Thursday, February 6, 2025

Ambisi Prabowo : 8% pertumbuhan ekonomi?

 



Prabowo berniat mendongkrak pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Padahal IMF dan Bank Dunia memprediksi pertumbuhan lima tahun ke depan akan stuck di 5%. Apakah mungkin ? tanya teman. Dalam konteks politik, apa yang menjadi tekad Prabowo itu masuk akal. Karena kita punya sumber daya besar. Namun dalam konteks ekonomi makro, ya sesuai dengan prediksi IMF yaitu sulit mencapai diatas 5%.  


Apa yang dimaksud dengan Politik?   Masalah ekonomi kita itu dibebani ongkos politik yang sangat besar dan tidak efisien. Sumber masalah adalah korupsi. Korupsi bukan hanya pada tatataran belanja tetapi juga mind corruption dalam program yang penuh rente : mark up, mengada ada dan absurd, bias yang berujung turunnya tax ratio. 


Contoh sederhana dan vulgar yaitu tingginya Incremental Capital-Output Ratio (ICOR). Dalam 10 tahun kepemimpinan Jokowi, ICOR berada di level 6,9. Bandingkan di ASEAN rata rata hanya 4. ICOR yang tinggi itu menunjukan besar nya beban ekonomi dalam system kekuasaan di Indonesia. Law enforcement engga jalan. Dan itu pasti by design. Karena tanpa kekuatan politik tidak mungkin terjadi pembiaran yang sehingga index korupsi memburuk. Dampaknya  index Pembangunan Manusia (IPM) yang juga rendah dibawah rata rata negara G20.


Mari kita hitung  kasar aja. Era Jokowi, untuk menaikkan 1 unit output diperlukan investasi sebesar 6,9 unit (ICOR). Nah bila Prabowo berniat mendongkrak pertumbuhan 8% dari PDB, maka diperlukan investasi sebesar  Rp. 12.000 triliun (8 % x Rp. 22.000 triliun)x 6,9. Padahal APBN kita hanya Rp. 3.600 triliun. Apa mungkin dapatkan tambahan investasi sebesar  Rp 8.400 triliun di luar APBN ditengan situasi likuiditas ketat dan  ekonomi global yang suram?


Jadi bagaimana solusinya? Ya kalau secara ekonomi tidak bisa dilakukan. Maka lakukan secara politik. Tentu caranya harus beda dengan era Jokowi. Engga bisa lagi ada istilah keberlanjutan. Jadi caranya ? Ya lewat politik anggaran. Lakukan efisiensi total. Karena sifatnya politik, kan engga bisa dilakukan secara revolusi. Maklum,  birokrasi di Indonesia bekulindan dengan politik. Bukan rahasia umum bila banyak eselon 1 di Kementerian dan PEMDA adalah orang partai. Harus prudential. Ya Awali dengan memotong anggaran Birokrasi dan perkuat aparat hukum. Setelah itu barulah memangkas anggaran proyek yang tidak efisien.


Kalau dalam dua tahun kekuasaan Prabowo bisa tekan ICOR menjadi 4 saja. Maka penghematan investasi bisa mencapai Rp 5000 triliun pertahun. Artinya untuk mencapai pertumbuhan 8% hanya perlu investasi Rp. 8000 triliun/tahun. Kalau dikurangi APBN sebesar Rp. 3.400 triliun. Hanya perlu Rp. 4.600 triliun diluar APBN. Jumlah itu sangat mungkin kita dapat di luar APBN. Apa saja sumber daya keuangan yang memungkinkan target pertumbuhan itu bisa dicapai ?


Pertama. Perhatikan data. Pada tahun 2023, rasio kredit perbankan terhadap PDB di Indonesia adalah sekitar 33,72%. Bandingkan dengan Singapore mencapai Rp 150%. Artinya masih ada ruang sebesar 60% lebih dari PDB atau sebesar Rp. 12.000 triliun.  Belum lagi skema SWF dari INA yang didukung Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Yang memungkinkan berkembangnya sekuritisasi sumber daya.


Kedua. Adanya goncangan geopolitik antara China dan AS, akan mendorong relokasi industry ke negara yang tidak terkena kebijakan tarif tinggi dari AS. Ya Indonesia salah satunya akan menjadi negara tujuan relokasi industry China. Potensi FDI downstream mineral tambang dan agro terbuka lebar.


Ketiga. PSN yang belum direalisasikan sangat besar nilai investasinya. Tidak perlu ada studi lagi. Tidak perlu ada dana pendamping. Tinggal evaluasi skemanya dan arahkan 100% B2B. Lakukan tender investor, bukan tender kontraktor yang rente. Contoh, proyek IKN, Jangan lagi dari APBN. Tetapi arahkan 100% B2B atau KPBU. Itu akan cepat mendatangkan investor institusi semacam family office.


Dengan tiga alasan tersebut diatas, tidak perlu ragu akan pertumbuhan ekonomi 8%/tahun. Tentu syarat dan ketentuan berlaku. Apa itu? Ya Prabowo harus berani bertindak secara politik melawan oligarki penyebab tingginya ICOR dan rendahnya Tax ratio. Karena ini penting untuk meningkatkan trust dimata investor institusi dan pasar. 


Namun juga harus diiringi dengan kecerdasan memitigasi resiko poltik akibat kebijakan politik anti rente itu. Kan oligarki itu pasti melawan. Apalagi sebagian besar anggota kabinet sekarang ex rezim Jokowi. Teman mereka banyak di pemerintahan, TNI, POLRi, KPK dan Partai. Engga mudah memang. Sanggupkah Prabowo menghadapi mereka ? Saya hanya bisa berdoa semoga YMP tetap sehat dan tenang menghadapi segala goncangan. Ingat pak syair Chairil Anwar. " Sekali Berarti Setelah itu Mati."

Monday, February 3, 2025

Layak kah BPI Danantara?

 




Akhir  pekan minggu lalu berlangsung Rapat antara Pemerintah dan DPR membahas rencana pengesahan RUU BUMN. Selasa besok (4/2) akan disahkan dalam Rapat Pleno. Cepat dan kilat. Di era Jokowi 10 tahun RUU BUMN tidak kelar. Tapi di era Prabowo hanya perlu waktu sebulan Panja dan langsung masuk Pleno. Keren. Yang menarik dalam perubahan ke tiga UU BUMN ini adalah dengan adanya pasal BPI Danantara. Yang tadinya sempat tertunda pengesahannya. Tapi dengan adanya UU BUMN yang baru, tidak ada alasan lagi BPI Danantara tidak jalan. 


Yang jadi pertanyaan adalah, apakah pendirian BPI Danantara sudah sesuai dengan agenda Prabowo ? Yaitu sebagai financial resource diluar APBN untuk menggerakan investasi agar pertumbuhan ekonomi bisa 8%, melalui sekuritisasi Asset BUMN. Mari kita analisas rasionalitas nya.


Pertama. Total asset BUMN ( data 2023) sebesar Rp. 10.400 triliun. Harus dicatat juga bahwa asset sebesar itu adalah asset revaluasi. Tida terkait dengan likuiditas.Sementara utang Rp6.957,43 Triliun berhubungan langsung dengan likuiditas. Kalau dikurangi Asset dengan utang. Net asset hanya RP. 3.443 triliun.  Net asset sebesar itu kalau disekuritisasi berdasarkan risk management rasio, maksimum hanya 30% saja atau kurang lebih Rp 1000 triliun yang bisa dileverage.  Sementara untuk mencapai pertumbuhan sebesar 8% perlu dana investasi Rp 13.000 trilun. Artinya useless BPI Danantara.


Kedua. Berdasarkan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, saham pemerintah pada BUMN itu adalah BMN ( barang milik negara). Engga bisa disekuritiasi tanpa melalui mekanisme UU itu. Sementara berdasarkan RUU BUMN, Kekuasaan BPI Danantara dibawah Meneg BUMN. Artinya tidak mengubah struktur system perbendahaan negara. Dimana Menteri Keuangan sebagai beneficiary owner saham BUMN.


Misal, BPI Danantara berencana create structure fund lewat penerbitan surat utang dengan jaminan saham BUMN, prosesnya harus izin dari Menteri keuangan. Nah karena kita menganut cashBasic dalam system perbendaharaan negara. Kalau diizinkan maka itu masuk skema PMN ( Penyertaan Modal negara). Timbul resiko. Structure fund ini diluar APBN akan sulit bisa dikendalikan disiplinnya, bahkan bisa menimbulkan moral hazard seperti kasus skandal MD1 Di Malaysia.


Ketiga. Sekuritasi Asset BUMN lewat BPI Danantara tidak akan efektif sebagai financial resource, bahkan membuat ketidak pastian terhadap surat utang negara.  Ini akan memperlebar rasio utang pemerintah terhadap PDB dan mengurangi value SBN-SUKUK Syariah yang juga menggunakan asset BUMN sebagai underlying. Menteri keuangan tahu pasti soal ini. Dan pasti tidak mudah mengizinkan setiap rencana sekuritasi Asset BUMN. Karena sudah dikunci oleh UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara


Saya menduga duga, agenda pendirian BPI Danantara datang dari para oportunis yang ada di cabinet dan DPR, dengan tujuan memberikan solusi pembiayaan kepada presiden. Namun sifat nya Asal Bapak Senang.  Tidak ada pertimbangan rasional dan akademis yang bisa menjamin agenda mendatangkan investasi besar untuk mendukung pertumbuhan 8%. Kesannya lebih kepada usulan too good to be true, yang akhirnya memakan ongkos APBN juga.


Saran saya.

Sebaiknya focus saja kepada keberadaan INA yang sudah punya landasan hukum independent dan  kuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Mengapa ? keberadaan INA tidak bertentangan dengan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Namun memang caranya tidak mudah. Karena prinsip dari INA adalah bukan sekuritisasi asset BUMN atau BMN tetapi sekuritisasi sumber daya yang bersifat thematic dan sophisticated. Itu diperlukan skill financial engineering untuk menciptakan produk investasi berbasis sumber daya. 


Sekuritisasi sumber daya itu rumit namun punya dasar hitungan quantitave yang terukur. Salah satu caranya? Langkah pertama adalah mengindentifikasi sumber daya seperti cadangan Mineral tambang,  Oil and gas, Hilirisasi SDA, potensi belanja domestic, credit carbon dan lain lain. Tahap kedua adalah valuasi sumber daya itu lewat monetisasi. Tahap ketiga, agar jelas akuntable nya sebagai project directive, dirikan SPV  sesuai dengan thema penerbitan surat utang. Misal, INA-Infrastructure fund. INA-Downstream Industry fund, INA-Housing development program dan lain lain. Untuk support pembiayaan PEMDA, bisa terbitkan INA-Local Government Vehicle financing Fund.


Apakah mungkin? Sangat mungkin. Karena sumber pembayaran surat utang itu adalah proyek itu sendiri. Market marker nya adalah INA sendiri. Artinya likuiditas dijamin INA. Kalau kapitalisasi surat utang Rp. 10.000 triliun. Hanya diperlukan 1% jaminan likuiditas. Modal INA yang sudah disetor negara mencapai USD 5 miliar atau Rp.81 triliun. Itu sudah cukup untuk leverage sebesar Rp. 10.000 triliun. Tentu dengan syarat ada jaminan transfaransi, akuntable dan tingkat  kredibilitas  yang tinggi dari pengelola INA. 


Singkatnya reputasi direksi INA itu level nya udah world class Banker, seperti pengelola SWF Temasek dan Abudhabi. Jadi lebih baik optimalkan INA daripada bentuk BPI-Danantara. Nah yang perlu dilakukan kalau ingin mendatangkan investasi untuk mencapai pertumbuhan 8% lewat sekuritisasi, perbaiki direksi dan SDM INA. Pilih mereka yang qualified dan ahli dalam hal strategi sekuritiasi sumber daya.