Tuesday, November 2, 2021

Bisnis PCR memang menggiurkan


 


PCR digunakan untuk mendiagnosis penyakit Covid-19, yaitu dengan mendeteksi material genetik virus Corona, meski tak sepenuhnya akurat. Pentingnya test  PCR (Polymerase Chain Reaction) bagi orang yang menggunakan transportasi publik lewat  jalur darat, laut dan udara di jawa dan Bali agar memastikan tidak terjadi penularan COVID-19 akibat pergerakan manusia. Ketentuan test PCR itu dibuat oleh pemerintah. Karena ketegasan atas aturan itu maka lambat laun jumlah kasus COVID-19 berkurang. Dan kini kita diakui dunia sebagai negara yang dianggap berhasil menekan kasus COVID-19. 


Namun pemerintah hanya mengeluarkan aturan wajib test PCR. Sementara pengadaan PCR diserahkan kepada swasta dan dilakukan dengan prinsip bisnis, namun tarif tertinggi ditetapkan oleh pemerintah. Hal tersebut tercantum dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor: HK.02.02/I/2845/2021, yaitu maksimal Rp 495 ribu untuk wilayah Jawa-Bali dan Rp 525 ribu untuk di luar Jawa-Bali yang berlaku mulai 17 Agustus. Pada Oktober 2020, pemerintah menetapkan harga PCR seharga Rp 900 ribu. 


Apakah harga itu kemahalan? Kalau mengacu harga maksimal tahun 2020, data Indonesia Corruption Watch menunjukkan, harga PCR Indonesia (Rp 900 ribu) lebih mahal daripada di Malaysia (Rp 509 ribu), Sri Lanka (Rp 470 ribu), Vietnam (Rp 470 ribu), dan India (Rp 96 ribu).  Setelah harga diturunkan menjadi Rp 495 ribu pun, harga PCR di Indonesia masih lebih mahal daripada Sri Lanka, Vietnam, dan India. Namun apakah setelah harga turun, penyedia rugi? Tidak. Business Development Manager Helix Laboratorium Fitri Evita mengaku Helix tidak mengalami kerugian ketika pemerintah memutuskan menurunkan harga PCR dari Rp 900 ribu menjadi Rp 495 ribu. 


Secara bisnis, penjual PCR tidak akan rugi walau harga turun sampai Rp. 275.000. Mengapa ? Apalagi katanya harga impor reagen hanya Rp. 13.000. Jadi selama ini yang bikin harga itu tinggi karena business process jasa PCR. Itu mencakup biaya alat pelindungi diri (APD) dari perawat atau petugas laboratorium yang mengambil sampel, biaya swab stick, alat pelindung diri (APD), biaya jasa dokter, dan sebagainya. Jadi semua lini kebagian cuan dari adanya ketentuan PCR ini. Apakah menggiurkan bisnis pengadaan alat test PCR ini? Woh luar biasa. Mari lihat datanya.


Menurut Badan Anggaran (Banggar) DPR RI perhitungan kasar gurita bisnis tes PCR, potensi omzetnya mencapai Rp800 miliar sampai dengan Rp1,6 triliun dengan kebutuhan alat 2,8-5,6 juta per bulan. Hitung aja berapa setahun. Data dari Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat nilai impor reagen ( alat test PCR) hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp2,27 triliun melonjak drastis dibandingkan dengan bulan Juni senilai Rp523 miliar.  Sebagian besar atau 2/3 di impor dari China. Jadi anda bisa hitung berapa besarnya cuan dibalik jasa PCR ini. Ini bisnis mudah. Karena pasar terbentuk akibat regulasi.


Makanya wajar saja bila beberapa pengusaha menjadikan ini peluang bisnis meningkatkan uang mereka di brankas. Salah satunya adalah PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Menurut Juru Bicara Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, pemegang saham GSI ada 9. Diantara 9 pemegang saham itu ada nama Toba Bumi Energi ( Pemegang sahamnya LBP). Ada juga Kakaknya Eric Thohir melalui Yayasan Adaro. Ada juga ketua KADIN, Arsjad Rasjid  melalui Yayasan Indika.  Ada juga Patric Walujo, dari Northstar. Petric Walujo sendiri adalah menantu dari  T.P. Rachmat, boss Astra.


Saya tidak melihat bisnis PCR ini salah. Karena memang dibutuhkan untuk standar kepatuhan kesehatan sesuai aturan pemerintah.  Tidak melibatkan APBN. Yang jadi masalah adalah mengapa baru sekarang diketahui mereka yang terlibat dalam bisnis PCR itu adalah mereka yang punya akses kepada kekuasaan? Kalaulah dari awal disosialisasikan kepada publik dasar mereka terlibat, tentu tidak akan ada masalah. Kalau baru bicara setelah Pak Jokowi geram dan paksa harga PCR turun, apapun dalihnya sulit diterima dengan standar moral dan etika. Apalagi sebelumnya masyarakat merasa dirugikan adanya ketentuan PCR dengan ongkos yang mahal itu.

No comments: