Sunday, January 12, 2014

Kemandirian dan semangat wirausaha


Murti datang kepadaku. Dengan caranya selalu menaruh hormat kepadaku. Sambil menundukan kepala dia berkata “ Ayah, izinkan kami untuk membawa ayah dan bunda tinggal bersama kami. “ Di sampingnya nampak suaminya, Bima tersenyum ke arahku. Aku terhenyak. Murti adalah putri tertuaku. Sedari lahirnya dia memang lemah. Tidak secantik adiknya Mumun. Tidak secerdas adiknya Andi. Murti juga punya kekurangan kakinya sebelah kiri agak lemah. Itu sebabnya dia berjalan pincang. Setiap pertumbuhannya membuatku cemas. Mungkinkah Murti akan mendapatkan jodoh. Mungkinkah Murti mampu mandiri bila tidak ada suami. 

Usiaku semakin menua. Sumi , istriku juga. Murti sejak tamat SD sudah aku kirim ke Pondok Pesantren. Aku berharap di Pondok dia lebih nyaman untuk bergaul dan berkembang. Karena didikan agama lebih memaklumi keadaannya yang lemah. Sementara Mumun dan Andi mendapat pendidikan terbaik dariku. Mereka sekolah di tempat umum dan melanjutkan ke Universitas.

Setamat Mandrasah Aliyah, Murti datang kepadaku bahwa ada seorang pria yang menginginkannya sebagai istri. Aku tidak berpikir banyak untuk menolak. Inilah kehendak Tuhan bahwa semua manusia berhak akan jodoh termasuk untuk putriku yang lemah dan tidak cantik. Aku sambut niatnya dengan antusias. Pria jodohnya bukanlah dari keluarga kaya., Pria itu sedari kecil sudah yatim piatu. Dibesarkan di Pondok dan setelah itu merintis usaha benkel Motor. Bukanlah usaha yang bagus karena di kecamatan. Namun ketika bertemu pria itu, aku tahu bahwa pria itu anak yang baik dan agamais. Aku tidak peduli dengan keadaannya yang yatim, Tak peduli dengan usahanya hanya sebagai pengelola bengkel motor dikecamatan, di Kalimantan. Tak peduli walau dia juga cacat sama dengan Murti. Bagiku, inilah yang terbaik bagi Murti dan juga bagi kami  Setelah Murti menikah, beban mentalku serasa berkurang. Aku mulai disibukan dengan mengurus kedua adik adiknya yang akan kuliah.

Murti diboyong oleh suaminya tinggal di Kalimantan. Enam kali lebaran, dia tidak datang kerumah kami. Aku bisa memaklumi bila hanya kartu lebaran yang datang kepada kami. Tak lupa dia memberikan doa terbaik untuk kami. Memang bukanlah mudah untuk mudik dari Kalimantan ke Jakarta. Tentu ongkosnya mahal sekali. Walau Murti tidak pernah bercerita tentang kehidupan rumah tangganya namun aku yakin Murti akan baik baik saja. 
Berjalanya waktu, Mumun sudah pula menikah dengan pria dari keluarga terhormat. Ketika menikah, kuliahnya belum selesai. Karena suaminya belum dapat kerjaan maka Mumun dan suaminya tinggal di rumah kami. Andi , menikah namun dia belum dapat kerjaan, tinggal di rumah kami juga.  Rumah semakin ramai oleh anak , menantu dan cucu. Akupun sudah pensiun. Tak ada lagi uang berlebih yang bisa menanggung beban rumah tangga yang di isi oleh tiga keluarga itu. Ada sedikit deposito untuk sekedar menguatkan semangat di usia senja. Namun belakangan deposito itu dipakai oleh suaminya Mumun untuk buka usaha yang hanya setahun kandas. Uang deposito habis.

Andi meminta kepadaku agar menggadaikan rumah kami satu satunya untuk keperluan modalnya buka usaha leveransir pemda. Namun tak lebih setahun prahara datang. Hutang tak terbayar. Pihak bank minta agar segera melunasi atau rumah disita. Kami yang semakin menua , tak sanggup otak untuk menerima beban sebesar ini. Kemana kami akan tinggal. Padahal kami sangat berharap kepada Andi untuk menjadi tongkat kami ketika senja. Sangat berharap kepada Mumun untuk merawat kami ketika tua dan lemah. Itulah sebabnya  apapun kami korban agar mereka bisa hidup mapan. Namun kini mereka menjadi beban kami. Itulah yang menjadi beban pikiranku. 

Itupula yang membuat istriku semakin lemah. Penyakit mulai berdatangan. Pada saat itulah aku mulai memikirkan Murti. Ketika kukabarkan kepada Murti bahwa ibunya masuk rumah sakit. Tak lebih dua hari dia sudah ada di rumah kami. Kulihat Murti sehat sekali. Kedua cucu kami nampak ragu untuk menyapa kami namun kami tak peduli untuk segera merangkul mereka. Kulihat istriku berlinang air mata ketika memeluk kedua cucu kami

Murti berulang kali minta maaf karena setelah enam tahu berumah tangga baru datang menemui kami. Walau dia tidak bercerita banyak namun dari raut wajahnya nampak kehidupannya tidak lebih baik. Murti nampak tegar dan wajahnya bercahaya.

“ Ayah …” aku terkejut dengan suara Murti. Ternyata aku melamun cukup lama.

“ Ya, Ti”

“Kami sudah punya rumah sendiri walau tak besar. Ada kamar untuk ayah dan bunda. Akupun membuka usaha ternak ayam dirumah. Usaha Mas Bima juga cukup baik. Tahun kemarin sudah di tunjuk sebagai bengkel resmi oleh dealer. “ Mutri nampak tersenyum dengan suara yang lembut penuh kasih kepadaku. “ Ayah” lanjutnya “Walau kehidupan kami  tidak berkecukupan namun kami masih mampu untuk merawat ayah dan bunda. Beri kesempatan kami untuk menjaga ayah dan bunda. Ini ladang ibadah yang tak terhingga nilainya dihadapan Allah.

‘ Tahukah Ayah” seru Murti sambil mendekat duduk disampingku. “ dulu ketika aku ayah tempatkan di Pondok, ada dua doa yang tak henti kupanjatkan kepada Allah, Pertama adalah agar Allah mengirim kepadaku  suami yang bisa menjadi imamku.  Suami yang sholeh. Walau dia cacat sama denganku namun itulah yang terbaik diberi Allah kepadaku. Kuterima dengan suka cita. Kedua adalah agar aku diberi kesempatan untuk menjaga ayah dan bunda dimasa tua. Satu doaku sudah dikabulkan Allah dan kini yang kedua aku berharap , ayah..”

Kurangkul Murti dengan linangan airmata. Kulirik Istriku juga berlinang airmata. Kami merasa malu dihadapan putri kami. Mereka yang kami anggap lemah, dan yang tak pernah berharap banyak ternyata putri kamilah yang menjadi tongkat kami dimasa tua.  Memang dia  lemah secara phisik Memang dia tidak cantik. Memang suaminya bukanlah dari keluarga terhormat. Suaminya hanyalah anak yatim lagi piatu. Namun dengan bekal iman dan taqwa telah membuat mereka kuat menghadapi kehidupan yang tidak ramah ini. Murti dan suaminya, mereka ikhlas teramat ikhlas menerima takdirnya dan tak ada harapan lain dari mereka kecuali diberi kesempatan merawat kami dimasa tua. Ini ladang ibadah untuk membuat mereka lapang meniti jalan kesorga. Itulah keyakinan sederhana sebagaimana keyakinan kecintaan mereka kepada Allah…

Kami  putuskan untuk ikut dengan Murti dan suaminya ke Kalimantan. Bagaimana dengan kehidupan Andi dan Mumun? biarlah mereka belajar dari kehidupan ini dan mendapatkan hikmah. Aku bukanlah penolong mereka tapi Allah penolong mereka. Sudah saatnya aku tak lagi mengkawatirkan mereka sebagaimana aku tidak pernah mengkawatirkan Murti. 
" Ayah mencintai kalian bukan dengan cara melindungi kalian tetapi percaya kalian bisa mandiri tanpa ayah." Pahamkan sayang..

No comments: