Mardi berjalan memasuki sebuah desa. Di sampingnya ikut pula sang kurcaci yang selalu setia mengikuti kemanapun dia pergi. Dia tersenyum ketika melintasi jalan desa.“ Hmm… Saya mencium bau uang bertebaran di jalanan ini “ katanya sambil menebar senyum setiap berlintasan dengan penduduk desa.
“ Tuan, saya tak melihat ada uang di jalanan “ Sang Kurcaci menimpali
“ Tentu kamu tak akan pernah bisa melihat. Kamu tolol..”
“ Saya memang tolol , tuan. Tapi yang pasti saya tidak buta. Memang tidak ada uang bertaburan di jalan. “ Kurcaci itu membungkukan tubuhnya ke tanah. Seakan meyakinkan Mardi bahwa matanya tidak salah.
“ Itulah ketololan kamu. Melihat dengan matamu. Mata itu selalu berdusta. Lihatlah dengan mata pikiranmu. Kemudian kembangkanlah imajinasimu. Maka semua akan nampak dan jelas. Itu semua ada uang “ Mardi berfilsafat.
“ Saya tidak paham ,tuan. “
“ Bagus. Lebih baik kamu tidak faham. Cukuplah kamu menghamba denganku”
“ Saya Tuan..”
Mardi terus melangkah mengelilingi seluruh kampung. Dia menghitung seluruh rumah beratap yang ada di desa itu. Jumlah 423 rumah. “ Jumlah yang cukup besar” gumamnya. Dari sejumlah rumah itu, 40 rumah tergolong mewah bagi ukuran kampung. 5 Rumah sangat mewah. Sisanya adalah rumah biasa. Layaknya rumah kampung dengan bangunan apa adanya sekedar berlindung dari terik matahari dan hujan deras. Akhirnya langkahnya menuju ke kantor Kepala Desa. Dengan baju yang serba mewah, penampilan Mardi cukup meyakinkan kepala desa bahwa dia orang asing kaya raya. Tentu kedatangannya disambut oleh kepala desa dengan ramah sekali. Orang kaya datang , tandanya berkah akan datang pula.
“ Apa gerangan kehendak sanak untuk datang berkunjung kedesa kami ini “ Demikian sang kepala desa bertanya kepada Mardi.
“ Saya lagi bingung Pak. Bagaimana caranya menghabiskan uang di kantong saya. Harta saya berlimpah dan ingin berbuat baik sekali dalam hidup saya. Itulah sebabnya saya datang ke desa ini. “ Kata Mardi dengan bahasa dibalut senyum. Menunjukan dia orang yang tulus.
“ Apakah maksud tuan ingin membagikan uang itu kepada rakyat kami “
“ Ya..” Jawab Mardi dengan tegas.
Sang lurah segera berdiri dan menghampiri Mardi. Dengan wajah berwibawa Lurah itu berkata “ Tuan, rakyat disini hidup damai sejahtera. Semua kebutuhan desa terpenuhi oleh alam. Mereka hidup saling begotong royong menyelesaikan masalah. Orang kaya melindungi orang miskin. Para pamong desa dan tetua adat bersama sama mengayomi rakyat untuk maju , tertip dan selaras. Itulah kami didesa ini , Tuan. Jadi kami tak butuh apapun dari Tuan. Terimakasih”
Mardi tersenyum mendengar ungkapan simpatik dari kepala Desa itu
“ Tadi saya sempat berkeliling desa. Masih banyak warga desa yang butuh pertolongan. Kan tidak ada salahnya kalau saya ingin membantu mereka. “
“ Membantu itu boleh. Tapi jangan beri mereka uang tapi kesempatan. Itulah yang diperlukan oleh mereka. Dan ini adil untuk saling memanfaatkan. Harta tuan tidak habis , dan rakyat desa tertolong.
“ Kesempatan apa yang bapak maksud “
“ Peluang usaha yang memungkinkan mereka dapat menghasilkan uang. Kalau itu yang tuan berikan maka saya berserta tetua adat serta para saudagar kaya di desa ini akan berada di belakang tuan. Yakinlah .”
“ Kalau begitu saya paham…”
“ Terimakasih , tuan “
Karena senangnya sang Lurah dengan kehadiran Mardi maka dia sediakan tempat tinggal yang layak untuk Mardi. Rumah itu milik salah satu juragan kaya di desa. Yang tentu punya beberapa rumah bagus. Sang juragan menyambut Mardi dengan antusias. Karena merasa akan mendapatkan mitra yang pantas untuk memperbanyak uang masuk ke pundinya.“ Nah apa rencana tuan selanjutnya “ tanya sang juragan kaya
‘ Saya mencari Bunglon. “ Jawab Mardi mantap.
“ Untuk apa ? Juragan itu menampakan wajah keheranan.
“Untuk saya jual kembali di kota. “
“ Tentu jumlah banyak ? “ Sang Saudagar melihat ada peluang bisnis.“ Tentu. Berapapun jumlahnya saya beli”
“ Berapa harga yang bisa tuan beli. “
“ Rp.10,000 satu ekor. “ Jawab Mardi dengan tegas dan meyakinkan.
“ Apa ! “ Suara saudagar terdengar setengah berteriak dan hampir melompat dari tempat duduknya “ Seekor bunglon dihargai Rp. 10,000”? Benarkah itu ?” Sambung saudagar itu dengan ceria.
“ Ya , kenapa “
“ Wah , ini bisnis yang bagus tuan. Bagus...Bagus sekali. Tahukah Tuan, di sini bunglon banyak berkeliaran di kebun kebun. Kami bisa sediakan sesuai yang tuan inginkan. Sebutkan berapa pesanan yang tuan inginkan. “ Saudagar itu langsung menangkap peluang bisnis dan bicara layaknya bisnisman sejati.
“ Tahap awal saya butuh 500 ekor ‘ Kata Mardi.
“ Oh, itu mudah tuan. “
“ Berapa lama bisa saya dapatkan itu “
“ Kasih saya waktu paling lama seminggu, tuan akan dapatkan pesanan itu. Tidak usah kawatir “
“ Baiklah. “
“ Eh..bagaiman soal pembayarannya “ Tanya juragan itu dengan sedikit sungkan. Maklum dia takut Mardi merasa diragukan kemampuannya.
“ Tidak usah kawatir. Saya bayar tunai setelah jumlahnya pas 500 ekor.”
“Baik tuan. Baik..Terimakasih. Ini tawaran yang sangat menguntungkan.
Ke esokannya Juragan itu mengumunkan kepada orang desa bahwa dia bisa membeli bunglon dengan harga per ekor nya Rp. 5000. Berita ini tersebar begitu cepat dari mulut ke mulut. Orangpun berdatangan ke rumah juragan itu untuk meminta kepastian pesanan itu. Juraga itu menjawab dengan tegas. Bahkan menyediakan pavilion rumahnya sebagai kasir dan sekaligus sangkar penyimpan bunglon yang akan dibelinya. Maka hari hari berikutnya berdatanganlah orang perorang ke rumah juragan itu membawa bunglon hasil tangkapannya. Belum sampai seminggu, Bunglon sejumlah 500 ekor tekumpul sudah. Mardi menghitung dengan cermat satu per satu bunglon yang ada. Kemudian dia membayar tunai.
Mardi minta pamit untuk kekota sebentar menjual bunglon itu. Dalam perjalanan Mardi berkata kepada kurcacinya “ Mulai besok kamu tinggal di kota saja. “
“ Mengapa , Tuan “ ?
“ Jangan tanya mengapa. Kamu orang bodoh. Turuti saja apa kata saya “
“ Saya tuan”
“ Nah itu bagus. Di kota kamu tinggal bersama bunglon bunglon ini. Bila kelak ada orang datang mengambil bunglon ini maka berikan.Bila dia memberikan uang kepadamu maka terima”
“ Mengapa ? “Tanya Kurcaci itu.
“ Sudah kubilang, jangan tanya !”
“ Saya, Tuan. “
“ Jaga itu bunglon dan jangan sampai lepas barang satu ekorpun. Paham,kan !”
“ Kalau itu paham tuan. Saya harus jaga bunglon itu sama seperti menjaga nyawa saya. “
“ Betul. “
Tak lebih dua hari Mardi sudah sampai di desa itu lagi. Tentu disambut girang oleh juragan. Namun kali ini keadaan menjadi lain. Karena lurah ada menyambutnya di rumah juragan itu.
“ Saya butuh 1000 ekor bunglon lagi. Kalau ini berhasl maka berikutnya saya butuh 2000 ekor dan terus , terus . Apakah bisa “ Kata Mardi mantap.
“Tentu bisa , Tuan..bisa “ Jawaban serentak dari lurah dan juragan.
“ Tapi…” seru lurah dengan lembut “ harus diatur tata niaganya pak.”
“ Mengapa diatur?
“ Di desa ini semua kesempatan harus dibagi rata. Tak boleh hanya satu orang yang menikmati keuntungan. Disini ada 10 juragan, Mereka harus dibagi rata peluang ini. Itu sudah kesepakatan dan menjadi tradisi kami disini.” Kata Lurah dengan bijak.
“ Oh ..itu bukan urusan saya. Saya hanya butuh bunglon terkumpul dan saya bayar tunai.”
‘ Tentu , ini bukan urusan tuan. Tentu. “
Keesokan harinya rapat digelar di desa. Para juragan berkumpul untuk membicarakan bagaimana membagi peluang yang ada ini. Rapat berlangsung awalnya penuh tawa namun akhirnya mulai memanas. Karena masing masing juragan menuntut lebih banyak jatah alias kuota untuk menjual kepada Mardi. Hampir tengah malam , rapat belum juga tuntas mendapatkan jalan keluar. Akhirnya salah satu tetua adat berkata..
“ Baiknya masalah ini diserahkan kepada mekanisme pasar saja. Biarkan para juragan ini bersaing untuk membeli sesuai harga yang bisa dibelinya. Namun, rakyat lainnya juga harus diberi kesempatan. “ Tetua adat ini terdiam sebentar sambil memandang semua yang hadir.
Semua terdiam. Kemudian Lurah berkata kepada tetua adat itu “ Silahkan teruskan sarannya , pak ..”
“ Kita harus bagi rakyat kita sesuai kemampuannya. Yang agak punya kemampuan ekonomi kita jadikan agent. Yang kurang mampu kita jadikan pencari bunglon. Nah, agar rakyat desa dan agent punya kepastian likuiditas maka kita gunakan koperasi dan bank desa untuk memberikan pinjaman sementara dengan jaminan penjualan kepada anda semua. Dengan demikian, terjadi pemerataan kesempatan.”
Semua terkesima dengan saran gemilang dari tetua adat ini. Para juragan merasa senang karena tak lagi direpotkan dengan uang atau ongkos untuk mendapatkan bunglon. Mereka tinggal tunggu bunglon datang dan bayar. Kemudian langsung jual kepada Mardi dan langsung pula dapat tunai. Business yang mudah dan tak beresiko.
Setelah rapat itu selesai. Maka keesokan harinya antar juraganpun mengadakan rapat. Mereka membahas bagaimana mengatur harga beli dan mengatur untung diantara mereka dari transaksi bunglon ini. Salah satu diantara mereka mengusulkan “ Kita harus bersatu di hadapan Mardi. Kita harus mengatur harga jual kita.Jangan hanya setuju apa kata dia. ““ Setuju” jawab yang lain serentak.
‘ Untuk itu kita naikkan harga jual kita kepada Mardi menjadi Rp. 15,000. “
“ Setuju “: Jawab yang lain serentak.
Kenaikan harga ini di sampaikan kepada Mardi. Dengan wajah yang agak kecewa Mardi menyanggupi untuk membayar sesuai harga yang mereka inginkan.
Tak terasa berlangsung lebih dua minggu kegiatan ini berlangsung. Keadaan menjadi lain. Penduduk desa sudah tidak tertarik lagi bertani atau membuat bata atau membuat ijuk atau berternak. Semua kegiatan desa terpusat kepada mencari bunglon. Mereka tidak lagi mencari sesuai pesanan tapi sudah mulai melakukan pengumpulan stock. Lewat sebulan harga sudah mencapai Rp. 40,000 perekor. Setiap kenaikan harga yang diminta oleh juragan, selalu dituruti oleh Mardi. Antar juragan di lapangan bertarung memperbanyak stock sebanyak mungkin dan bank desa selalu bersedia memberikan tambahan modal kalau diperlukan. Namun mereka bersatu kalau menghadapi Mardi untuk mendapatkan kenaikan harga. Selama ini kegiatan keuangan desa bergerak cepat. EKonomi tumbuh dua digit. Jumlah yang berhasil dibeli oleh Mardi dari juragan itu sudah mencapai 10,000 ekor bunglon. Sementara stock yang tersedia di tangan juragan lebih 5000 ekor bunglon.
“ Saya butuh pesanan bunglon lebih banyak lagi.’Mardi berkata kepada seluruh juragan yang hadir dalam pertemuan dikantor lurah. “ Setidaknya dalam bulan ini saya butuh 40,000 ekor bunglon. Apakah bisa dipenuhi” Sambungnya.
“ Tentu bisa.” Jawab juragan itu serentak. “ Tapi , kami minta harga yang lebih baik. Karena tidak mudah mendapatkan bunglon lagi. Karena sudah banyak yang ditangkapi. Tapi kami akan mendatangkan dari desa tetangga. “ Kata salah satu juragan yang menjadi penyambung lidah para kumpulan juragan.
Mardi terdiam. Seakan berpikir keras. Akhirnya dia berkata “ Baiklah. Saya akan beli dengan harga Rp. 100,000 perekor. “
Sudah seminggu berlansung jumlah bunglon yang berhasl ditangkap semakin menciut. Karena mungkin sudah tak lagi bisa berkembang karena semua banyak yang ditankapi. Tapi ini tidak mnyurutkan semangat para juragan. Mereka makin meninggikan harga beli kepada agent. Lama lama harga sudah mendekati harga jual kepada Mardi. Hal ini membuat mereka takut tak ada untung. Makanya mereka menemui Mardi. Minta kenaikan harga. Dengan agak berat hati akhirnya Mardi menerima kenaikan harga itu dengan berkata “ Saya dikejar janji dengan pembeli dikota. Saya tak penting lagi untung .Apalagi saya datang kemari hanya ingin bantu masyarakat desa. Ya sudah , ini harga terakhir dari saya yaitu Rp. 1.000.000 per ekor. “
Para juragan itu mendengar kenaikan harga dengan kegirangan. Mereka tidak lagi melihat masalah yang sulit. Untung dan harta berlimpah dari usaha bunglon ini sudah di depan mata. Mereka memeluk Mardi dengan hangat. Sambil memuji kemuliaan hati Mardi. Keadaan desa semakin mendapat pujian dari para masyarakat. Kegiatan ekonomi desa tumbuh. Masyarat bergairah. Karena banyak uang dari hunglon ini maka tak ada lagi padi yang ditanam. Beras tinggal beli. Semua kebutuhan dibeli dari desa tetangga. Kegiatan produksi real tak lagi nampak bergairah. Hanya seadanya dari segelintir orang.
Semua juragan itu tersenyum riang. Antara mereka saling bersalaman sebagai ujud sukses dalam kebersamaan. Ketika keluar dari rapat itu terdengar bisikan juragan kepada lurah “ Saya akan sediakan Rp. 10.000 setiap ekor bunglon yang kami beli untuk biaya bapak ikut pemilihan kepada desa. “
Lurah tersenyum. Kemudian menarik salah satu juragan itu kedalam kamar kerja nya “Ini rahasia. “ Kata lurah itu dengan berbisik” . Saya ada contact dengan desa tetangga mereka bisa menyediakan setidaknya 5000 ekor. Dan desa lainnya bisa menyediakan 5000 ekor. “
“ Benarkah itu ?
:” Benar” Jawab lurah itu dengan tegas.
“ beritahu saya alamatnya. “
“ Tapi jangan bilang siapa siapa ya “ kata lurah itu sambil memberikan alamat.
“ Baik pak..”
“ Tapi…”
“ Apalagi “ kata juragan itu.
“ Saya tidak hanya butuh uang Rp. 10.000 per ekor tapi juga mau ikut urut modal beli bunglon itu. Karena saya lurah maka saya titip modal kepada kamu. Hasilnya kita bagi sesuai modal yang keluar , gimana setuju.?”
“ Baiklah pak..” kata juragan itu dengan muka masam.
“ Ini uang untuk 2000 ekor. Harga beli disana hanya Rp. 500.000. Jadi untung saya Rp Rp. 1 milliar ya. Plus Rp. 40 juta dari janji kamu. OK.”
“ OK pak..”
“ Nah , ini uang yang untuk 2000 ekor. : Kata lurah itu sambil mengeluarkan uang dari dalam lemari.
Setelah sampai waktu pengiriman bunglon kepada Mardi , bunglon belum juga terkumpul sebanyak yang dipesan.Masih kurang 5.000 ekor lagi. Mardi nampak murung ketika hal ini dikabarkan oleh para juragan, Mereka minta waktu sebulan lagi atau seminggu lagi. Mardi tak bisa memberikan persetujuan kecuali harus melaporkan kepada pembeli di kota soal keterlambatan pengiriman bunglon. Tak ada kekawatiran dari para juragan itu. Karena mereka yakin pembeli kota akan menerima. Apalagi usaha ini sudah berlansung hampir enam bulan.Selalu tidak ada masalah. Mereka sudah merencanakan yaitu kalau orang kota setuju jadwal pengiriman ditunda maka mereka akan minta kenaikan harga lagi.
Kedatangan Mardi di kota disambut oleh sang kurcaci dengan penuh penghambaan. Kurcaci itu membungkukkan tubuhnya sambil menyerahkan uang sebesar Rp. 5 miliar untuk 10,000 bunglon yang diambil oleh dua orang yang berlainan. Mereka itu berasal dari dua desa yang bersebelahan dengan desa dimana Mardi membeli bunglon. Mardi tersenyum menyaksikan tumpukan itu dan akhirnya tertawa tinggi sambil menari menari menyaksikan tumpukan uang yang ada diatas meja. Kemudian di tatapnya sang kurcaci itu “ Kamu tidak akan tidak akan bertanya mengapa saya kegirangan..ya kan..”
“ Saya Tuan..”
“ Bagus. Kamu juga tidak bertanya apapun kepada orang yang datang mengantar uang ini ke rumah sambil membawa 10.000 ekor bunglon kita. “
“ Saya , Tuan..”
“ Bagus…
“ Saya, Tuan..” Kurcaci itu senang dipuji oleh juragannya.
“ Bukan kamu yang bagus. Tapi bagus karena besok kita akan pergi ketempat lain. “
“ Kemana , Tuan?
“ Ke tempat dimana ada banyak orang kaya yang rakus dan masyarakat yang suka cari untung cepat lewat jalan pintas…”
Sudah lebih seminggu Mardi tak lagi menampakan batang hidungnya di desa. Para juragan , agent, koperasi desa , bank desa kebingungan. Harga bunglon langsung turun dari Rp. 500 ribu per ekor sampai akhirnya Rp. 1000 rupiah dan akhirnya lurah terpaksa menghentikan perdagangan bunglon sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Setidaknya menanti sampai Mardi datang kedesa.
Sebulan kemudian , Mardi tak kunjung datang. Lurah kebingungan membayar hutangnya kepada Koperasi. Agent bingung membayar hutangnya kepada koperasi. Rakyat bingung bayar hutangnya kepada Agent. Agent bingung menagih janji beli kepada juragan. Dan Juragan pun bingung karena harus bayar hutang kepada bank desa. Sementara seluruh bunglon yang disangkarnya tak lagi bernilai sebagai jaminan bank. Merekapun akhirnya menanti masa dimana kebangkrutan massal tak terelakan. Suatu kebodohan karena kerakusan selalu terjadi dari waktu ke waktu di mana saja, walau bentuk berbeda namun esensinya sama. Bahwa akan selalu ada orang culas menarik manfaat dari sikap hidup yang salah ini.