Entah kenapa tergerak tanganku untuk menulis kisah ini. Apalagi ketika membaca cerpen kamu di blog, mungkin tak salahnya bila kisah ini dapat kau ketahui, apalagi dimuat di blog untuk berbagi hikmah. kisah ini tentang Bang Udin, yang kini dia adalah suami tercintaku. Belahan hatiku. Berawal dulu sekali ketika kali pertama aku bersua dengannya di Jakarta. Seperti biasanya malam minggu Bang Udin datang ke rumah kami. Rumah kami di kampung dengan Bang Udin bersebelahan. Ayah dan Bunda sangat senang bila dia datang berkunjung. Bagiku kedatangan Bang Udin adalah berkah tak terbilang. Karena banyak PR sekolah seperti matematika dapat dikerjakan dengan cepat olehnya. Kutahu dia sudah setahun tamat SMU namun tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Dia merantau ke Jakarta hanya bekal tekad.
Yang kutahu, dia harus bekerja membantu biaya rumah tangga orang tuanya di kampung. Yang bisa dia kerjakan hanyalah sebagai tukang jahit konpeksi. Belakangan Ayah mengingingkan dia tinggal di rumah untuk bekerja sebagai tukang jahit. Kebetulan rumah kami juga merangkap tempat konpeksi. Menurut ayah, memang pemuda kampung dididik oleh pamannya berbagai ketrampilan untuk bekal mereka merantau. Diantaranya ketrampilan menjahit, memasak dan bahkan perbaikan jam tangan. Di samping pendidikan agama melalui surau memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan remaja kampung.
Kuperhatikan , selama Bang Udin di rumah , dia sangat rajin bekerja. Seusai sholat subuh, dia mengepel lantai rumah dari belakang sampai di depan. Juga dilantai dua. Setelah itu, dia akan minum kopi barang sejenak. Dan dilanjutkan dengan menjahit. Dia baru akan berhenti setelah waktu sholat. Setelah selesai sholat dia akan kembali bekerja. Begitulah kesehariannya yang kutahu. Tapi, setiap malam setelah usai menjahit, kadang aku melihat Bang Udin masih asyik dengan membaca buku dan kadang menulis. Pernah aku tanyakan apa yang sedang dia lakukan. Bang Udin hanya tersenyum. Dan agak malu dia berusaha menyembunyikan buku dari hadapanku.
Ayah dan Bunda , sangat senang akan kehadiran Bang Udin di rumah kami. Dia sangat ringan tangan. Tak pernah menolak disuruh apapun. Sangat cepat bergerak dan selalu selesai dengan sempurna. Tidak sampai setahun di rumah kami, Bang Udin harus keluar rumah karena dia diterima di PTN. Dia memilih tinggal dekat dengan kampus. Menurut ayah kesehariannya dia membuka usaha photo copy dan restoran kecil. Memang dia pandai memasak.
Ketika Bang Udin tinggal di rumah , aku masih duduk di Madrasah Sanawiyah kelas 1. Dan ketika dia masuk PTN, aku kelas dua Madrasah Sanawiya. Sejak kuliah di PTN , Bang Udin jarang datang ke rumah kami. Namun bila dia datang ke rumah, selalu ada saja yang dia kerjakan. Dan tak lupa dia membantu ayah dikonpeksi untuk menjahit.
Tiga tahu setelah itu, ayah meninggal. Aku menjadi yatim. Harta dan usaha konpeksi diperebutkan oleh saudara laki lakiku. Awalnya mereka bersama sama mengelola usaha peninggalan ayah namun belakangan mereka berpisah. Bunda tidak bisa berbuat banyak ketika mereka minta harta ayah dibagi. Toko dikuasai oleh anak laki laki begitu juga dengan usaha konpeksi. Sementara aku anak perempuan satu satunya tidak mendapatkan apapun. Setelah rumah terjual, aku bersama bunda menumpang tinggal di rumah abang tertua. Dia,tidak mau menguliahkanku. Terpaksa aku bekerja di toserba. Pernah satu saat Bang Udin datang ke rumah abang tertuaku. Dia mengabarkan bahwa dia sudah selesai kuliahnya. Dia bekerja sebagai salesman. Sempat diolok olok oleh Abangku.
“ Tinggi kali kau sekolah Din, nyatanya jadi pedagang keliling juga kau”. Kata Abangku.
“ Aku sarjana ekonomi bang, Ya jadi sales lah.”
“ Kalau hanya jualan, ngapain kau sekolah tinggi tinggi. Tolol kau Din” Kata abangku. Tetapi Bang Udin diam saja. Sejak itu Bang Udin tidak pernah datang lagi.
Tak bisa kuceritakan lebih jauh betapa tertekannya hidupku dan bunda tinggal dirumah abang. Istrinya nampak tak berela hati menerima beban kami. Aku berusaha sabar. Tak ingin aku menuntut sesuatu yang menjadi hakku sebagai putri dari ayahku. Begitupula bunda , berkali kali memintaku bersabar. Karena sebaik baiknya tidak ber-abang akan lebih baik punya abang. Akan lebih terhormat bagi wanita bila tinggal di rumah abangnya sendiri. Aku berusaha untuk sabar dan sabar. Ketika sindiran yang menyedihkan dari kakak iparku, aku hanya bisa mengadu kepada Allah dalam tahajudku agar aku diberi kekuatan ketika aku lemah, diberi kesabaran ketika aku dizolimi. Tentu Allah akan menjagaku siang dan malam dari semua prahara yang datang kepadaku.
Aku yakin akan hal itu. Usiaku sudah 26 tahun, dan belum satupun pria yang datang melamarku. Namun aku tetap menjaga diriku dari pergaulan yang salah. Ingat akan pituah ayah, “ elok elok laku ya nak. Jaga pandangan matamu , jaga langkahmu, jaga auratmu, jaga semua, karena itu adalah amanah Allah kepada setiap perempuan untuk menjadi terhormat. Sekali kau abaikan salah satu itu maka rusaklah hidupmu. Perempuan itu seperti susu diatas belanga. Dia akan rusak karena nila setitik. Beda dengan pria yang tak nampak rusak walau banyak nila tertuang kedalam belanga.” Aku paham betul itu karena begitulah yang kupelajari di sekolah agama.
Di waktu luangku , kugunakan untuk bekerja di Panti Asuhan. Mendidik anak anak belajar mengaji dan matematika. Di tengah tengah para yatim lagi piatu itu, membuatku tak pernah berhenti bersyukur kepada Allah. Memang aku yatim namun tidak piatu. Aku masih punya bunda untuk ku berkeluh kesah dalam dekapan bunda. Ada kakakku walau kadang tidak membuatku nyaman namun aku dilindungi oleh mereka, tinggal di rumah mereka. Para yatim piatu itu hidup sendirian dibumi Allah. Kalaupun ada keluarga namun mereka tidak peduli. Karena pesan cinta Tuha yang mengharuskan manusia beriman untuk membantu orang miskin , yatim lagi piatu. Setengah gajiku kugunakan untuk anak anak yatim itu.
Suatu ketika ada pria gagah dengan pakaian rapi datang ketempatku kerja. Dan dia adalah Bang Udin. Dengan senyuman khasnya dia memandangku.
“ Lina “ Serunya.
“ Ya, bang. Abang sehat. Ada lebih 10 tahun ya bang kita engga ketemu. Abang kemana saja.”
“Alhamdulilah, sehat. Setelah setahun jadi sales di jakarta, abang pindah ke Riau. Dagang hasil bumi. Terus berkembang jadi eksportir. Setelah krismon 98 abang sama teman teman ikut lelang BPPN beli kebuh Sawit. Alhamdulilah. Terus berkembang. Kamu gimana kabarnya “
“ Aku juga sehat. “
“ Masih tinggal dengan Bang Farhan?
“ Yalah, kemana lagi mau tinggal.
“ Ya ya…”
“ Abang mau belanja apa ?
“ Abang ..abang…hem” nampak Bang udin seperti orang bingung
“ Ada apa bang ?
“ Tadi abang ke rumah Etek. Dia bilang Lina kerja di Toserba ini. Abang sengaja mampir mau ketemu lina." Aku melihat ada sesuatu yang tersimpan dalam pikiran Bang Udin, yang ingin dia sampaikan.
“ Oh, ya , Ada apa bang?
“Jam berapa lina istirahat ?
‘ Sebentar lagi. “
“ Ya sudah, abang tunggu diluar aja, ya”
Bang Udin langsung keluar sambil melempar senyum ke arahku, Aku bingung. Ada apa gerangan.
Ketika waktu istirahat. Bang Udin mengajakku makan di restoran yang terlekat di Mall itu.
“ Lin, “ seru bang udin” Ada rahasia yang harus aku buka kepadamu.”
“ Rahasia apa ? Aku berkerut kening.
“ Sebetulnya ayahmu melarang aku untuk mengatakan kepada siapapun. Tapi aku tak bisa menahannya. Karena ini sesuatu yang sangat berharga bagiku. Setidaknya memberikan contoh kepada ku dan juga kamu tentang nilai nilai kasih sayang” Kata Bang Udin. Terlalu berliku liku kata kata itu membuat aku bingun memaknainya.
“ Katakan kepadaku , kalau boleh, apa rahasia itu, bang?
Nampak bang Udin berpikir barang sejenak, Namun wajahnya tetap berhias senyum.
“ Kamu tahu , aku anak yatim di kampung. Sedari kecil aku dipelihara oleh pamanku di kampung. Mandehku juga miskin. Itulah sebabnya aku merantau ke jakarta untuk merubah nasip. Sebetulnya aku sungkan untuk datang menemui ayahmu karena kita bukanlah keluarga kandung. Namun sikap ayahmu begitu baik kepadaku. Hingga aku merasa punya orang tua sendiri. Dan ketika ayahmu mintaku tinggal di rumahmu, bertambah besar rasa syukurku kepada Allah. Makanya aku berusaha meringankan semua beban ayamu dan bekerja dengan ikhlas tanpa mengharapkan balasan apapun. “
“ Ya Bang , aku tahu itu. Karena begitulah sifat ayah. Bukan hanya abang yang diperlakukan seperti itu. Siapapun anak muda yang datang dari kampung asalkan masih ada kait mengkait hubungan keluarga maka akan ditampung dan dibinanya selayaknya anak kandung dia sendiri. “ Kataku.
“ Ayahmu menasehatiku untuk bersemangat meneruskan sekolah. Itulah sebabnya aku kembali menguatkan niat untuk kuliah. Benarlah ketika aku di terima di PTN, ayahmu ….” Bang Udin terdiam.
“ Kenapa ayah, bang..”
“ Ayah menanggung semua biaya masuk universitas. Setelah itu dia pula memberikan modal untukku membuka usaha photo copy dan restoran kecil agar aku bisa mandiri. “ Nampak bang Udin berlinang air mata ketika sampai pada kisah ini.
“ Lin, ayah melarang aku untuk menceritakan ini kepada siapapun. Tapi kamu sudah tahu. Semoga Ayah di alam baqa mendapat tempat sebaik baik disisi Allah. " Kata Bang Udin dengan airmata mengambang. Aku hanya terdiam namun larut dalam haru" Lin, setiap habis sholat aku tak pernah lupa barang sekalipun mendoakan ayah. Ayah sangat baik dan berhati mulia. Dia membantuku tidak berharap apapun kecuali ikhlas karena Allah. Itupula sebabnya mungkin dia tak ingin kebaikannya ini diketahui oleh siapapun.” Sambungnya.
“ Ya, bang..” Entah mengapa akupun tak bisa menahan airmataku jatuh. Aku ingat Ayah. Kemudian kami terdiam sejenak.
“ Lin,usia abang sudah kepala tiga. Pacarpun tak ada. Gimana dengan LIna ?
“ Sama bang. Aku engga ada pacar. Aku sibuk di samping kerja juga ngajar di panti”
“ Ngajar di Panti ?
“ Ya”
“ Ternyata air hujan jatuh kepelimpahan juga. Anak tak ubahnya dengan sifat orang tua. Selalu ingin berbagi dan memberi walau keadaan tidak lapang seperti orang lain.”
“ Ya , Lina hanya senang aja kalau ditengah tengah anak yatim. Senang melihat mereka belajar dan bercengkrama. dan Ayah pernah menasehati Lina agar dekatlah sama orang miskin, binalah mereka, lindungi mereka dan kasihi mereka karena itulah amanah Allah kepada orang beriman yang berlebih seperti kita ini , ya kan bang“
" Ya , benar, Lin. Itu juga nasehat yang pernah abang dengar dari Ayah. Terlalu banyak kenangan indah bersama Ayah. Ayah terlalu baik dan pemurah. Makanya rezekinya juga dimurahkan oleh ALlah.”
Usai makan di restoran itu. Kami berpisah.
Ketika aku sampai di rumah, nampak banyak orang berkumpul di ruang tamu. Di ruangan itu ada paman Bang Udin dari kampung, Bunda, Abang abangku dan juga para iparku. Aku diminta oleh abangku masu kamar dan tidak boleh keluar selama pertemuan berlangsung. Aku tidak tahu, ada apa gerangan?. Tak berapa lama , abang tertuaku datang ke kamarku bersama uni dengan tersenyum
“ Lin, usia kamu sudah 26 tahun. Sudah selayaknya kamu mendapatkan pasangan. “ kata abangku mulai bicara. “ Tadi paman si Udin dari kampung khusus datang untuk melamarmu jadi istri keponakannya. “
“ Bang Udin” kataku setengah tidak percaya
“ Ya , Si Udin yang inginkan kamu jadi istrinya. Apakah kamu bersedia…?”
Aku hanya terdiam. Terbayang olehku wajah bang Udin tadi ketika bercerita tentang Ayah. Teringat doa siang malam kunpanjatkan kepada Allah agar aku mendapatkan pria bergama , cerdas dan pekerja keras. Kini Pria itu datang khusus kepadaku untuk melamarku. Tidak pernah terbetik barang sedikitpun di hatiku bahwa Bang Udin akan menyukaiku. TIdak pernah. Apalagi aku hanya wanita yang tak pernah mengecap bangku kuliah dan Bang Udin sudah pula Sarjana dan kini jadi pengusaha tergolong sukses. Hubungan kami selama ini seperti kakak adik yang saling menjaga. Tak pernah menjalin hubungan istimewa layaknya orang pacaran. Namun inilah kehendak Allah.
Ketika usai resepsi pernikahan, Aku diboyong bang udin ke rumah yang baru dibelinya. Bunda diajaknya pula bersamaku. Kasih sayang bang Udin kepada bunda sangat berlebih layaknya ibu kandung. Berbeda sekali dengan perlakuan dari abang abangku kepada bunda. Dari kehidupanku, aku mendapatkan hikmah yang teramat luas bahwa berkat kasih sayang yang ikhlas diberikan oleh Ayahku kepada siapapun ternyata berbuah kepadaku, putrinya dan tentu amalan itu akan terus mengalir kepada ayah di alam Baqa. Setiap kebaikan yang ditanam maka kebaikan pula yang akan datang, kini atau besok pasti berbalas, Allah maha benar dengan segala janjinya. Kini aku dan Bang Udin sudah menjadi orang tua dari kedua anak kami. Tentu teladan dari Ayah akan abadi dihati kami dengan tak pernah ragu untuk berbuat kepada siapapun yang miskin , yatim dan piatu, dan berkorban untuk mereka tentunya.
No comments:
Post a Comment