Tadi ketemu dengan teman di PIM Golf. Teman ini aktifis agama.“ Kenapa sebegitu buruknya ekonomi Turki. Saat sekarang Inflasi di Turki tembus ke level tertinggi sejak 1998 mencapai 73,5 persen pada Mei 2022. “ Kata teman
“ Sebenarnya apa yang sekarang terjadi pada Turki bukan datang begitu saja. Tetapi sudah berproses sejak 10 tahun lalu.”
“ Ya apa sebabnya?
“ Penyebab utamanya lebih kepada karakter Erdogan sendiri sebagai penguasa. Dia setuju masuk pasar bebas, tapi pada waktu bersamaan dia tidak menjalankan prinsip pasar bebas. Dia sangat yakin kekuasaan bisa mengatur pasar. Maklum ini juga pengaruh agama yang diyakini. Bahwa bunga tinggi itu dosa besar karena termasuk zolim. Padahal persepsi bunga besar atau kecil itu bukan diukur dari sisi penguasa tetapi oleh sisi permintaan dan penawaran. “
“ Jadi seharusnya gimana ?
“ Dia berkeyakin kalau kran kredit longgar, bunga murah akan mendorong terjadinya kegiatan berproduksi dan berkonsumsi. Itu sekilas ada benarnya. Tetapi mengelola ekonomi makro engga sesederhana itu. Karena demand dan supply uang ke pasar itu berdampak terhadap inflasi dan deplasi, Kalau uang lebih banyak dipakai konsumsi akan berdampak inflasi bila produksi rendah.
Artinya tanpa dukungan tata niaga yang efisien, iklim usaha yang kondusif, kreatifitas dunia usaha, riset yang kuat, supply uang itu hanya memperbesar impor yang menguras devisa, yang pada gilirannya mengurangi cadangan devisa untuk menjaga stabilitas kurs. Ya dampaknya inflasi melompat tinggi. Mata uang terjun bebas.”
“ Kan sebagian negara di dunia ini melakukan kesalahan yang sama dengan Turkey. Kenapa hanya Turkey saja begitu buruk dampaknya. ? Tanya teman. Saya tatap sekilas teman itu.
“ Mau tahu penyebabnya?
“ Ya. Apa ?
“ Dia paksa bank negara pinjam uang keluar negeri. Utang itu dijamin oleh negara. Lah uang itu dipaksa disalurkan lewat kredit murah. Nah kamu bayangkan. Kalau bank sebagai badan usaha menarik pinjaman dengan jaminan negara. Siapa yang bisa pastikan akan ada transparansi? Yang pasti dapat fasilitas kredit dari bank negara ya kroni nya saja. Justru menciptakan rente. “
“ Mengapa ?
“ Karena mereka para kroni itu membangun proyek dengan high cost, mark up biaya. Kalau proyek jadi ok lah. Tetapi nyatanya sebagian besar mereka gunakan uang itu untuk belanja impor. Mereka memilih jadi pedagang daripada pabrikan. Istilahnya, ngapain capek capek produksi kalau jadi pedagang aja udah untung. Ya mereka menikmati rente dari konsumen yang dapat fasiitas kredit bank. Paham? Kata saya tersenyum. Dia terdiam.
“ Emang gimana index korupsi di Turkey?
“ Sebenarnya engga beda index korupsinya dengan Indonesia. Transparency International, yang memantau korupsi global, melaporkan bahwa pada tahun 2022, Turki telah jatuh ke peringkat 96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsinya , dengan skor 38 dari 100 pada skala di mana skor nol menunjukkan negara yang sangat korup. Rata-rata global adalah 43. Tetapi Indonesia bisa bertahan dari wabah korupsi karena sistem kita kuat dan presiden engga ikut campur soal moneter. “
" Jadi solusinya gimana? tanya teman lagi.
" Ya kalau masih mau terus korupsi dan ekonomi bisa tahan ya tirulah Indonesia. Turki harus reformasi ekonominya. Pertama. Dalam hal moneter. Pisahkan dengan tegas antara yang pegang uang ( bank central) dengan otoritas ( OJK). Sehingga transparansi terjadi dan tidak bisa diintervensi oleh presiden, terutama soal suku bunga. Biarkan sistem yang kerja. Kedua, Ubah sistem APBN nya agar lebih transfaran. Jangan ada lagi sovereign guarantee. Biarkan pasar yang menentukan trust surat utang negara. Pemerintah bisa atur demand and supply surat utang itu lewat kebijakan suku bunga SBN. Sehingga trust terhadap mata uang terjaga. Ketiga, dorong terjadinya B2B untuk proyek infrastruktur ekonomi lewat skema PPP sehingga terhindar dari rente. Ya tiga itu saja." Kata saya tersenyum
“ Kan sederhana itu? Sejak Erdogan berkuasa, napas islam sangat dominan. Kalau sampai ekonomi Turki bangkrut, reputasi islam akan jatuh."
“ Islam akan baik baik saja. Karena islam seperti pemikiran Erdogan itu hanya sebatas politik saja, bukan standar nilai tentang amanah yang harus dipertanggung jawabkan. Agama mendidik, bahwa cara yang benar bertanggung jawab bukan hanya dalam bentuk retorika, tetapi perbuatan. Dan itu perlu kecerdasan dan integritas. Itu yang tidak dipahami oleh mereka berpolitik identitas. Mereka pikir kalau sudah berkuasa, bebas dari nilai nilai akhlak. Ya Turkey adalah pelajaran berharga bagi kita semua. Semoga mereka baik baik saja” Kata saya. Teman itu terdiam dan kahirnya mengangguk.
No comments:
Post a Comment