Kemarin saya ketemu denga Ira. Korea udah turunkan suku bunga acuan jadi 3%. Kata Ira. Saya mengatakan bahwa Korea itu kan negara industry yang bergantung kepada ekspor. Disisi lain banyak negara mitra dagangnya melakukan kebijakan proteksionisme tarif bea masuk. Barang ekpor Korea jadi mahal. Nah dengan penurunan suku bunga, cost of fund industri jadi turun. Mereka tetap bisa kompit walau laba menurun.
Kenapa bertolak belakang dengan kebijakan ekonomi kita, yang tetap pertahankan suku bunga tinggi dan pertumbuhan diatas 5%? Tanya Ira. Indonesia itu kewajiban financial luar negeri nya lebih besar daripada asset financial luar negeri. Kata saya. Kewajiban financial luar negeri itu kan kepemilikan asing. Kapan saja bisa kabur kalau suku bunga rendah. Nah jeleknya Indonesia itu, kalau asing hengkang, pemilik asset orang Indonesia ikutan kabur. Kan bisa chaos ekonomi.IDR bisa tumbang.
Kan Cadev kita besar. USD 150 miliar. Apa kurang ? tanya Ira. saya katakan bahwa kewajiban financial luar negeri kita itu diatas USD 700 miliar. Sekitar SD 150 miliar, itu hot money. Kapan aja bisa hengkang. Sementara cadangan devisa kita sebesar USD 150 miliar. Itu engga ada arti. Apalagi dari USD 150 miliar cadev itu engga semua cash. 10% aja dari USD 700 miliar hengkang. Bubar kita.
Jadi yang membuat kita beda dengan Korea karena hutang. Bukankah Korea juga berhutang? Debt to PDB Korea 52%. Lebih besar dari Indonesia. Kata ira. Saya katakan, benar. Tapi asset financial luar negeri punya swasta/BUMN korea itu besar sekali. Maklum sebagian besar PDB mereka disumbang oleh ekspor. Kalaupun ada asset milik asing tetapi itu sebagian besar FDI, bukan surat utang. Jadi resiko capital outflow rendah.
Kebijakan korea menurunkan suku bunga itu sebagai respon terhadap menurunnya permintaan ekspor. Itu makes sense. Ira menyimpulkan. Terus, kenapa proyeksi pertumbuhan Ekonomi juga diturunkan. Dari 2% ke 1,9%. Kan bisa berdampak kepada ekonomi domestic. Saya katakan, pertumbuhan ekonomi turun karena pemerintah memberikan insentif pajak kepada rakyat. Tapi dampaknya karena itu daya beli rakyat meningkat atau dipertahankan. Pasar property bisa bangkit lagi. Nanti setelah keadaan ekonomi pulih, ya insentif pajak tidak ada lagi. Rakyat udah tajir, ya bayar dong pajak tinggi.
Artinya disaat krisis, pemerintah justru berkorban lewat insentif pajak, bukan bansos seperti kita. Kata Ira. Saya katakan. Pajak itu kan instrument keadilan bagi semua. Beda dengan bansos. Bansos itu sejatinya distorsi ekonomi pasar. Karena hanya menyasar kepada golongan tertentu. Kebijakan ekonomi yang sehat secara akal adalah lewat pajak. Kalau daya beli turun, ya insentif pajak diberikan. Kalau daya beli meningkat, insentif pajak tidak ada.
Dalam konteks pajak kenapa pemerintah kita tidak terapkan seperti Korea. Tanya Ira. Ya engga mungkin Indonesia bisa terapkan. Karena APBN kita terjebak hutang. Walau debt to PDB kita 40%, tetapi debt service ratio kita tinggi. Lebih 1/3 APBN habis untuk bayar bunga dan cicilan utang. Hampir ¼ dari ekspor kita untuk bayar utang luar negeri. Kalau kita turunkan pertumbuhan ekonomi, pajak akan drop, ya SBN kita jadi tissue toilet. kata saya.
Bagaimanapun APBN harus ekspansif, harus terus dipompa tinggi walau harus lewat berhutang. Itu prinsip pemerintah kita. Ira menyimpulkan. Mengapa kita terjebak hutang? Lanjutnya. Ya karena pendapatan pajak rendah. Tax ratio dibawah 10% dari PDB. Bandingkan dengan Korea yang tax ratio 30% dari PDB. Makanya DSR mereka rendah hanya 14% dan tidak mengalami debt trap. Jadi walau proyeksi pertumbuhan diturunkan, engga ngaruh amat terhadap fundamnetalnya.
Jadi apa masalah sebenarnya dengan bangsa kita ini Ale? Tanya Ira. Saya tidak mau jawab. Itu pertanyaan yang jawabannya sudah tahu sama tahu, terutama kaum terpelajar dan akademisi. Elite kita itu low class. Bukan hanya soal kompetensi yang low class , juga termasuk moral rendah banget. Doyan banget korupsi dan berbohong lewat pecitraan. Itu aja.