaan saya gimana Jokowi biayai pembangunan infrastruktur yang begitu hebat dan meluas.” Katanya.

“ Ya tidak semua dari APBN. Sebagian besar dana pembangunan itu berasal dari Swasta atau proyek Publik Private partnership atau Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha atau KPBU. “ 

“ Oh itu saya tahu. Skema KPBU sudah ada sejak era SBY. Program itu kan diperkenalkan oleh World bank. Tetapi mengapa era Jokowi justru skema itu sangat diminati dan menjadi pendorong gencarnya pembangun insfrastruktur. “ Katanya cerdas.

Saya sempat berpikir sejenak. Di hadapan saya ada anak muda cerdas dan dia ambil S2 beasiswa dari kantornya. Wawasan dia juga luas. 

“ Ok. Sebelum saya jawab pertanyaan kamu, ada baiknya kita samakan dulu persepsi soal infrastruktur ekonomi, khususnya infrastruktur publik, seperti jalan toll, Kereta api, pelabuhan, Bandara, PLN, PDAM.  Pemahaman infrastruktur publik itu pada prinsipnya adalah menjadi tanggung jawab pemerintah. Itu diatur dalam UU. Tujuannya agar tarif jasa tidak menimbulkan motif kapitalisme, yaitu mencari untung sebesar besarnya.  Setuju? “ kata saya.

“Setuju. Memang begitu amanah UUD 45 dan UU. “

“ Terus kalau negara engga ada duit ? gimana ? Apakah kita berhenti sebatas rencana saja. Tanpa mikir sebelum ada uang? Sementara jumlah penduduk terus bertambah, yang tentu butuh infrastruktur agar ekonomi berkembang. "Kata saya.

“ Ya itu yang terjadi era SBY dan sebelumnya. Saya mau tanya itu Babo, gimana dapatkan uang investasi itu ?

“ Ya tawarkan kepada swasta. Suruh mereka bangun sesuai dengan konsep kapitalis dan pemerintah menjamin swasta dapat untung sesuai dengan konsep kapitalis itu. Pada waktu bersamaan pemerintah hadir di tengah tengah antara kepentingan kapitalis dan kewajiban sosial kepada rakyat banyak.

“Caranya gimana? kan pada akhirnya berhubungan dengan tarif jasa yang harus sesuai dengan UUD 45 dan UU. Apa iya swasta bisa untung dengan tarif sesuai dengan pelayanan publik negara kepada rakyat? Katanya bingung. Karena persepsinya masih kepada UUD 45 dan  lupa bahwa negara adalah pengatur dua kepentingan antara kapitalisme dan sosialisme.

“ Caranya sederhana saja. Tarif itu kan berkaitan dengan nilai investasi, resiko dan ekspektasi tingkat pengembalian investasi. Ya namanya kapitalis kan dasarnya itu. Semakin besar investasi, semakin besar resiko, semakin tinggi tingkat return yang diharapkan. Nah pemerintah tinggal berhitung. Katakanlah, investasi jalan toll per KM sebesar Rp. 100 miliar. Agar bisa balik modal dalam 5 tahun, dengan traffic minimal 20.000 kendaraan perhari, maka tarif toll per KM sebesar Rp. 1200. Sementara pemerintah maunya agar adil dan tidak membebani rakyat, tarif seharusnya Rp. 1000. Ya agar swasta tidak rugi, maka pemerintah sediakan dana sisipan sebesar Rp. 20 miliar atau 20% dari total investasi per KM. Itu disebut dengan Viability Gap Fund ( VGF). Jadi tarif tetap bisa Rp. 1000.

“ Jadi pemerintah bayarin 20% dari total investasi. Itu lumpsum tunai? 

“ Ya bayarnya tergantung kesepakatan. Ada yang dibayar lumpsum, khususnya untuk daerah yang tingkat traficnya rendah. Seperti Sumatera, Sulawesi. Tetapi untuk daerah padat traffic, seperti Jawa, pemerintah terapkan reimburse. Kalau traffic di atas 20.000 ya  VGF tidak diberikan. Tetapi kalau di bawah 20.000 traffic nya, pemerintah beri VGF, itupun berdasarkan audit. Skema itu berlaku bagi infrastruktur lainya seperti PLN, PDAM, kereta, Bandara, pelabuhan.”

“ Menarik babo, terus..,

“ Kebijakan tarif juga memperhatikan tingkat PDB regional. Kalau PDB regional naik maka tarif akan menyesuaikan. Karena biasanya terbangunnya infrastruktur akan menjadi pemicu bangkitnya perekonomian daerah. Sistem ini di era Jokowi dibuat transfarance. Satu satunya data hanya BPS. Kenaikan tarif terjadi secara otomatis sesuai data tanpa perlu ada persetujuan dari DPR/D.”

“ Wah Babo, artinya dengan skema itu Pasti banyak peminat. investor institusi yang punya uang,  ini sangat menarik karena adanya jaminan return. Sementara yang punya financial capability namun tidak punya uang kontan mereka bisa tarik uang dari perbankan atau pasar uang. Tentu tidak sulit.  Karena secara bisnis tidak ada resiko. "

" Benar. Karena peminatnya banyak maka pembangunan proyek ditenderkan oleh Pemerintah. Parameter pemenang tender ditentukan dari kesiapan dana. Siapa yang benar punya uang atau kemampuan financial yang berhak menang. Tetapi juga harus dengan  tingkat IRR yang bersaing. Artinya siapa yang meminta IRR paling rendah, ya dia yang menang. Soal tarif sudah ditentukan oleh pemerintah lebih dulu. Lokasi juga sudah ditentukan. Soft design juga sudah pemerintah sediakan.  Aturan pembebasan tanah juga sudah disiapkan. Investor sebagai pemenang tender engga akan kena mafia."

" Enak banget ya. Terus kepemilikan asset atas proyek itu gimana? Investor Swasta yang miliki ?  

“ Secara hukum walau bisnis infrastruktur itu atas nama swasta namun hak kepemilikan tetap ada pada negara. Kan engga boleh melanggar UUD 45"

" Jadi swasta pegang apa ? Dia mengerutkan kening tanda bingung.

"  Swasta hanya pegang konsesi. Hak mengelola sampai pada batas waktu yang ditentukan pemerintah dan kalau mereka untung selama rentang waktu konsesi, mereka juga harus bayar pajak. Setelah itu, semua asset dan pengelolaan diserahkan kepada pemerintah. Makanya swasta  tidak bisa gadaikan asset infrastruktur itu untuk pinjam uang.  Yang digadaikan hanya hak konsesi itu saja.” Kata saya.

“ Jadi dapat disimpulkan. Walau infrastruktur terbangun luas, dananya berasal dari swasta. Kalau berhutang , yang utang swasta,   bukan negara. Aset tidak digadaikan. Setelah jangka waktu konsesi habis, kembali ke negara. Dari itu semua negara tetap  bisa membangun infrastruktur sesuai UU pelayanan publik,  namun tidak perlu keluar uang 100% dari APBN, cukup dengan skema pembiayaan.” Katanya tercerahkan.

“ Ya itu namanya skema pembiayan investasi non anggaran  atau disebut PINA. “ 

“ OK Babo, pertanyaan berikutnya. Gimana dengan Pertamina, PLN, Pelni, Bulog. Mereka kan perseroan yang berkerja dengan motif bisnis. Sementara mereka harus mengikuti tarif dan kebijakan dari pemerintah. Kalau engga layak secara bisnis tentu mereka susah dapat sumber pendanaan dari perbankan atau pasar uang. Tentu sulit melakukan ekspansi sesuai penugasannya sebagai BUMN“

“ Itu ada skema, yang namanya PSO atau public service obligation. Contoh PLN harga jual komersial listrik per KWH katakanlah Rp. 1000. Sementara pemerintah maunya Rp. 800. Ya dua ratus itu ditutupi dari dana PSO. Begitu juga Pertamina, biaya distribusi BBM menjadi baban  PSO agar pemerintah bisa menetapkan harga BBM sama di seluruh Indonesia. Jadi secara bisnis tidak membuat PLN dan Pertamina jadi tidak bankabel. Mereka tetap bankable dan bekerja sebagaimana lembaga bisnis pada umumnya. “

“ Itu kan sama dengan Subsidi.” Katanya.

“ Ya subsidi tapi ke sektor produksi yang tidak terbuang percuma. Itu akan mendatangkan pajak dan deviden bagi negara.” Kata saya. 

“ Udahan ya. Saya mau lanjut riset pustakan. Sukses selalu ya” Kata saya. Dia menyalami saya. Sebelum berlalu dia ingin selfi tapi saya menolak halus. “ Oma larang babo selfi dengan perempuan. Yang penting kamu udah ketemu dengan Babo. Orangnya jelek dan tua, dan engga keren. “ Kata saya menuju rak mencari buku yang saya temukan di katalog.