Thursday, August 4, 2022

Tensi China-AS terhadap ekonomi Global

 



Masalah ketegangan AS dan China paska kedatangan Pelocy ke Taiwan, jangan dianggap enteng. Ini lebih serius daripada ancaman resesi global. Maklum China dan AS adalah pusat pertumbuhan dunia. Perekonomian AS dan China menyumbang sekitar 40 % dari PDB global. Di sisi lain, AS mengambil 13,5% dari impor dunia, sementara China menyumbang 10,3%. Dan lagi pusat perdagangan global telah berpindah dari Atlantik ke Pasifik, yang mencerminkan kenaikan Asia dan penurunan Eropa. AS dan China sama-sama kekuatan Pasifik, sehingga ketegangan mereka akan berdampak luas sekali secara ekonomi global. 


Tentu kedua negara ini bersiap menahan belanja dan focus kepada pertahanan domestik. Makanya resiko terhadap kurs kita semakin besar. Secara ekonomi kedua negara ini saling sandera. Dari segi tekhnologi 5G. AS jago dalam hal design namun China jago dalam hal manufaktur. Sebenarnya kedua negara ini saling melengkapi. Namun konyolnya, tidak digunakan peluang itu untuk kolaborasi, tapi malah AS gunakan Taiwan sebagai proxy untuk pusat produksi semikonduktor canggih, yang membantu menjaga ekonomi digital tetap berjalan dan sangat penting bagi AS di masa depan.


***


Sebenarnya kemajuan China sekarang berkat kebijakan tatanan dunia baru yang digagas AS paska perang dingin. Selama setengah abad, hubungan Tiongkok-Amerika berkembang pesat . Pada saat itu, ekonomi AS tumbuh 18 kali lipat, sementara China tumbuh dengan pesat. Itu adalah situasi yang saling menguntungkan: kerjasama AS dan pasarnya yang besar membantu China menjadi kekuatan ekonomi global, sementara arus barang murah China mempertahankan sistem hiper-konsumerisme Amerika, memberikan keuntungan besar untuk sektor korporasinya. Tetapi fondasi hubungan ini mulai terkikis ketika dua realitas muncul ke permukaan. 


Mengapa ?


Pertama adalah kesadaran di Washington bahwa betapapun banyak perdagangan AS dengan China, hal itu tidak akan mengubah China menjadi replika demokrasi liberal AS. China membuka pintu ekonominya ke dunia luar, sambil tetap mengunci pintu politiknya dengan kuat. Presiden Xi Jinping menjelaskan alasannya dalam pidato terkenal tahun 2013 , di mana ia mengungkapkan betapa mengejutkannya runtuhnya Uni Soviet di China. Bagi Washington, pidato ini berbau pengkhianatan. 


Kedua,  adalah krisis keuangan 2008 , yang menyerahkan peran China sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi global. Segera menjadi jelas di Washington bahwa Cina berubah menjadi kekuatan militer yang akan menantang klaim AS sebagai satu-satunya hegemon dunia. Terbukti anggaran milter China terus meningkat. Tahun ini saja anggaran militer China menambah US$ 230,16 miliar atau setara Rp 3.315,24 triliun (kurs: Rp 14.404). Tetapi tetap saja jauh lebih rendah dari anggaran Militer AS. Itu hanya 30% dari anggaran Militer AS pada tahun yang sama.


AS masih yakin bahwa " tatanan dunia baru” harus dipertahankan berdasarkan aturan yang AS tentukan sendiri sebagai negara adidaya. “  Maklum AS punya 800 pangkalan militer  di seluruh dunia. Itu ongkos mahal sekali. Kalau tidak berguna sebagai polisi dunia demi tatanan dunia baru yang diinginkan AS, untuk apa pangkalah militer itu. “ Kata teman. Keyakinan AS itu, juga tertuang dalam The Administration’s Approach to the People’s Republic of China yang disusun oleh kantor Menlu AS pemerintah Biden.


Masalahnya, China bukan negara demokrasi yang bisa mengadobsi aturan “ tatatanan dunia baru” itu. China sudah provent mengelola 1 miliar penduduknya dengan lebih baik dari AS. Dan sukses mengangkat 800 juta rakyat dari kubangan kemiskinan. Sementara ekonomi AS terpuruk. Dunia menyaksikan itu semua. Kekuatan AS sebagai penyokong tatanan dunia baru itu sudah kehilangan legitimasi. Apalagi  AS sendiri yang break WTO dengan perang dagangnya. Dunia anggap AS hipokrit. Mengapa harus patuh dengan konsep AS? 


Di Washington, perdebatan tentang China ditutup. Tidak ada catatan sejarah atau bukti empiris yang akan mengubah pola pikir AS. Pemukulan terhadap China adalah salah satu dari sedikit masalah yang masih mengumpulkan konsensus bipartisan dalam lanskap politik yang sangat terpolarisasi. Di China juga sama. Elite militer China yang ingin segera berperang dengan AS, Xijinping lebih memilih langkah persuasi dan diplomasi. Hubungan antara AS dan China hubungan tanpa status. Kemesraan yang pernah ada tak punya alasan tepat. Kini yang tersisa hanya kebencian dan kemarahan. 


So...


Masalahnya AS semakin bokek dan China semakin tajir, dan bahkan jadi kreditur terbesar AS untuk ongkosi defisit anggaranya. AS tidak menyadari bahwa kemundurannya bukan karena negara lain, tetapi karena kerakusannya. China sadar bahwa mereka butuh pasar global untuk menyalurkan industrinya yang over capacity dan rakyat diatas miiar yang harus diberi makan. Kalau tidak ada titik temu kepentingan kedua belah pihak, maka keduanya akan saling menghabisi. Semua negara di dunia akan jadi korban sia sia…

No comments: