Wednesday, November 24, 2021

Sistem ekonomi dan moral?

 




Ada teman yang suka sekali membahas berbagai issue politik dan ekonomi berhubungan dengan teori konspirasi tentang kapitalisme yang dikuasai oleh eite financial global. Walau didukung referensi hebat,  namun menurut saya referensi itu juga berkaitan dengan teori konspirasi. Jadi berputar putar tentang teori dengan dukungan data cocoklogi. Mau bantah gimana? lah wong teori kok. Kan semua tahu. Kalau teori tidak selalu benar. Sama juga dengan dalil agama.  Yang punya dalil merasa benar. Karena punya referesi kuat tentang Al quran dan hadith. Padahal itu hanya cocoklogi saja. Engga perlu debat. Engga ada manfaatnya.


Mengapa saya katakan kecurigaan itu hanya sebatas teori?. Karena capitalisme itu terjadi akibat proses sejarah yang panjang. Tidak datang mendadak. Kapitalisme itu hadir dengan  berbagai solusi atas terbatasnya sumber daya ditengah semakin besarnya jumlah penduduk planet bumi dan meningkatnya kebutuhan dan keinginan masyarakat modern akan barang dan jasa. Apalagi karena zaman, hidup semakin rumit. Perubahan terus terjadi dan terjadi. Jadi engga bisa sesederhana itu menyimpulkan bahwa apa yang terjadi itu by design. Dengan menyalahkan segelitir orang yang menguasai sumber daya keuangan.


***


Ketika kebutuhan semakin besar, orang banyak bingung. Peran negara begitu besar menghambat produksi, distribusi barang dan jasa. Alasan pemerintah melindungi rakyat sebagai konsumen,  justru yang terjadi adalah distorsi terhadap dunia usaha. Produksi jadi rendah. Distribusi terhambat. Padahal dunia usaha itu menghadapi ketidak pastian dan resiko. Di tengah kebingungan itu, tampilah Adam Smith memberikan solusi. "The Theory of Moral Sentiments" (1759) and "An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations" (1776). Dia membujuk pemerintah. “ Jangan terlalu diatur perdagangan. Bebaskan saja. Yang perlu diawasi itu kompetisinya. Jangan saling mematikan. Dengan perdagangan lancar, ekonomi akan beres. Negara juga yang dapat manfaat.


Selama 1 abad perdagangan lancar, ekonomi tumbuh melahirkan kemakmuran, tetapi ternyata menimbulkan ketimpangan sosial dunia.  Kemakmuran terjadi. Tetapi hanya di Barat dan AS. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin blangsat. Kalau tidak ada solusi maka akan berdampak chaos sosial. Makanya tampillah, David Ricardo. Dia bukan hanya ekonom hebat  tapi juga trader di London Stock Exchange. Dia tetap mendukung kebebasan pasar namun keadilan sosial mutlak ada. Caranya? lewat kebijakan politik tentang pajak. Solusi itu dia tuangkan dalam buku, Principles of Political Economy and Taxation" (1817).


Setengah abad kemudian, keadaan masyarakat semakin rumit. Orang bertambah banyak. Beragam industri dan jasa tumbuh. Walau perdagangan bebas dan pajak diterapkan namun pemerintah tidak bisa mengukur dengan pasti setiap kebijakan itu berdampak secara mikro, Maklum Adam Smith dan Ricardo lebih banyak berfilsafat dan berretorika dengan dasar asumsi asumsi ideal. Padahal hidup tidak ideal. Dalam kebingungan itu tampil Alfred Marshall. Dia berusaha menghindari ekonomi dalam ranah politik. Bukunya yang terkenal adalah Economics of Industry" (1879) dan "Principles of Economics" (1890), merupakan gabungan dari supply and demand curva, marginal utility dan marginal production. Sudah matematika pendekatannya.


Setengah abad berlalu, terjadi great depression. Pasar uang dan modal rontok, PHK terjadi dimana mana. Produksi drop terlalu dalam. Kembali orang bingung. Gimana mengatasinya? Tampillah LGBPT yang nyentrik, Keyness. Dia bicara tentang perlu pasar regulated. Harus ada intervensi Pemerintah terhadap pasar. Itu yang diterapkan oleh Obama dan Trump ketika sebagai presiden AS.  Pemikirannya tentang pasar regulated itu dituangkannya tahun 1935 dalam Buku, ”General Theory of Employment, Interest and Money”


Seperempat abad berlalu, orang kembali bingung. Apa pasal.? Uang hanya menumpuk di negara maju. Sementara sumberdaya ada di negara miskin dan berkembang. Apa arti uang kalau sumber daya tidak ada. Sebaliknya apa arti sumber daya kalau uang tidak ada. Nah ini dijawab oleh Milton Friedman. Dia bilang” Kalau ingin distribusi modal dan sumber daya terjadi merata. dan kemakmuran meluas, pertumbuhan berkelanjutan, ya pemerintah jangan mengatur. Biarkan saja semua proses terjadi atas dasar kebebasan. Yang penting dari keuntungan dunia usaha itu negara bisa dapat pajak untuk melakukan intervensi sosial.” Idenya itu dia tulis tahun 1962 dalam buku yang terkenal "Capitalism and Freedom”.


Nah kalau ada pengamat yang menentang pasar bebas, sebenarnya tidak setuju dengan pemikiran Friedman, tetapi dia copy paste pemikiran Keyness. Itu pernah diterapkan oleh Soeharto. Apa yang terjadi? Begitu besarnya peran pemerintah. Hasilnya KKN. Keyness gagal, bukan hanya di Indonesia tetapi di negara lain juga. . Justru karena gagal maka  tampilah Friedman. China terinspirasi terhadap kapitalisme ketika Friedman berpidato di hadapan petinggi partai komunis. Belum 50an tahun China reformasi, kini telah jadi kekuatan ekonomi nomor 1 dunia. 800 juta rakyat lepas dari kemiskinan akut/ Jadi kalau ada pengamat bicara berbusa tentang keadilan sosial atas kebijakan ekonomi Jokowi dengan menjejalkan teori konspirasi yang menakutkan, sebenarnya hanya mengulang retorika Keyness. 


***


Jadi apa sebenarnya solusi terhadap kapitalisme ? Albert Hirschman mengeritik Milton Friedman dalam esainya, Against Parsimony: Three Easy Ways of Complicating Some Categories of Economic Discourse: ketika kapitalisme bisa meyakinkan setiap orang bahwa ia dapat mengabaikan moralitas dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri, sistem itu akan menggerogoti vitalitasnya sendiri. Sebab vitalitas itu berangkat dari sikap menghormati norma-norma moral tertentu. Apa yang diungkapkan oleh Hirschman sejalan dengan pemikiran Adam Smith, dalam bukunya The Theory of Moral Sentiment. Ia tidak menganggap kehidupan bersama adalah sesuatu yang hanya dibentuk oleh Pasar, oleh kepentingan diri dan motif mencari untung. Smith,  juga berbicara tentang perlunya perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan semangat kebersamaan.


Kini memang terbukti: Pasar yang hanya mengakui bahwa rakus itu bagus seperti yang dikumandangkan oleh risalah macam The Virtue of Greed dan In Defense of Greed pada akhirnya terguncang oleh skandal Enron, Madoff, Lehman Brothers. dan lain lain. Tapi itu juga terjadi dalam simbol agama untuk meraih untung. Kepercayaan runtuh, kita bertanya apakah belum cukup bukti bahwa kapitalisme sudah salah jalan. Idiologi ini memberikan ruang kebebasan namun kebanyakan kita melupakan esensi moral yang harus diemban dan soal ini Milton Friedman, telah keliru bukan karena Smith salah. Ia sendiri yang keliru memahami persepsi  Smith tentang kapitalisme.


Sebagaimana dicatat oleh sejarah,  kapitalisme tak muncul sebelum ada sistem hukum dan praktek ekonomi yang menjaga hak milik dan memungkinkan berjalannya perekonomian yang berdasarkan kepemilikan.  Adalah salah besar menempatkan hukum kapitalis semata untuk memastikan “bujuk orang kaya dengan bunga tinggi dan biarkan orang miskin bekerja keras dengan upah rendah agar mereka terus tergantung dengan modal. Ini salah. Atau mendapatkan laba sebesar besarnya dengan pengorbanan sekecil mungkin. Itu juga salah. Siapapun berada didalam system kapitalisme dan mampu menerapkannya secara ideal , maka dia sebetulnya tidak pernah kehilangan esensi moral didalam hatinya. Orang sukses karena kerja keras dan moral selalu berujung kepada tanggung jawab moral kepada orang banyak. 


Itulah sebabnya  pada 9 Desember 2010, atau dua tahu setelah Lehman Brothers tumbang dan wallstreet  terjerembab, Gates, Warren Buffett, dan Mark Zuckerberg (CEO Facebook) menandatangani janji yang mereka sebut "Gates-Buffet Giving Pledge". Isinya adalah mereka berjanji untuk menyumbangkan setengah kekayaan mereka untuk amal secara bertahap. Mereka tumbuh dan mendulang sukses akibat kapitalisme seperti yang smith ajarkan tentang  perlunya perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan semangat kebersamaan.  Dengan sikap mereka itu , mereka bukan hanya memaknai bahwa sukses  harus diraih dengan kerja keras tapi bagaimana mempertanggung jawabkan kesuksesan itu untuk sesuatu yang lebih bernilai, dan ini hanya mungkin dengan konsep memberi. Seperti ungkapan Curchil “We make a living by what we get. We make a life by what we give.”. 


Semua agama mengajarkan ini , namun tidak semua orang beragama mampu melakukannya. Jadi bukan soal sistem ini atau itu, bukan soal agama ini atau itu tapi  tergantung akhlak orang yang menjalankannya, bahwa rakus itu buruk, berbagi itu indah dan menentramkan..


***


Bahwa masa depan tidak mencuatkan paralelisme antara ruang, jarak, dan waktu. Tentu masa depan bukan reproduksi kehidupan kelampauan dan ke-masa-mendatangan yang unpredictable. Bagaimanapun masa depan merupakan kausalitas perjalanan tentang substansi ''keberadaan'' (eksistensi) dan beraktualisasi tentang hidup itu sendiri. Pun rekonseptualisasi mengenai masa depan, tiadalah nilai kesejarahan hidup masa silam yang diterima. Sebagai masa depan, manusia dituntut -mengutip Dr Zhivagonya dalam novel Boris Pasternak- untuk membentuk kembali hidup. 


Itulah yang dilakukan oleh mereka yang meng “nol” kan dirinya untuk memulai sesuatu yang baru dalam dimensi baru. Sikap mereka seakan menegaskan tentang semangat juang untuk berbuat lebih untuk orang lain , yang mereka yakini sebagai wahana yang lebih bernilai dari apa yang sudah mereka capai. Memang bahwa manusia dilahirkan buat Hidup, bukan untuk bersiap-siap menghadapi hidup. Hidup senantiasa memperbarui, menciptakan kembali, mengubah, dan meningkatkan dirinya. Mempertimbangkan masa depan adalah membentuk kembali hidup. Berdasarkan pertimbangan semacam itulah, permenungan masa depan dimulai agar tidak menghadapi kecemasan, dus merugi. Bukankah dalam rentang waktu, kehidupan manusia senantiasa merugi.


Bangsa Indonesia sebagai komunitas dunia , seharusnya memandang masa depan dengan mata hati dan bukannya mata gelap. Ditengah kepayahan yang menimpa bangsa ini akibat rezim masalalu yang memanjakan namun menipu , diperlukan kearifan tersendiri untuk memandang masa depan. Setidaknya bagi mereka yang sudah terlalu kaya karena korupsi atau manipulasi tanpa tersentuh hukum untuk meng “nol” kan dirinya ; memulai sesuatu yang baru dan lebih bernilai. Agar masyarakat bangsa ini memandang masa depan bukan sebagai penantian waktu yang tak kunjung selesai. Mari hadapi masa depan dengan optimis dan kerja keras.


No comments: