Sunday, November 21, 2021

Prahara ekonomi, hanya masalah waktu.

 




“ Hampir semua produk China harganya naik. Padahal ekonomi china sedang melambat. Di tandai dengan Purchasing Manager's Index (PMI) Maufaktur bulan oktober yang turun dari 49,2 poin, dari bulan sebelumnya 49,6. Ada apa ? tanya saya kepada teman di China. Menurut teman, pertama karena on schedule terhadap program jangka panjang China dalam kemandirian industri. Tahun ini pemerintah China mulai mencabut subsidi atas industri hulu. Tentu berdampak harga di hilir jadi naik. Kedua. Pada waktu bersamaan terjadi krisis energi. Itu juga semakin mendorong harga naik. 


Dengan situasi tersebut diatas, kan bisa berdampak kepada stagflasi. Produksi jatuh, tetapi harga naik. Lihat aja data. Badan Statistik Nasional China menyatakan pada Oktober 2021 Indeks Harga Produsen atau Producer Price Index (PPI) melonjak 13,5%. Hal ini menjadi penanda bahwa angka inflasi di China melonjak ke level tertinggi sejak 26 tahun lalu. Danpaknya bukan hanya dalam negeri china tetapi juga global. Maklum China adalah negara yang 20% menjamin supply chain dunia. Inflasi di Eropa dan AS sudah mulai merangkak naik. Para importir dan distributor mengurangi pembelian dari China. Barang di pasar retail jadi berkurang. Hanya masalah waktu akan merambat ke Indonesia dan negara ASEAN lainnya.


Bagaimana dengan sektor pasar uang dan modal? tingginya tingkat inflasi di tengah krisis energi dan rantai pasok akan memicu kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral, lebih cepat dari prakiraan awal. Setelah itu, yield pada pasar obligasi dunia akan naik sehingga bisa memicu capital outflow dari pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Inilah yang akan menjadi gelombang ganas ekonomi. Mengapa ? karena berkaitan dengan produksi. Berapapun uang di tangan, kalau produksi turun, engga ada lagi siasat moneter mengatasinya. Mau engga mau uang harus mengikuti harga.


Bila selama ini  likuiditas banjir di pasar modal yang dipicu pemodal asing. Sehingga mendorong bubble value. Kelak akan terkoreksi dengan sendirinya. Para emiten harus menghadapi realita. Berproduksi namun laba turun atau  mengurangi kapasitas produksinya, PHK melanda. Mengapa ?


***


Karena peningkatan ekonomi dunia selama ini tidak menciptakan keseimbangan ekonomi. Distribusi modal timpang. Euforia bisnis digital mendorong investor membelanjakan uang untuk infrastruktur big data berupa data center, jaringan fiber optic, ekosistem bisnis. Padahal bisnis digital membutuhkan listrik sangat besar. Sementara investasi pendukung berupa listrik tidak meningkat significant. Karena alasan ecogreen. Mengurangi efek rumah kaca atau pemanasan global dengan beralih dari energi fosil ke energi ramah lingkungan. Kembali ke energi fosil tentu bukan masa depan yang bagus bagi bumi. Dampak perubahan iklim sangat mengerikan bagi penduduk planet bumi.


Apa yang terjadi sekarang, sebetulnya pengulangan dari era sebelumnya. Hanya tingkat kerusakannya semakin lama semakin besar. Tahun 2000, survei dari business week memperlihatkan bahwa 72% masyarakat Amerika merasa corporates terlalu menguasai hidup mereka. Angka ketergantungan kepada korporat itu sekarang mungkin meningkat jauh lebih tinggi lagi. Sementara fundamental korporat menyimpan kanker. Lemah. Sama seperti valuasi berlebihan  terhadap saham bisnis digital, tindak penyelewengan korporatis lewat window dressing dan transfer pricing. Praktek merger dan akuisisi dengan motivasi menyingkirkan saingan, sebagian lagi berharap mendapatkan pembaharuan keuntungan dari suatu proses mistis yang disebut ‘sinergi’ ini. Pada kenyataannya, banyak merger berakhir dengan hanya konsolidasi pembiayaan semata tanpa menambah laba.


Dengan margin  laba menjadi kurus, maka kelangsungan hidup mereka semakin bergantung pada pembiayaan bursa dan perbankan, yang selalu dilonggarkan oleh otoritas. Beberapa perusahaan yang sulit menunjukkan prospek, beralih ke jalur ‘mendapatkan dana sekarang dengan menjual janji di masa depan’, suatu praktek yang dikuasai sangat baik oleh para manajer investasi di sektor decacorn, high-tech. Ini adalah suatu teknik yang nampak inovatif, tapi sejatinya adalah teknik perdagangan yang bertumpu pada ilusi. Teknik inilah yang mengakibatkan melangitnya nilai share saham di sektor IT. Meski sebenarnya mereka kehilangan hubungan dengan realita.


Beberapa perusahaan lain yang baru berproduksi, kehilangan segala kontaknya pada industri dan beralih strategi berusaha menggelembungkan harga saham untuk memberi jalan bagi para kapitalis ventura (venture-capitalist) dan manajer investasi yang punya akses dan pilihan untuk melakukan pembunuhan sejak awal IPO. Dan setelah itu emiten ditinggalkan sekarat. Kalaupun bertahan, hidup dalam kegenitan akuntasi. Yang sebenarnya hanyalah suatu trik untuk menyingkirkan biaya dan hutang dari neraca. Adalagi cara yang lebih kasar, misalnya menyamarkan biaya sebagai investasi atau kerugian ke dalam hutang.


Lantas apa penyebabnya? itu karena sistem ekonomi yang memanjakan sektor privat. Sehingga sangat mudah menjebol fire wall antara manajemen dengan dewan pemegang saham, antara analis saham dengan pialang saham, antara auditor dengan yang diaudit. Karena sama-sama dirundung oleh bayang-bayang keruntuhan ekonomi serta menipisnya pendapatan bagi semua pihak, maka baik para pengawas maupun yang diawasi memainkan pretensi  seolah-olah dikendalikan sistem check and balance. Dan bersatu untuk menciptakan ilusi kekayaan, dengan tujuan mempertahankan selama mungkin skema ponzy korporat. Sampai akhirnya runtuh sendiri. Keadaan euforia kini hanya masalah waktu akan jadi killing field dan memaksa negara bailout.


Pusat persoalannya adalah pada dinamika sistim kapitalisme global yang dinakhodai sektor finansial tanpa regulasi. Persoalan ini tak bisa dilenyapkan hanya dengan pernyataan kebaikan seperti: ‘tak ada kapitalisme tanpa nurani’ atau penyelesaian usang seperti: ‘good corporate governance.’  Sementara diwaktu yang sama, elite financial capitalist mengatur seenaknya on/off likuiditas. Mata uang akan merosot karena inflasi dan lubang bubble investasi  makin menganga. Paduan antara krisis ekonomi struktural dengan krisis legitimasi kapitalisme neo-liberal ini, jelas menjanjikan masa depan yang buruk. Semoga ada perubahan menuju keseimbangan baru, yang lebih arif.

No comments: