Seorang teman berkata kepada saya bahwa bagaimana mungkin negara kita yang kaya raya akan sumber daya migas tapi pada waktu bersamaan pemerintah mengalami tekanan APBN karena harga minyak naik. Bukankah pemerintah untung dan mengapa harus dikurangi subsidi BBM. Saya tersenyum. Apalagi dia berbicara tentang data lifting minyak dan segala perhitungan kelayakan pemerintah mendapatkan kelebihan pendapatan dengan kenaikan harga BBM. Bagi saya teman ini tidak ada salahnya. Karena dia beranggapan bahwa minyak di bumi itu semua milik negara. Ini benar. Tapi kalau sudah di atas bumi maka minyak itu tidak sepenuhnya milik negara. Yang real milik negara hanyalah secuil. Karena harap maklum, pemerintah tidak keluar uang atau resiko apapun untuk mengeluarkan minyak dari perut bumi. Semua itu dikerjakan oleh kotraktor minyak yang menyabung dana tak terbilang di tengah hutan dan laut. Juga melibatkan tekhnologi tinggil. Pemerintah hanyalah mandor yang dibayar bila ada hasil.
Untuk lebih jelasnya saya ilustrasikan sebagai berikut.
Si Mamad, mendapatkan warisan dari orang tuanya dalam bentuk tanah yang cukup luas. Pada waktu bersamaan si Mamad juga mendapatkan warisan kewajiban menanggung biaya hidup keluarganya. Dalam hal ini si Mamad mendapatkan warisan harta juga warisan tanggung jawab. Untuk menjadikan tanah sebagai sumber penghasilan dibutuhkan modal dan tenaga. Tenaga , tidak ada masalah. Karena semua anggota keluarga bersedia bekerja keras. Tapi soal modal, inilah yang jadi masalah. Orang tuanya tidak mewariskan uang tapi hanya harta berupa tanah yang harus digarap agar menghasilkan uang untuk makan. Maklum saja, tanah itu perlu pupuk, perlu traktor , perlu bibit dan biaya hidup selama menunggu hasil panen. Menyediakan ini si Mamad tidak mampu. Sementara kebutuhan hidup tidak bisa ditunda.
Dalam kebingungan itu, datanglah Mat Culas yang bermanis muka mengulurkan bantuan dalam bentuk solusi. Ini bahasa lain dari istilah kapitalis. Solusi artinya anda dapat tapi saya lebih banyak dapatnya. Apa usulan dari si Mat Culas. Dia akan mencarikan sumber dana untuk si mamad berhutang. Namun agar si Mamad qualified untuk mendapatkan pinjaman maka dia harus memastikan ada sumber pendapatan untuk membayar hutang itu. Solusinya sederhana , yaitu si Mamad harus menyerahkan tanahnya kepada Mat Culas selama jangka waktu 30 tahun. Ingat , kata Mat Culas, saya tidak mengambil tanah kamu. Tanah tetap milik kamu. Saya hanya mengolah tanah kamu dan hasilnya kita bagi. Mat Culas menyebut istilah Product sharing contract. Yang dibagi adalah hasil produksi dari lahan tersebut setelah dipotong semua biaya yang dikeluarkan oleh Mat Culas. Pembagian 85% untuk si Mamad dan 15 % untuk si Mat Culas. Wow. Indahnya kesepakatan ini. Indahnya solusi ini.
Semua biaya yang berkaitan dengan pengolahan lahan itu ditanggung oleh si Mat Culas. Segala resiko akibat pengolah lahan itu menjadi resiko Mat Culas. Kesepakatan ini disampaikan kepada seluruh anggota keluarga. Semua serentak bilang setuju. Apalagi selama perundingan itu, Mat Culas sudah menepati janjinya memberikan pinjaman melalui relasinya di kota. Anggota keluarga sudah pula bisa berencana untuk pestain anak kawin, beli televise, bangun rumah dan lain sebagainya. Ketika kesepakatan itu terlaksana, anggota keluarga juga bisa bekerja di lahan itu dengan mendapatkan upah dari Mat Culas. Kelak bila ada anak anggota keluarga tamat kuliah juga bisa kerja di lahan itu dengan mendapatkan gaji dari Mat culas. Bagi si Mamad, ini berkah karena dapat uang berhutang, pembayaran dari bagi hasil produski lahan yang resikonya ditanggung oleh Mat culas. Apa ada kesepakatan yang lebih baik dari ini ? itulah makanya disebut berkah dan rahmat. Semua berkat Tuhan kirim manusia sebaik Mat Culas.
Ketika lahan mulai digarap. Produksi melimpah. Namun ketika hitung hitungan, si Mamad bingung dan tak bisa bicara banyak. Apa pasal ? karena setelah dipotong biaya bibit, biaya traktor, biaya pestisida, biaya pupuk dan upah kerja , tersisa hanya 20% yang bisa dibagi. SI Mamad mendapatkan 17% dan si Culas mendapatkan 3 %. Rugikah si Culas? Oh tidak. Karena pestisida, pupuk, traktor, bibit berasal dari group perusahaan milik si culas sendiri. Tentu dia suka sukanya menentukan biaya yang ditetapkan. Upah buruh kerja ditetapkan serendah mungkin tapi upah si Culas dan kawan kawannya, dia tetapkan sesukanya dan tentuk sangat besar. Si Mamad tidak bisa protes karena semua itu berasal dari kantong si culas sendiri dan lagi resiko juga ditanggung si culas. Tinggalah kini si Mamad harus ikhlas menerima bagi hasil seadanya karena dia tidak bisa menunda membayar cicilan hutang dan bunga yang harus dibayar, yang semakin lama jumlahnya lebih besar di banding pendapatan bagi hasil yang diterimanya dari si Culas. Si mamad, benar benar on trap as loser-man
Ada niat si Mamad suatu saat akan merubah kesepakatan itu.Tapi lambat laun dia semakin tidak berdaya. Karena tuntutan biaya hidup keluarga dari tahun ketahun semakin meningkat dan kebutuhan akan berhutang semakin tinggi. Dan si Culas selalu mampu meyakinkan kreditur agar si mamat terus mendapatkan pinjaman dengan berbagai skema. Apalagi kelakuan anggota keluarga semakin bergaya hedonism yang memakan ongkos mahal, gemar berkonsumsi dan malas berpikir bagaimana berproduksi dari pendapatan bagi hasil itu. Karena lagi lagi si Culas selalu datang membawa barang siap dibeli. Akhirnya mamad benar benar terjebak oleh situasi kebutuhan hidup dan kondisi bagi hasil yang memanjakan namun merampoknya secara tidak langsung. Tapi, ah ini bukan merampok. Ini sunattullah, dimana si Mamad yang bodoh dan takut ambil resiko dan si Culas yang smart yang berani ambil resiko. Yang untung selalu yang smart dan berani ambil resiko. Yang bodoh dan tak berani ambil resiko selalu pecundang. Semua syah syah saja.
Kini tanpa disadari anggota keluarga mulai bertanya mengapa kita harus membeli sesuatu yang dihasilkan oleh lahan kita sendiri ? mengapa ? itulah pertanyaan bodoh dari orang bodoh, yang punya budaya menanti berkah alam dan orang lain. Padahal berkah Allah itu terbungkus rapi dan siapapun bisa mendapatkan berkah itu asalkan mau bekerja keras , belajar keras dan berani ambil resiko, ternyata berkah itu ada pada orang asing, bukan kepada kita sebagai pemilik SDA migas.
1 comment:
Post a Comment