Monday, April 26, 2010

Rumah tangga sumber inspirasi.



“ Duh, bahagianya hati ini. Akhinrya Allah mengabulkan juga doa Aini untuk datang ke Baitullah bersama suami tercinta. Puja puji padamu ya Allah. “ Terdengar suara Aini lambat di sampingku, terkesan berbisik di kupingku. Disandarkannya kepalanya kepundakku sambil tersenyum. Lambat kemudian dia tertidur dalam mimpinya. Sebentar lagi pesawat yang kami tumpangi akan mendarat di Jeddah. Kutatap wajah wanita usia 40 an yang terlelap tenang. Dia adalah istriku. Wanita yang telah dengan setia mendampingi hidupku.

Bagiku Aini lebih daripada seorang istri. Dia adalah srikandi bagi keluarga kami. Anak anak sangat mencintainya. “ Mama ku cantik” demikian sibungsu menyebut mamanya. “ Wah mama ku pintar? “ begitu kekaguman si sulung terhadap mamanya. Kutarik nafas dalam dalam. Kucoba tahan setiap garakan badanku. Berharap Aini tetap pulas tertidur. Sambil membelai kepalanya , dalam hati aku berkata“ Ah , mah, kamu pantas mendapatkan kebahagiaan ini. Kerinduanmu kepada baitullah tak pernah henti. Aku bersyukur akhirnya dapat memberikan kebahagiaan yang berarti untukmu. “

Lamunanku menarawang jauh ketika awal kami berumah tangga. Kami tidak pernah menjalin cinta sebelum menuju kepelaminan. Setelah punya penghasilan, bunda memintaku agar segera menikah. Wanita yang akan menjadi istrikupun sudah dipilihkan oleh bunda. Tak banyak yang dapat kulakukan untuk membantah pituah bunda. Sebulan setelah itu. Surat dari kampong mengabarkan bahwa aku sudah ditunangankan dengan Nurani. Juga dilampirkan photo Nuraini. Nampak wajahnya cantik tersenyum tipis. Senyum halus menghias wajahnya memancarkan makna keagungan wanita muslimah. Setelah itu aku disibukkan dengan bisnis dan sampai akhirnya waktu untuk melangsungkan pernikahan. Pertama kali kutatap langsung wanita yang akan menjadi istriku adalah ketika dipertemukan untuk melangsungkan ijab qabul.

“ Bang , mungkin Aini bukanlah wanita sempurna sebagai pendamping abang, Aini butuh bimbingan abang. Bila Aini salah , jangan sungkan, tegurlah Aini. “ Demikian ucapan pertamaku dengar dari Nurani ketika bertemu di malam pertama. Tak lupa dia menjabat tanganku sambil meletakkan tanganku ke keningnya dan kemudian mencium tanganku “ Terimakaasih abang sudah sudi menjadikan Aini sebagai istri. Aini akan berbakti untuk abang. Terimakasih ya bang. “ Wajahnya tetap tertunduk tanpak sungkan menatap wajahku. Kutengadahkan kepalanya. “ Abang juga terimakasih. Karena Aini sudah sudi menjadi istri abang. Kita sama sama bangun rumah tangga kita. Dan sama sama saling mengingatkan.” “

Selanjunya hari hari kami isi dengan penuh kebahagiaan. Meskin awal tak ada cinta namun seiring waktu berjalan cintapun tumbuh bersemi hingga membuat kami tak terpisahkan. Dengan pedapatanku yang sangat terbatas , dia harus mengatur biaya rumah tangga dengan menyisihkan sebagian untuk keluagaku di kampung. Rumah tangga kami tanpa servant ( PRT). Dari memasak , mencuci dan membersihkan rumah semua dia kerjakan sendiri. Lima belas tahun berumah tangga. Kami berhasil mengantarkan adik adik menyelesaikan studinya dan berumah tangga.

“ Bang,… “ Seru Aini sambil berhias di depan cermin sebelum berangkat tidur. Itu memang kebiasaannya sedari awal kami menikah. Dia selalu berhias dengan rapi ketika naik ketempat tidur menemaniku. Tempat tidur kami selalu rapi. Selalu harum. Sama seperti awal kami menikmati malam kemantin baru. Aini sangat memperhatikan suasana kamar.

“ Ya ada apa ?“

“ Tadi siang, bunda cerita kalau dia sangat ingin pergi ke tanah suci. Tapi tabungannya tidak cukup “

“ Emang bunda punya tabungan berapa ? “ tanyaku kaget.

" Empat ratus ribu “ jawab Aini sambil tersenyum.

" Empat ratus ribu ? 'Aku terkejut bingung

Aini menganggukan kepala dengan wajah polosnya

"Kamu engga salah." Seruku.

Aini menggelengkakan kepalanya dengan tersenyum.

" Bagaimana cukup untuk pergi haji.” Jawabku sambil mengerutkan kening.


‘ Bukan itu masalahnya, bang. Aku ingin bunda pergi haji tahun ini. “ katanya sambil menghampiriku dan mengurut pundakku dari samping. Begitulah cara Aini bila kami masuk dalam arena beradu argumentasi. Dia selalu manja.

‘ Ya darimana uangnya. ?

" Aku ada uang. Dari hasil menjahit dan sisa uang belanja aku tabung. Sekarang jumlahnya hampir Rp. 15 juta. “ kata Aini sambil berdiri mengambil buku tabungan di dalam lemari. Di perlihatkannya kepada ku dengan manja. Ya itulah Aini yang selalu pandai menjaga penghasilanku dan membantu mengurangi bebanku. Dia tidak pernah mengenal Mall atau ikutan dengan istri teman temannya pergi jalan jalan. Kalaupun dia keluar rumah bersama teman temannya tak lain untuk pergi ke majelim taklim.

“ Kamu tau , berapa ongkos pergi hají. Lima belas juta engga cukup ! “ seruku.

‘ Aku akan bicarakan dengan adik adik abang. Semoga mereka mau ikut sokongan menutupl kekurangannya. “ Nampak Aini bicara dengan hati hati sambil menundukkan kepala. Tak ingin menatap mataku langsung. Aku tahu , hal ini sangat berat baginya untuk menyampaikan usulan itu. Namun aku berusaha menatap wajahnya. Dia tersenyum. 

“ Kamu serius “ tanyaku.

Dia mengangguk sambil memancarkan wajah ikhlasnya.

Kucium keningnya.

“ Tapi aku tidak bisa membicarakan ini kepada adi adik. Kamu kan tau sikap mereka” Aku menyadari bahwa walau kehidupan ekonomi adik adik semua sudah lebih dari cukup dan bahkan melebih kehidupan kami. Kami tidak bisa memaksakan kehendak agar mereka ikut sokongan. Bukankah hidayah itu adalah kehendak allah. Aini selalu mengirimi uang belanja untuk bunda di kampung. Aini tidak pernah membedakan kecintaannya antara ibunya dengan mertuanya. Aku tahu kecintaannya kepada orang orang terdekatku sangat tingggi sebagaimana dia mencitaiku. Tak pernah dia merasa terbebani.

“ Ya. Besok biar Aini yang bicara dengan mereka. Yang penting abang izinkan Aini untuk bicara dengan mereka “ katanya dengan sedikit manja.

Keesokan harinya.

Diwajah Aini ada sedikit mendung. 

“ Mereka tidak bersedia ikut sokongan. Padahal aku sudah telp bunda untuk rencana keberangkantannya ke Haji tahun ini. Bunda senang sekali. “ 

Aini tidak mau membicarakan alasan penolakan adikku. Itu sudah menjadi sifatnya yang tak pernah membahas sifat orang lain. Dia terdiam. Tak mau menatap wajahku. Namun aku tahu dia sangat tertekan. Aini selalu tegar dalam menghadapai persoalan. Tapi kini dia nampak kalah dan bingung. Aku tak ingin Ainiku larut dalam duka. Aku ingin membuat Aini tersenyum.

“ Ya sudahlah. Abang ada tabungan Rp. 20 juta. Tapi itu untuk persiapan Dodi kuliah tahun depan. “ kataku. Dodi adalah putra sulung kami yang sekarang sudah kelas tiga SMU." Nanti setelah Dodi kuliah, kita nabung lagi untuk bunda pergi haji , gimana ? Sambungku seraya mengusap kepalanya.

“ Pakai aja uang itu bang. Kan cukup untuk menambahi tabunganku.” Di tatapnya wajahku dengan mimik seakan menemukan sesuatu yang sangat diinginkannya.

“ Tapi bagaimana dengan persiapan uang kuliah Dodi. “ jawabku bingung.

“ Rezeki itu dari Allah. Mungkin ini sudah kehendak Allah agar kita pergunakan untuk memuliakan orang tua. Kan abang selalu ajari Aini untuk selalu ikhlas berbuat baik kepada siapapun , khususnya kepada orang tua.”

" Ya tapi...” kembali kebimbangan membuncah dipikiranku. Antara tanggung jawab untuk kuliah anak dan keinginan berbakti membahagiakan bunda.

“ Bang...” seru Aini.

Akupun tersentak. „ Ya „

“ Ikhlas ajalah Bang. Bunda sangat berharap sekali.” Kembali dia meneguhkan tekadku.

Aini selalu tampil penyeimbang dalam setiap kegalauanku menghadapi persoalan. Dia juga selalu mengingatkanku agar hanya uang halal sajalah yang dibawa pulang kerumah. Dia tidak banyak menuntut apapun. Karena dia sudah sangat berbahagia menjadi istriku dan ibu dari anak anakku. Itu selalu dikatakannya ketika aku menghadapi tekanan biaya hidup.

“ Ya. Baik. Besok kita ambil uang di bank. Kita setor untuk biaya keberangkatan bunda ke tanah suci.”  Jawabku ”Tapi jangan cerita tentang keadaan keuangan kita kepada bunda. Karena bila bunda tau kita menggunakan tabungan kuliah Dodi ,pasti bunda tidak mau menerimanya.” Sambungku.

” ya. Aini janji.” Aini memelukku dengan perasaan senang sambil berkata  ” Puja puji kepadamu ya Allah, akhirnya terkabulkan juga niat kami untuk memuliakan bunda ” Kulihat airmatanya mengambang di pelupuk matanya. Aini bahagia sekali. Diapun bersegera sujud syukur. Bagiku membuat Aini bahagia itu lebih dari segala galanya. Aku tak lagi memikirkan persiapan kuliah Dodi. Kami ikhlas untuk memuliakan orang tua.

Ketika mengantar bunda ke Pondok Gede. Aku memeluk bunda dengan erat. ”Maafkan aku bunda. Seharusnya aku mendampingi bunda ke tanah suci. Apalagi Ayah sudah meninggal. Bagaimana bila terjadi apa apa dengan bunda di sana” kataku sambil menitikkan air mata.

Bunda menatap wajahku dengan senyum.

” Terimakasih anakku. Semoga allah memberkati hidup mu dan keluarga mu. Semoga amal sholehmu diterima Allah. ”Jawab bunda sambil menghapus air mataku. "Engga usah kawatirkan bunda. Kan bunda ke rumah Allah. Tentu Allah-lah yang akan melindungi bunda. Apakah ada tempat teraman didunia ini selain di rumahNYA.“ Sambung bunda.

Kemudian bunda memeluk Aini “ Terimakasih Anakku. Kamu teramat baik sebagai menantu, juga bagi suamimu. Keihlasan mu , hanyalah rahmat allah balasannya.”

" Bunda" Aini tak bisa menahan tangisnya. " Tolong doakan kami di sana agar kami mendapatkan kesempatan juga datang ke rumah Allah. Kami ingin sekali bunda...”

“ ya ..tentu anakku. Kalian adalah permata hati bagi bunda. Tentu”

Dalam perjalanan pulang dari Pondok Gede Aini tampak bahagia sekali. Didalam angkot , Aini berkata kepada ku “ Semoga ya bang , suatu saat nanti anak anak kita dapat pula memberangkatkan kita ketanah suci. Aini ingin sekali bang..” Aku tersentak. Begitu mulia hatinya. Seakan menghibur diri dalam keterbatasan materi yang kami miliki. Saat itu aku sedang bangkrut. Dia tak ingin membuat aku merasa berhutang untuk membawanya ketanah suci. Namun kata katanya , sudah menjadi tekadku untuk berusaha sekali dalam hidup ini membahagiakannnya dengan membawa dia ketanah suci. “ Oh Tuhan, beri kesempatanku untuk memuliakan istriku, setidaknya memberikan kebahagiaan dengan membawanya kerumah Mu ya Allah. “

Tengah malam aku tersentak ketika terdengar rintihan suara. Nampak Aini sedang berdoa seusai sholat tahajud “ Ya Allah. Bila pengabdian dan keikhlasanku kepada suami merupakan amal ibadah terbaik bagimu maka lapangkanlah urusan suamiku Ya Allah. Bila keikhlasanku berbakti kepada Ibu mertua adalah amal sholeh terbaik bagi mu maka lindungilah kami dari fitnah dunia ini. Hanya kepadamulah aku berharap dan kepadamu jualah aku memohon perlindungan. Maha Suci engkau ya Allah. Segala puja puji hanya teruntuk mu. Amin. “

Kudengar rintihan doa Aini sambil memejamkan mata. Doa itu selalu kudengar setiap malam. Kadang kulihat Aini menitikkan airmata. Biasanya setelah dia usai, akupun terbangun. Untuk sholat tahajud. Kemudian kami sholat subuh berjamaah. Itulah kebiasaan kami yang tak pernah henti berharap kepada Allah ketika pintu lain minta tolong tertutup rapat. Ketika sesaknya kehidupan membuat kami semakin dekat kepada Allah. Selebihnya kami ikhlas. Aini sangat ikhlas. Tak ada sedikitpun rasa kawatirnya terhadap masa depan kami. Aini sangat yakin , Allah tidak akan membiarkan kami menderita, tidak akan membiarkan kami menghadapi beban yang tak sanggup kami emban. Aini yakin seyakin dia menerima takdirnya sebagai istri dan ibu dari anak anakku.

Seminggu bunda di tanah suci aku dapat peluang sebagai arranger  soft loan untuk proyek APBN. Sahabatku memberi peluang itu kepadaku. Dalam kondisi bangkrut, bagiku itu sama saja mission impossible. Walau aku harus keluar negeri mendapatkan sumber pembiayaan, namun Aini menguatkanku untuk terus melangkah. Seminggu kemudian titik terang upayaku mulai menampakan hasil. Pihak dan lembaga terkait dalam pembiayaan soft loan bersedia memberikan pinjaman sesuai dengan protokol pemerintah. Belum pulang Bunda dari Makkah, aku sudah berhasil mendapatkan komisi USD 1,8 juta. Artinya aku bisa bangkit lagi dari kebangkrutan. Maha suci Allah.

Ketika sampia di tanah air,  aku ceritakan kesuksesanku kepada Aini. Dia langsung sujud syukur. Setahun kemudian, tahun 2003 aku bersama Aini sudah di dalam pesawat menuju Baitullah. Melalui speaker terdengar pengumuman dari pramugari bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat di Jeddah.

Aini terjaga dari tidurnya.

“ Abang, kita sudah hampir sampai ya bang. “ tanyanya sambil mengusap wajahnya. Dia melirik ke arahku dengan tersenyum indah. Kugenggam jemarinya yang tidak lagi sehalus ketika awal kukenal dia. Telapak tangannya terasa kasar karena setiap hari harus bekerja di rumah. Walau tak lagi halus. Namun dia tetap srikandiku. Wanita soleha selalu menciptakan kedamaian bagi seisi rumah. Selalu menjadi penyejuk di tengah panasnya pergulatan hidup. Selalu menjadi pembuka rezeki bagi suami. Selalu membuat pria merasa pantas terlahirkan Itu semua ada pada Ainiku. My belove, you always on my mind...

Century Gate ?


Saya sedih melihat Pak Boediono dibicarakan di media Massa. Saya yakin tidak ada motif buruk yang memastikan Pak Boed bersalah dan terlibat kasus Bank Century. Kalau dia terjebak , tidak sengaja, itu bisa diterima. Tetapi situasi ketika itu dia harus memilih dan menentukan sikap dalam keadaan genting. Kalau engga negara akan masuk spiral krisis akibat dampak sistemik.

Sebetulnya kasus bank Century ini sederhana. Berawal dari krisis keuangan dari tiga bank yaitu Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC. BI mencari solusi untuk menyelamatkan bank tersebut. Tahun 2001 ada tawaran dari Chinkara Capital Ltd yang berdomisili hukum di Kepulauan Bahama ( offshore ) untuk mengakuisisi ketiga bank itu dan kemudian di merger jadi satu. Entah mengapa proses penawaran ini tidak mengikuti standar kepatuhan BI. Tanpa mendalami lebih jauh reputasi calon investor, pada 5 juli 2002, BI tetap melanjutkan proses merger atas ketiga bank tersebut. Semua resiko atas Asset bank berupa Surat Surat Berharga yang semula dinilai macet oleh BI menjadi dinilai lancar karena di bail out oleh Chinkara Capital Ltd. Sehingga kewajiban pemenuhan setoran kekurangan modal oleh pemegang saham pengendali (PSP) menjadi lebih kecil dan akhirnya rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio (CAR)) terpenuhi.

Nah darimana Chinkara Capital Ltd mem bail out itu? Ya pakai surat utang lagi namun di confirmed oleh first class bank. Namun apa yang terjadi kemudian? Selama periode tahun 2005–2008 diketahui bahwa posisi rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio (CAR)) Bank Century per 28 Februari 2005 (dua bulan setelah merger) adalah negatif 132,5%. Apa pasal ? karena asset berupa SSB itu tidak likuid. Tetapi BI tetap saja tidak memerintahkan kepada Bank Century melakukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) terhadap Surat-surat berhaga (SSB) tersebut. Mengapa ? karena ada perjanjian Asset Management Agreement (AMA) antara Bank Century dan Telltop Holdings Ltd, Singapore dalam rangka penjualan surat-surat berharga Bank sebesar US$ 203,4 juta.

Yang jadi masalah dalam transaksi jaminan likuiditas ini adalah Telltop Holdings Ltd tidak bayar pakai uang. Lagi lagi bayar pakai surat utang berupa Pledge Security Deposit ( PSD ) sebesar US$ 220 juta di Dresdner Bank (Switzerland) Ltd. Jadi sejarahnya dari awal sejak akuisisi memang berputar putar hanya surat utang bukan uang tunai. Artinya bermain main di neraca yang non eligible. Yang lebih konyol lagi adalah berdasarkan AMA, oleh Telltop Holdings Ltd , SSB itu dijaminkan kepada Saudi National Bank Corp sesuai dengan perjanjian tgl 7 Desember 2006 untuk menjamin fasilitas L/C. Sisanya di jaminkan kepada First Gulf Asian Holdings, National Australia Bank. Nomura Bank International Plc dan Deutsche Bank.

Karena asalnya memang SSB itu bermasalah maka ketika jatuh tempo tidak bisa cair. Maka bank bank tersebut sesuai aturan international meminta BI harus tanggung jawab. Kalau tidak akan berdampak sistemik. Makanya terpaksa pemerintah mengeluarkan dana talangan. Bagaimana dengan Pledge Security Deposit sebesar US$ 220 juta di Dresdner Bank (Switzerland) Ltd dari Telltop Holdings Ltd? Bodong!

Di samping itu, selama paska akuisisi itu PT Antaboga Delta Securitas di bawah group Century juga menjual surat berharga yang menjanjikan untung 20% sebulan. Tidak sedikit dana publik yang mengalir ke surat utang ini. Publik percaya karena ada nama Bank Century di balik surat utang itu. Ketika Bank Century jatuh, dana nasabah PT Antaboga Delta Securitas juga hilang. Pemerintah tidak bisa bayar. Karena mereka bukan nasabah bank. Yang dijamin hanya nasabah bank yang deposito di bawah ketentuan LPS. Karena ada deposan besar yang dibujuk masuk menyelamatkan likuiditas century maka terpaksa walau mereka diatas ambang batas yang dijamin LPS, tetap dibayar dengan membuat beberapa lembar bilyet deposito sesuai batas jaminan LPS.

Secara akuntasi tidak ada kerugian negara. Karena yang membayar kerugian Century adalah LPS yang dananya berasal dari deposan dalam bentuk premium asuransi. Jadi siapa pelaku sesungguhnya ? ya investor Chinkara Capital Ltd yang meraup dana triliunan dengan menggunakan SSB yang semuanya adalah mirror asset, yang ilegible. Tetapi knowledge pejabat BI dan Menteri Keuangan engga sampai kesana. Sehingga mudah dibobol. Yang jelas pelaku utamanya Robert Tantular dan Chairman Chinkara Capital Ltd sudah dikenakan hukuman oleh pengadilan. Dari kejadian Century ini, ada hikmah dimana BI dan OJK lebih hati hati dalam mengawasi perbankan, dengan prinsip cash basis , bukan Accrual Basis


Wednesday, April 14, 2010

FEDwire Fund Service



Fedwire Funds Service is a real-time gross settlement system (RTGS) enabling participants to transmit and receive payment orders between each other and on behalf of their customers. Real-time gross settlement means that the clearing and settlement of each transaction occurs continuously during the processing day. Payment to the receiving participant (payee) over Fedwire Funds Service is final and irrevocable when the Federal Reserve Bank either credits the amount of the payment order to the receiving participant’s Federal Reserve Bank reserve account or sends notice to the receiving participant, whichever is earlier.

Fedwire Funds Service participants must maintain an account with a Federal Reserve Bank. Because of this requirement, non-financial organizations are not permitted direct access to Fedwire Funds Service, although these entities may use these services indirectly as customers of deposit-taking financial institutions. Certain payment and securities settlement systems, such as CHIPS and CLS, also rely upon Fedwire Funds Service to allow participants or their correspondents to provide necessary funding.

Financial institutions sending a Fedwire Funds Service payment order irrevocably authorize their Federal Reserve Bank to debit (charge) their Federal Reserve account for the transfer amount and to give credit in the same amount to the payee. Only the originating financial institution can have funds removed from its Federal Reserve account using the Fedwire Funds Service. Depository institutions that maintain a reserve or clearing account with a Federal Reserve Bank may use Fedwire Funds Service to send payments to, or receive payments from, other account holders directly. Once the Federal Reserve Bank credits the receiving institution’s account, it will not reverse the transaction at the request of the originating institution.

Financial institutions may access the Fedwire Funds Service via high-speed direct computer interface (CI), FedLine, or with off-line telephone connectivity with a Federal Reserve Bank. Financial institutions may also access certain Fedwire Funds Service inquiry information via FedLine for the Web. On-line participants, using either a CI or FedLine PC connection to Fedwire Funds Service, require no manual processing by the Federal Reserve Banks. Off-line participants provide funds transfer instructions to one of two Federal Reserve Bank customer support sites by telephone, and after authenticating the participant, the Federal Reserve Bank enters the transfer instruction into the Fedwire Funds Service system for execution. The manual processing required for off-line requests makes them more costly and suitable only for institutions processing a small number of funds transfer payment orders.

The Federal Reserve Bank’s FedLine for the Web currently offers access to low-risk Federal Reserve Bank financial services. FedLine Advantage, which should begin a graduated rollout by year-end 2004, will allow depository institutions access to additional Federal Reserve financial services, including the Fedwire Funds Services and the Fedwire Securities Service, via a secure Internet Protocol (IP) gateway to Federal Reserve Bank financial services. Residing on a secure Web server, FedLine Advantage will be accessible to customer financial institutions with authenticated credentials using digital certificates.

CHIPS
CHIPS is a privately operated, real-time, multilateral, payments system typically used for large dollar payments. CHIPS is owned by financial institutions, and any banking organization with a regulated U.S. presence may become an owner and participate in the network. The payments transferred over CHIPS are often related to international interbank transactions, including the dollar payments resulting from foreign currency transactions (such as spot and currency swap contracts) and Euro placements and returns. Payment orders are also sent over CHIPS for the purpose of adjusting correspondent balances and making payments associated with commercial transactions, bank loans, and securities transactions.

Since January 2001, CHIPS has been a real-time final settlement system that continuously matches, nets and settles payment orders. This system provides real-time finality for all payment orders released by CHIPS from the CHIPS queue. To achieve real-time finality, payment orders are settled on the books of CHIPS against participants’ positive positions, simultaneously offset by incoming payment orders, or both. This process is dependant on up to two rounds of required prefunding.

To facilitate this prefunding, CHIP Co. members jointly maintain a pre-funded balance account (CHIPS account) on the books of the Federal Reserve Bank of New York. Under the real-time finality arrangement, each CHIPS participant has a pre-established opening position (or initial prefunding) requirement, which, once funded via a Fedwire Funds Service funds transfer to the CHIPS account, is used to settle payment orders throughout the day. A participant cannot send or receive CHIPS payment orders until it transfers its opening position requirement to the CHIPS account. Opening position requirements can be transferred into the CHIPS account any time after the opening of CHIPS and Fedwire Funds Service at 9:00 p.m. Eastern Time. However, all participants must transfer their requirement no later than 9:00 a.m. Eastern Time.

During the operating day, participants submit payment orders to a centralized queue maintained by CHIPS. Participants may remove payment orders from the queue at any time prior to the daily cutoff time for the system (5:00 p.m. Eastern Time). When an opportunity for settlement involving one, two or more payment orders is found, the system releases the relevant payment orders from the central queue and simultaneously marks the CHIPS records to reflect the associated debits and credits to the relevant participant’s positions. Debits and credits to the current position are reflected only in CHIPS records and are not recorded on the books of the Federal Reserve Bank of New York. Under New York law and CHIPS Rules, payments orders are finally settled at the time of release from the central CHIPS queue.

This process, however, typically will be unable to settle all queued messages. Soon after 5:00 p.m. Eastern Time, CHIPS tallies any unreleased payment orders remaining in the queue on a multilateral net basis. The resulting net position for each participant is provisionally combined with that participant’s current position (which is always zero or positive) to calculate the participant’s final net position; if that position is negative, it is the participant’s “final position requirement.”

Each participant with a final position requirement must transfer, via Fedwire Funds Service, this second round of prefunding to the CHIPS account. These requirements, when delivered, are credited to participants’ balances. Once all of the Fedwire Funds Service funds transfers have been received, CHIPS is able to release and settle all remaining payment orders. After completion of this process, CHIPS transfers to those participants who have any balances remaining the full amount of those positions, reducing the amount of funds in the CHIPS account to zero by the end of the day. In the event that less than all final position requirements are received, CHIPS settles as many payments as possible, subject to the positive balance requirement, and deletes any remaining messages from the queue. Participants with deleted messages are informed of which messages were not settled, and may choose, but are in no way required, to settle such messages over Fedwire Funds Service.

Saturday, April 3, 2010

Mencintai manusia, namun Tuhan yang utama



“ Aku ingin bertemu dengan papa “ Kataku kepada mama.

” Kan mama sudah bilang , papa kamu sudah meninggal. ” jawab mama tegas. Mama berusaha memalingkan wajah ke tempat lain dengan air mata berlinang.

” Ma, aku sudah dewasa. Tidak perlulah ditutupi terus tentang Papa. Dan lagi , dua bulan lagi aku akan menikah. Aku butuh Papa mendampingiku atau setidaknya aku dapat meminta restu kepada papa. Itu saja ” Kataku dengan lembut. Kusadari bahwa masalah ini sangat sensitip apalagi menyangkut soal papa. Dari dulu, setiap aku menanyakan tentang papa , mama selalu marah dan setelah itu menangis.

” Mama engga ngerti kenapa sekarang kamu jadi lain. Ngotot sekali ingin ketemu Papa kamu. Mengapa kamu begitu peduli dengan papamu yang tidak pernah mau tahu dengan kamu. Sejak kamu lahir , papa kamu pergi meninggalkan mama. Itu harus kamu ngerti. ” Mama mulai menangis. Aku hanya terdiam. Kucoba untuk memeluk mama untuk meredam rasa sesak didadanya.

” Ma...terimalah ini "Kuserahkan amplop besar yang kudapat dari tante Mia. Didalam amplop itu berisi sebuah kebenaran yang selama ini tak dapat kutemukan tentang papa " Mama baca dan kemudian tentukan sikap mama. ” lanjutku seakan berbisik. ” Maafkan aku bila akhirnya aku harus berseberangan dengan mama soal papa. ” Kupeluk mama dan kutinggal mama seorang diri. Akupun kembali kesingapore.

***
Aku memang sejak lahir tidak pernah mengenal papa. Sejak kanak kanak aku tinggal berpindah pindah. Pernah 5 tahun tinggal di rumah Om di Malang. Istri om sangat baik sekali, Namun setelah kelahiran putrinya, dia semakin kurang perhatiannya kepada ku. Makanya , om kirim aku lagi ke rumah tante di Jakarta. Ini berlangsung sampai aku tamat SD. Karena Jakarta bukanlah tempat yang aman bagi ku, maka mama mengirimku ke singapore untuk tinggal dengan adik mama yang paling bungsu. Tante Mia. Dia sangat sayang padaku. Juga suaminya. Mereka tidak mempunyai anak. Hingga akulah satu satunya yang dianggapnya sebagai anak mereka. Sampai akhirnya aku dapat menyelesaikan perguruan tinggi dan bekerja di Singapore.

Sejak SMP, aku sudah mengerti sedikit tentang kehidupan. Keluarga besarku membenci papa,dan menanamkan kebencian itu kepadaku. Wajar bila akupun terlanjur membenci papa. Apalagi keluarga mama adalah penganut agama kristiani yang taat sementara papa adalah muslim. Hanya saja tante Mia tidak pernah cerita negatif tentang papa. Mungkin karena pendidikan tante paling tinggi diantara keluarga mama. Tante Mia juga kristiani yang taat. Jadi lebih mengerti untuk bersikap bijak. 

Dari tante Mia dan suaminya aku mulai memahami kebijakan, terutama tentang agama. Tante tidak pernah memaksaku untuk menentukan agama yang tepat untukku. Baginya agama itu soal privasi yang tak perlu diperdebatkan. Yang penting adalah bagaimana kita bisa menggunakan agama itu sebagai jalan hidup dan membuat siapapun yang dekat dengan kita merasa nyaman. Agama tidak menanamkan kebencian tapi kasih sayang. Agama tidak mempersulit tapi mempermudah. Agama itu adalah ajaran memberi, bukan meminta. 

Tapi soal Papa. Aku larut dalam kebencian terhadap Papa. Apalagi kutahu , dua kali mama menikah dengan pria lain , selalu mengalami kegagalan walau itu dijodohkan oleh keluarga mama yang taat beragama. Selanjutnya mama bekerja keras dan hidup sendirian. Laki laki macam apa ini ? .Yang telah membiarkan wanita seperti mama dan aku hidup tanpa perlindungan dari seorang pria yang seharusnya bertanggung jawab disaat kami membutuhkannya.

Ada hembusan pencerahan dalam hidupku ketika aku mulai menjalin hubungan serius dengan seorang pria yang tidak seiman denganku. Dia seorang muslim yang taat. Pria itu sangat baik dan sopan. Dia tidak pernah menyentuhku selama kami pacaran. Selalu bisa mengerti perasaanku dan tidak pernah memaksaku untuk mengikuti agamanya. Tapi kepribadiannya membuatku mulai luluh untuk memeluk agama Islam. Pacarku dengan sabar menjelaskan semua hal tal tentang Islam. Duh, indahnya ajaran agama ini. Di mana kesederhanaan adalah pakaian kesehariaan, Keikhlasan adalah kepribadian dalam bersikap dan bertindak. Lemah lembut terpancar untuk saling menjaga dan menghormati. Antara wanita dan pria saling menjaga atas dasar saling hormat untuk beribadah kepada Allah. Agamaku mendidik kasih sayang dan islam menerapkannya dengan sempurna, setidaknya itu yang kurasakan dalam hubungan dengan pacarku. Maka akupun semakin membulatkan tegad untuk menjadi muslimah.

Tapi bagaimana bisa meyakinkan keluarga mama tentang niatku untuk pindah agama, tentang hubunganku dengan orang tidak seiman. Inilah yang sulit. Apalagi mereka sangat trauma dengan kehidupan mama yang menikah dengan pria tidak seiman. Pernah ini ku sampaikan kepada om di Malang. Karena dia kakak tertua mama dalam keluarga besar.

” Tidak Lin ! " Teriak Om " Semua orang tahu bahwa Om ini aktifis geraja dan juga mama kamu. Apa kata orang nanti bila mengetahui kamu menikah dengan pria tidak seiman. Bercerminlah dengan mama kamu yang menikah dengan pria tidak seiman. Akhirnya ditinggal pergi ketika mama kamu tidak mau mengikuti agamanya. Mereka kejam sekali, Lin. Mereka dapat menghalalkan apa saja demi agamanya. Carilah pria seiman dengan kamu..”

Begitupula ketika hal ini kusampaikan kepada Tante di Jakarta. Jawabannya sangat tegas. ” Kalau kamu menikah dengan pria tidak seiman maka putus hubungan keluarga kita. ”

Aku terhempas. Jangankan mau pindah agama , menikah dengan orang tak seiman saja sudah prahara bagi mereka. Semua menjadi kebencian ketika menyangkut perbedaan agama. Mengapa ini bisa terjadi.? Apakah agama memang mengajarkan peperangan karena perbedaan ? Aku rasa tidak. Hanya cara menyikapi dan merasa paling benar inilah yang membuat prasangka buruk terbentuk. Membuat kedamaian menjadi sesuatu yang mewah.  Seharusnya orang beragama adalah orang yang menempatkan prasangka baik kepada siapapun dan berserah diri kepada Tuhan. 

Terakhir aku berbicara dengan tante Mia dan meminta pendapatnya tentang rancanaku untuk menikah dengan pria tidak seiman. Tante menatapku dengan seksama” Menikahlah karena cinta dan siaplah berkorban untuk itu. Tante tidak bisa memberikan penilaian masalah perbedaan agama. ” Kata tante dengan lembut sambil membelai kepalaku.

" Benarkah , papa itu jahat tante ? Mengapa mereka membenci Islam hanya karena mereka tidak menyukai papa. Sejahat itukah Papa bagi keluarga kita. Pacarku sangat baik dan aku sangat mencintainya. Tidak ada satupun hal buruk seperti yang digambarkan om tentang Islam " Kataku.

Kemudian tante masuk kedalam kamar dan keluar membawa sesuatu di tangannya. ” Terimalah ini ” kata tante sambil menyerahkannya kepadaku. ” Itu buku tabungan tante selama 12 tahun. Jumlahnya sama dengan semua kebutuhan biaya kamu selama tinggal dan sekolah di singapore. Tapi tante tidak pernah ambil satu senpun. Kamu sudah tante anggap sebagai anak kandung tante. Sekarang itu menjadi milikmu.” kata tante dengan air mata berlinang.

” Dari mana tante dapatkan uang sebanyak ini” Kataku heran

” Ini bukti transfer uangnya ” kata tante sambil membuka amplop besar. Begitu banyak lembaran kertas warna merah muda sebagai bukti transfer. Tertulis disitu nama pengirim – Rahmat Subarja –

” Siapa Rahmat Subarja itu ? ”

" Papa kamu. ..” kata tante dengan suara lambat.

" Jadi selama ini semua telah berbohong tentang papaku. Akte kelahiranpun falsu ? "aku terkejut dan sedikit marah.

"Setiap bulan , selama dua belas tahun , dia tidak pernah lupa barang sekalipun mengirimi uang kepada tante untuk biaya hidup kamu. " Kata tante tanpa peduli kemarahanku.

” Papa ?" aku terkejut.

” Ya. " Jawab tante. Kemudian tante memberikan satu lembar amplop putih kepadaku. Di dalamnya ada surat dan juga photo pria. ” Ini ada surat dari papamu. Dia berharap agar tante memberikan surat ini kepadamu pada saat yang tepat. Khususnya ketika kamu akan menikah. “

Aku pandang photo itu. Nampak seorang pria gagah dan berwibawa di balik senyum. Aku terhenyak memandang photo itu. Lama aku memperhatikan photo itu. Baru kemudian aku membaca surat itu . :

Anaku, Kamu adalah anakku. Buah hatiku. Secara agama dan sudah dibuktikan dalam ilmu pengetahuan bahwa ayah itu pembawa factor keturunan. Artinya pemilik syah anak secara batin maupun biologis adalah ayah. Tapi ibu berperan besar dalam proses terjadinya takdir hingga kamu terlahirkan kedunia ini. Ibu kamu pula yang telah mengorbann segala galanya untuk sesuatu yang bukan miliknya. Yang pasti keberadaan kamu karena bertemunya syariat kasih sayang diantara dua anak manusia untuk meyakini hakikat keberadaan sang pencipta yang maha pengasih lagi penyayang. 

Makanya tidak ada alasan apapun bagi Papa untuk membenci mamamu. Sangat berat hidup berpisah dengan seseorang yang kita cintai. Namun itu semua harus kita korbankan untuk cinta yang sesungguhnya dari pemberi cinta. Allah. Kami bertemu disaat kami tak bisa menjaga diri kami dan akirnya berpisah diluar kekuatan kami. Kini , Pinta papa hanya satu :izinkan papa menikahkan mu dengan pria yang kamu cintai. Papa percaya dengan apapun pilihanmu. Anakku..Masa lalu kami bukan hal yang baik untuk dicontoh tapi bagaimanapun kamu tetaplah anak kami. Semoga Allah pula yang akan mempersatukan kita. Papa yakin bahwa bila kita cnta Allah maka kehendak Allah pula yang berlaku dan itu pasti yang terbaik untuk kita....”

Aku terduduk dan mataku berat seakan ingin menumpahkan airmata. Namun kucoba tegar. Kutatap tante yang sedari tadi memperhatikanku. ” Ketika kamu datang ke singapore. Papamu mendatangi tante. Kebetulan tempat kerja om kamu punya hubungan business dengan papa kamu. Papamu minta agar masalah ini dirahasiakan dari siapapun. Termasuk kepada mama dan yang lainya. Papamu hanya ingin kamu bahagia di bawah naungan ibumu dan kami. Itu saja. ”

” Apakah papa sudah menikah lagi ? ” tanyaku.

” Papamu pengusaha yang sukses. Tidak sulit baginya untuk menikah lagi.Tapi dia tetap berharap suatu saat bisa bersama mamamu lagi. Sampai sekarang dia belum menikah. Seminggu lalu , kami bertemu dengan dia di Hotel ketika dia mampir untuk ke Eropa. Dia selalu menanyakan perkembanganmu. Sangat antusias mendengar cerita tentangmu."

” Mengapa dari dulu , tante tidak pernah kenalkan papa dengan ku ?”

” Hanya ketika kamu akan menkah maka rahasia ini boleh dibuka”

” tapi mengapa ?

” Tante tidak tahu. Tapi begitulah cara papa kamu bersikap. ” Aku terdiam.

Aku membayangkan bahwa pria yang aku kenal sebagai papaku ini ternyata seorang pria sejati. Juga seorang yang ikhlas menerima takdirnya untuk tetap istiqamah dengan keimanannya walau cintanya terpasung dengan seseorang yang tidak seiman. Dia ikhlas untuk memendam rindu kepada manusia yang dicitainya demi cintanya kepada Allah. Ini yang sangat sulit bagi semua orang yang mangaku beriman. Apalagi tidak ada benci dari semua ini. 

Tanggung jawabnya karena Allah tak pernah dilalaikannya. Terbukti semua kebutuhanku dipenuhinya. Yang lebih lagi adalah keikhlasannya untuk tidak dikenal oleh anak kandungnya sendiri demi menjaga keadilan dan perasaan dari seorang ibu yang melahirkan anaknya. Kalaupun dia ingin bertemu maka itupun karena printah Allah yang mengharuskan ayah menikahkan anak gadisnya. Jadi ,tidak ada alasan untuk membenci pria ini. Seperti yang selama ini dikatakan oleh keluarga mama.

***
Di Changi Airport, Singapore..

“ Kami menikah tanpa restu orang tua. Ketika itu kami masih sangat muda. Papa mu berusia 19 tahun. Dia masih kuliah tingkat satu. Sementara mama masih duduk di SMA kelas 2. Enam bulan setelah menikah , kamupun lahir. Tidak ada yang salah tentang papa kamu. Namun , satu hal yang tidak pernah mempersatukan kami , yaitu agama. Kakek kamu memaksa mama untuk pergi meninggalkan papa ketika papamu minta agar mama memeluk agama Islam. Padahal sebelumnya diapun sudah diasingkan oleh keluarganya karena menikah dengan mama yang tidak seiman, ...” Kata mama dengan air mata berlinang.

Kugenggam jemari mama. Seakan ingin menguatkan batin mama. " Yang mama sedihkan adalah begitu keluarga kami sangat membencinya namun kecintaannya kepada mama tidak pernah surut dan tanggung jawabnya kepadamu tidak pernah hilang. " Sambung mama lagi.

Ada sesal yang tak bisa diungkapkan dengan mudah. Namun airmata mama sudah cukup menggambarkan semua itu. Kini aku hanya ingin memastikan bahwa aku mempunyai seorang papa yang akan mendampingiku dalam acara pernikahan.

Di sini, di Bandara kami berdua sedang menanti kedatangan pria yang kami sangat rindukan dan hilang dari kehidupan kami hanya karena ego dari sebuah perbedaan. Dengan semua yang kutahu belakangan tentang papa , maka lengkaplah kebanggaanku tentang papa ketika mama berkata ” Sekarang mama sadar bahwa kemuliaan hatinya adalah cermin dari kemuliaan ajaran agama yang diyakininya. Mama sadar ,kita mengagungkan tentang cinta kasih sementara kita masih punya rasa benci. Kitalah sebetulnya jahat. Tidak ada yang salah dari agama papamu. Mamalah yang salah dari semua ini karena begitu saja larut bersama kebencian keluarga mama terhadap papamu... “

Demikian sebuah kejujuran terungkap setelah bertahun tahun , setelah kemarin mama menerima Aplop berisi semua tetang papa, akhirnya mamapun luluh untuk menerima kenyataan.

Dari speaker terdengar pengumuman kedatangan pesawat yang membawa papa kepada kami di sini. Jantungku berdetak kencang. Mama berkali kali memegang ujung tali tasnya. "Mama tetap cantik kok. Aku yakin , papa tetap mencintai mama" Kataku menghibur mama yang nampak gugup untuk menemui pria yang pernah bersemayam di hatinya.

Selang kemudian mama nampak tersenyum kearah seorang pria yang berjalan menuju kuridor kedatangan.. Pria itu berusia empat puluhan namun nampak lebih muda dari umurnya. Gagah sekali dengan setelan jas. Aku sempat ragu untuk mendekatinya. Ketika kulihat mama berjabat tangan dengan ragu namun senyum menghias di wajahnya. Begitupula pria itu. Mama melirik kearahku....” Bang, itu Lina...” Pria itu mendekatiku dengan seksama. Matanya memancar keteduhan yang sangat dan ada terselip kerinduan , kelelahan. Dia memberikan isyarat untuk memelukku dan entah mengapa dengan begitu saja aku menghambur dalam pelukannya...

” Papa...lina kangen papa...” Kataku dengan air mata berurai. Aku tahu papapun ingin menangis namun papa tetap tegar dengan airmata mengambang di pelupuk matanya. Tak ada kata kata yang keluar dari papa. Dia perhatikan dengan seksama wajahku. Aku tahu papa sangat merindukanku. dan akhirnya dia melepaskan pagutanku ” Papa juga kangen, sayang...Maafkan papa ya..”