Tidak perlu sekolah tinggi untuk tahu bahwa masalah FS ini tidak sederhana. Mengapa ? Mahfud MD itu menteri di kabinet pemerintahan Jokowi. Dia orang kepercayaan Jokowi. Tapi perhatikanlah. Sebagai Menko Polhukam, dia tidak leluasa menggunakan instrument kekuasannya terhadap Polri. Dia terpaksa gunakan kekuatan Media massa untuk memaksa Polri mau terbuka. Mudah? engga juga. Bahkan Presiden RI yang dipilih langsung oleh rakyat, butuh empat kali ngomong baru didengar dan dilaksanakan. Itupun setelah semua rakyat bersuara keras lewat media massa. Saya rasa hanya Jokowi Presiden di dunia ini yang diperlakukan begitu oleh aparatnya.
Anda perhatikan. Mengapa di DPR pak Mahfud tidak bicara banyak. Hanya bicara apa yang sudah dia sampaikan kepada Media massa. Itupun tidak sulit untuk mengetahui alasanya. Apa pasal? Karena dalam konteks kasus ini, Mahfud tidak begitu percaya kepada Anggota DPR. Kalau DPR minta agar pak Mahfud membuka apa saja yang belum disampaikan kepada media massa. Itu bisa saja jebakan pasal kebohongan publik. Jelas saja pak Mahfud tidak mau. Karena informasi yang dia terima itu sebagian besar informasi intelijent, yang tidak mungkin bisa divalidasi.
Apa yang dilakukan oleh Pak Mahfud, itu disebut dengan Politik Hukum. Dia mengkontruksi hukum melalaui teater panggung politik. Itu cara terindah dalam sistem demokrasi untuk melakukan perubahan terhadap sistem yang sudah terlanjur brengsek. Kekuasaan dibenturkan dengan kekuatan ke empat yaitu media massa. Dari proses ini dia bisa mendorong terjadinya perubahan dan menjebol lingkaran konpirasi atas obstruction of justice yang melibatkan 97 perwira polisi. Itu engga mudah loh.
" Anda bayangkan. Seorang Mahfud yang jelas Menko Polhukam masih menggunakan Politik Hukum untuk mendapatkan kebenaran sebagaimana perintah Presiden. Nah apalagi seorang Komaruddin Simanjuntak. Dia hanya lawyer keluarga Josua. Dia tahu yang dia hadapi tidak sederhana. Lawannya berat. Engga percaya? Seorang FS yang sudah mengaku membunuh, masih berani banding atas pemecatan tidak hormatnya. Apa artinya ? Bahwa di belakang dia ada kekuatan besar dan dia mungkin sangat yakin kekuasaan itu lebih besar dari kekuasaan Presiden RI." Kata teman.
" Mengapa Komaruddin bicara melebar kemana mana.Soal Taspen lah. Soal dana Pemilu lah. Soal Judi dan lainnya. Mengapa ? tanya saya
“ Itu dia bicara tentang contoh kasus yang pernah dia hadapi dan informasi yang bisa dia pertanggung jawabkan kebenarannya. Narasi itu hanya ingin meyakinkan kepada publik bahwa tidak mudah mendapatkan kebenaran di republik ini. Apalagi keadilan. Kemanapun melapor, akan tabrak tembok tebal. Dan lagi dia tidak bicara kalau tidak ditanya wartawan. Ya itu dia sampaikan sekedar memperkuat argumen bahwa hukum itu sedang dipermainkan.” Kata teman.
Tampa dukungan luas rakyat ewat media massa, tidak mungkin perintah Jokowi bisa dilaksanakan dengan baik. Bisa saja keputusan pengadilan justru meringankan FS dan lainnya. Dan ini akan jadi bad legacy bagi Jokowi. Akan sulit mendapatkan simpati rakyat bila Jokowi mengendorse calon Presiden. Dan saya percaya bahwa apa yang terjadi dalam kasus FS dan POLRI sebenarnya Jokowi sedang melakukan perang mental. Benar benar perang mental. Tembakannya kemana mana. Dan sekarang semua elite politik deaduck. Tiarap. Berusaha cari selamat. Maka saat itulah jalan Jokowi melakukan perubahan politik. Setidaknya dia bisa jadi kingmaker secara tidak langsung dan rakyat mendukungnya.
***
Saat mendengar RDP antara POLRI dan DPR komisi 3, ada hal yang esensi baik di pihak POLRI maupun DPR, tida ada sikap berani jujur. Apa itu ? Bahwa tanpa ada keberanian keluarga Yosua menunjuk pengacara untuk dapatkan keadilan, kasus ini akan berujung kepada skenario awal yang sudah legimate yaitu polisi tembak polisi. Walau tanggal 13 juli Polri sudah membentuk tim khusus namun Pengacara keluaga Yosua tidak percaya bahwa tim khusus akan bekerja obyektif.
Sampai tanggal 17 juli, sikap semua lembaga negara seperti Kompolnas, Komnas HAM dan pengacara PeCe masih yakin dengan skenario pembunuhan Yosua karena kasus tembak menembak sesama ajudan yang dipicu oleh pelecehan seksual terhadap PeCe. Bahkan mereka ikut jadi juru bicara Polri. Belum lagi pernyataan pengacara Komarudin di media sosial disikapi oleh influencer Sosmed yang menuduh Pengacara Yosua cari panggung dihadapan mereka yang masih mempermasalahkan kasus KM50. Tapi Komarudin dkk, tetap jalan terus.
Akhirnya tanggal 18 juli, pengacara keluarga Yosua membuat laporan ke Bareskrim tentang kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua. Mereka minta agar FS di non antifkan sebagai kadiv Propan. Minta juga diadakan autopsi ulang. Pada situasi ini suara Warganet semakin gaduh. Semua berpihak kepada Yosua. Mengapa ? karena TKP sudah rusak. CCTV di rumah dinas rusak. Mayat sudah dipeti diantar Polisi ke keluarga dihalangi untuk diliat oleh keluarga. Hape Yosua tidak ada.
Akhirnya tanggal 19 juli, Listyo memutuskan untuk menonaktifkan Ferdy Sambo dari jabatan Kadiv Propam Polri untuk membuat proses penyidikan dugaan penembakan terhadap Brigadir J semakin terang. Walau FS non aktif, dia tetap pegang jabatan Propan. Karena itu kasus masih sangat lambat. FS bersama teamnya mampu menghalangi proses penyidikan. Tekanan dari nitizen semakin kencang. Pak Jokowi angkat bicara dan minta agar kasus ini jangan ditutupi.
Tanggal 4 agustus, barulah FS dicopot dari jabatannya sebagai Kadiv Propan dan digeser ke Yanma. Artinya dia tetap sebagai Pati Mabes Polrii. Bersamanya juga terjaring 25 personel Polri yang diangap melanggar etik. Tanggal 9 agustus, barulah FS dinyatakan sebagai tersangka pembunuhan berenca. Namun dia tetap sebagai Pati POLRi. Belum dipecat. Tanggal 19 agustus PeCE istri FS ditetapkan sebagai tersangka. Nah baru kemarin FS dipecat sebagai Pati POLRI namun dia naik banding. Perjuangan belum selesai.
Warganet tidak membenci POLRI, justru sikap kritis Warganet semata mata betapa mereka sangat mencintai POLRi sebagai mana mereka sangat mencintai republik ini. Namun bukan cinta buta, bukan cinta partisan, tetapi cinta untuk kebenaran, keadilan. Karena hanya dengan kebenaran dibela dan keadilan tegak, NKRI ini akan tetap utuh. Itulah beda antara warganet dengan Anggota DPR komisi 3.
***
Berdasarkan UU UU No. 2/2022., kedudukan Polri berada dibawah Presiden dan proses pemilihan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) adalah diangkat oleh Presiden atas saran Komisi Kepolisian Nasional dan setelah mendapat persetujuan DPR. POLRI lembaga mandiri, independen dan bebas dari intervensi. Jadi POLRI itu lembaga negara yang sangat powerful
“ Bagaimana ada institusi yang begitu powerful. Sedangkan presiden saja masih harus tunduk dengan DPR dan MA.” kata teman waktu kami diskusi di Cafe Hotel Sahid tahun 2002.
Dia uraikan philosofis dari Kepolisian itu. “ UU itu menempatkan Kepolisian baik sebagai fungsi maupun sebagai organ berada pada domain negara. Nah baik dan buruk akan berdampak kepada citra negara hukum. Jadi kuncinya ada pada pada kekuatan fungsi KOMPOLNAS. Anggota Kompolnas harus terdiri dari 2/3 anggota masyarakat terpilih dan 1/3 nya lagi dari pemerintah.
Waktu itu walau UU kepolisian sudah disahkan, namun aturan mengenai Kompolnas belum ada. Lembaga ini kemudian dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 17 Tahun 2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Februari 2005. Peraturan ini lalu dicabut dan diganti dengan Perpres Nomor 17 Tahun 2011 yang masih berlaku hingga saat ini. Itu amanah Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yaitu Kompolnas. Itu useless. Mengapa ?
Kompolnas tidak punya hak melakukan audit dan investigasi atas penyimpangan tugas POLRI. Tidak punya hak membentuk peradilan etik bagi anggota POLRI. Tidak berhak memberhentikan KAPOLRI. Jadi apa tugas Kompolnas ? hanya lembaga pengawas ekternal yang menjadi mitra POLRI. Memberikan rekomendasi kepada POLRI. Dan itupun tidak ada kewajiban POLRI untuk patuhi. Apa yang terjadi setelah adanya Perpres tentang Kompolnas?
POLRI itu benar benar lembaga super body. Walau anggota Kompolnas ada perwakilan dari Pemerintah, Mendagri dan Menko Polhukam, namun macan ompong. Tempat orang makan gaji buta sebesar Rp. 25 juta sebulan dan fasilitas pejabat negara. Mengapa ? ya karena Partai inginkan POLRI itu jadi sumber dayanya untuk mengontrol kekuasaan dan gebuk oposan. Dan tentu menggunakan aparat Polisi untuk proses mencapai tujuan politik pragmatis.
Nah hebatnya Jokowi, dia tahu tidak bisa berbuat banyak terhadap POLRI, maka dia gunakan KOMPOLNAS jadi pemimpin orkestra para nitizen untuk mengalunkan musik yang mendorong terjadinya proses reformasi di kepolisian dan sekaligus peradilan. Ingat! Tanpa ada law enforcement maka tidak ada kepastian hukum. Maka negeri ini akan bubar dengan sendirinya atau terjajah oleh atas nama oligarki politik dan ekonomi.
No comments:
Post a Comment