Thursday, January 2, 2025

Ekonomi Indonesia hopeless ?

 





Gerakan rakyat bersuara lewat media social sangat massive. Konten soal kenaikan PPN 12% viral berhari hari. Padahal kenaikan tahun 2022 dari 10 % ke 11 % engga ada yang ribut. Entah apakah ada agenda politik dibalik itu atau tidak. Tapi dengan melemahnya daya beli rakyat terutama kelas menengah, sepertinya issue kenaikan PPN 12% itu bergaung lebih karena ungkapan frustrasi. Engga tahu harus teriak gimana lagi. 


Kalaupun akhirnya kenaikan PPN 12% batal naik untuk konsumsi umum kecuali barang mewah, pendapatan dan daya beli tetap rendah. Karena jumlah PHK tahun ini akan terus bertambah. Diperkirakan akan mencapai 250.000 orang kehilangan pekerjaan. Itu sama saja 1 juta orang Indonesia hopeless di hari hari mendatang.


Mengapa ? 


Ada tiga masalah  yang membuat kita sulit bergerak ke depan secara real dan memastikan bahwa keadaan ekonomi kita sedang tidak baik baik saja.


Pertama. Pada 24 Juni 2024, Presiden Jokowi meminta relaksasi restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 diperpanjang hingga tahun 2025.  Itu penundaan ketiga kalinya.  Menurut   OJK per Maret 2024 total relaksasi kredit mencapai Rp 228 triliun. Padahal udah dingatkan oleh IMF agar tidak boleh diperpanjang. Apa alasan IMF.? perpanjangan program restrukturisasi kredit bisa terus menumbuhkan 'perusahaan zombie'. Bisa jadi, perbankan menyimpan bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Artinya dengan diperpanjang terus menerus, sebenarnya debitor sudah tidak mampu bayar alias macet. Mereka seperti deadduck. Potensi kredit macet itu.


Kedua. Likuiditas dalam negeri seret. Biang keroknya. SBN menyerap dana perbankan dan Lembaga keuangan non bank. Sementara BI melalui instrument SRBI juga menyerap dana bank dan Lembaga keuangan non bank, termasuk dana asing. Dana public masuk kas negara untuk belanja dan masuk kas BI untuk menjaga stabilitas Rupiah. Apa yang terjadi? Dana untuk sector real lewat pemberian kredit modal kerja dan investasi jadi berkurang. Kalaupun ada, suku bunga sudah tinggi. Dengan situasi pasar global suram, cost of fund yang tinggi akan mengurangi minat orang untuk ekspansi. 


Ketiga. Mengutip publikasi BI, total utang sektor publik Indonesia sampai akhir kuartal III-2024, telah mencapai Rp16.601,02 triliun. Itu setara dengan 79,5% terhadap PDB. Utang sektor publik terdiri atas utang Pemerintah (pusat dan daerah) senilai Rp8.607,64 triliun, lalu utang BUMN nonkeuangan Rp1.021,02 triliun. Juga, utang BUMN sektor keuangan sebesar Rp6.972,35 triliun. Sebagai perbandingan, 10 tahun lalu, rasio utang publik terhadap PDB Indonesia baru di angka 57,02%. 


Yang memberatkan sekali adalah sebesar 26,2% adalah utang dalam denominasi valuta asing. Sementara utang publik di mana krediturnya adalah nonresiden (asing), porsinya mencapai 25,53%. Artinya lebih separuh utang ke asing. 15% dari total utang luar negeri adalah berjangka pendek. Apa jadinya kalau terjadi capital outflow ? Bisa tumbang rupiah. Nah untuk menjaga tidak terjadi capital outflow dan kurs tetap stabil,  walau tingkat inflasi rendah namun BI terus pertahankan suku bunga tinggi  dan tentu prospek bisnis sekarang dan akan datang suram.


Dengan tiga masalah itu, agar bank bisa melaksanakan tugas intermediasinya. BI telah membuat Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). BI injek uang ke perbankan lewat REPO line dan pelonggaran GWM, LTV dan lain lain. Namun tidak jelas hasilnya. Mungkin ketidakjelasan wewenang BI dalam hal ini. Karena untuk memastikan bahwa resiko sistemik dikelola dengan baik, tidak ada system  kelembagaan yang bertugas melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap KLM ini. Apalagi sumber uang BI dari sekuritasi SBN yang dibeli dari pemerintah. Sangat beresiko terjadi moral hazard.


Pemerintah tetap mengandalkan APBN ekspansif sebagai lokomotif pertumbuhan. Mengeluarkan dana stimulus sekitar Rp 500 triliun agar daya beli rumah tanngga meningkat dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. Sementara pembayaran utang dan bunga lebih dari 1/3 APBN. Jadi praktis tidak ada dampak pertumbuhan inklusif terhadap belanja APBN, kecuali utang terus bertambah dan ruang fiscal semakin menyempit. Apalagi kedepan, harga komoditas utama Indonesia jatuh di pasar dunia. Penerimaan pajak tidak tercapai. Kita bukan hanya krisis moneter tetapi spiral krisis.


Solusinya?

Pemerintah harus penggal APBN sampai 30%. Restruktur cabinet agar ramping. Sehingga birokrasi jadi efisien dan gesit. Abaikan infrastruktur ekonomi dan proyek marcusuar seperti IKN. Focus aja ke proyek yang dirasakan langsung oleh rakyat seperti pengadaan rumah bagi orang miskin dan swasembada pangan serta hilirisasi pertanian lewat ecologi pertanian.


Untuk anggaran pembiayaan sumber dananya alihkan ke thematic bond. Optimalkan keberadaan INA sebagai sovereign wealth fund atas dasar project derivative value lewat securitisasi cadangan Mineral tambang dan migas. Optimalkan reformasi pajak yang menyasar kepada pengusaha rente yang dapat konsesi HGU Sawit, HGB property, IUP tambang. Kalau itu dilakukan, kita bukan hanya bisa lunasi utang dengan cepat tetapi juga membuat ekonomi tumbuh secara inklusif dan sustain.



Wednesday, January 1, 2025

Ekonomi Vietnam VS Indonesia.

 



Perang Vietnam berlangsung 20 tahun. Berakhir tahun 1975. Perang itu memakan ongkos materi dan non materi serta nyawa yang tidak sedikit. Praktis usai perang. Vietnam kekurangan segala galanya. Banyak orang pintar yang gugur dalam perang. Ada juga yang terpaksa eksodus  ke luar negeri. Data fundamental ekonomi tahun 1980an. PDB per kapita berada di kisaran $200 dan $300. Konsolidasi politik dan perancanaan disusun untuk masa depan. Tahun 1986 pemerintah memperkenalkan “Đổi Mới”, serangkaian reformasi ekonomi dan politik, dengan tema “ekonomi pasar berorientasi sosialis”.


Apa yang dilakukan Vietnam? Pertama, mereka tanpa ragu mengadopsi liberalisasi perdagangan dengan penuh semangat. Berbagai perjanjian perdagangan bebas  ditandatangani. Tahun 1986 UU PMA dibuka luas. Pada tahun 1995, Vietnam bergabung dalam ASEAN. Pada tahun 2000, Vietnam menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan AS, dan pada tahun 2007 bergabung dalam WTO. Vietnam juga ikut dalam kesepakatan Free Trade Area:  ASEAN Free trade Area, Tiongkok, India, Jepang, dan Korea.


Kemitraan Trans-Pasifik yang diamandemen mulai berlaku . Efek kumulatif dari semua perjanjian ini adalah penurunan bertahap tarif yang dikenakan pada impor dan ekspor ke dan dari Vietnam. Secara tidak langsung Vietnam jadi kawasan bebas pajak. Kemudian secara gradual, pemerintah terus memperbaiki UU PMA dan debirokratisasi agar semakin besar peluang modal asing masuk ke dalam negeri.


Apa yang terjadi ? Semua index Ekonomi membaik. Daya Saing Global menurut versi Forum Ekonomi Dunia, naik dari peringkat ke 77 pada tahun 2006 ke peringkat 55 pada tahun 2017. Index easy doing business peringkat 104 pada tahun 2007 ke peringkat 68 pada tahun 2017. Selanjutnya kemajuan terus meningkat significant. Karena kemajuan itu juga ditandai semakin inklusif nya ekonomi yang bisa diakses oleh rakyat. Ekonomi jadi efisien dalam segala hal. Hutang terhadap PDB rendah. Hanya 33,5% ( tahun 2023).


Kedua. Pada waktu bersamaan Vietnam banyak berinvestasi dalam sumber daya manusia dan infrastrukturnya. Vietnam melakukan investasi publik yang besar dalam Pendidikan. Bukan hanya sekolah wajib 9 tahun tetapi penyediaan Lembaga vokasi yang sangat massive dengan beragam keahlian. Kampus terbaik dibidang sains dan tekhnologi juga dikembangkan. Kemitraan international dalam riset kampus dengan swasta local, asing dilaksanakan lewat insentif pajak.


Investasi tersebut membuahkan hasil. Dihitung dari tingkat output dan upah yang dbayar. Menurut laporan McKinsey (2023), pekerja Vietnam memiliki efisiensi kerja 20% dari Indonesia. Kombinasi produktivitas tinggi dan biaya rendah ini, menjadikan Vietnam pilihan utama bagi banyak perusahaan global. Sebagian besar branded dunia diproduksi dan dimanufakur di vietnam. Dari Industri highTech seperti Telp Selular, elekronik, komputer, permesina, otomatif dan sparepart,  sampai yang mass product seperti alas kaki, tabeware dan TPT. Industri dasar seperti Petrokimia yang didukung dengan downstream seperti plastik dan barang barang plastik. 


Dari SDA yang Vietnam miiki juga dikembangkan dengan mindset industri. Vietnam menjadi produsen dan eksportir terbesar untuk hasil laut, seperti udang, cumi, kepiting, dan lobster, Beras. Kontribusi pertanian dan perikanan terhadap PDB 20%. Sementara Share industry dan manufaktur terhadap PDB sebesar 24,8% ( tahun 2022). Vietnam mencatat growth Industrinya, sementara indonesia terjadi deindusrialiasi. Era pak Harto growth Industri diatas 20%. Kini turun jadi 18,52 % yang sebagian besar didominasi oleh industry ekstrasi, bukan industry kreatif.


Nilai perdagangan luar negeri Vietnam pada tahun 2023 mencapai USD 683 miliar. Bandingkan aja dengan Indonesia yang total ekspor migas dan non migas pada tahun yang sama sebesar US$259 miliar. Padahal kekayaan SDA dan jumlah penduduk, Indonesia lebih besar. Indonesia masuk G20. Mengapa ? Tingkat produktivitas pekerja Indonesia dalam periode 2010-2017 hanya tumbuh 3,8%, lebih lambat jika dibandingkan dengan Vietnam 5,8%. Bahkan indikator Total Factor Productivity (FTP) Indonesia pada periode yang sama tumbuh -1,5%. Sementara Vietnam 1,8%


Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Vietnam sejak 2014, selalu lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia kecuali pada 2021. Bahkan yang menarik di saat ekonomi dunia mengalami kepanikan akibat pandemi Covid-19 di 2020, pertumbuhan PDB Vietnam masih berada dalam teritori positif 2,91%. Berbeda halnya dengan Indonesia yang mengalami resesi dan PDB di 2020 terkontraksi menjadi -2,07% dari yang sebelumnya 5,02% pada 2019.


Pertumbuhan PDB per kapita Vietnam juga terlihat lebih cepat dibandingkan Indonesia dalam rentang periode 2014-2022. PDB per kapita Indonesia di tahun 2014 sebesar US$3.531,5 sementara di tahun 2022 menjadi US$4.783,9 atau tumbuh 35,46% dalam delapan tahun. Berbeda halnya dengan Vietnam, PDB per kapitanya tumbuh lebih tinggi yakni 49,13% dalam periode tersebut meskipun secara nominal, PDB per kapita Vietnam lebih rendah dibandingkan Indonesia. Tentu dengan tingginya pertumbuhan ekonomi tidak sulit bagi Vietnam menyalip Indonesia.


Berdasarkan index Pembangunan inklusif yang dilaporkan oleh Forum Ekonomi Dunia, Vietnam merupakan bagian dari kelompok ekonomi yang telah berhasil membuat proses pertumbuhan lebih inklusif dan berkelanjutan. Indicator nya bisa dilihat dari kesetaraan gender. Menurut Bank Dunia, tingkat pekerjaan wanita berada dalam kisaran 10% dari kaum laki-laki dan rumah tangga yang dipimpin perempuan cenderung tidak miskin dibandingkan rumah tangga yang dipimpin laki-laki, meskipun ketimpangan masih ada.


Tahun lalu saya ke Hanoi. Saya  merasakan energi tak terbatas di mana-mana. Orang-orang berlalu-lalang dengan skuter, membeli dan menjual segala hal mulai dari ponsel hingga makanan di toko-toko kecil yang tak terhitung jumlahnya, dan berlari ke sana kemari untuk pergi ke sekolah atau bekerja. Vietnam masih muda, sedang berkembang, dan segala sesuatu terasa mungkin. 


Bagaimana dengan adanya fenomena proteksionisme market domestic bagi negara maju terhadap ekspor Vietnam? Tanya saya kepada teman di Vietnam. “ Dari awal kami konsisten dengan kesepakatan pasar bebas dan Free trade agreement. Tidak pernah ikutan membuat kebijakan tarif proteksionisme. Jadi kami tidak pernah ada masalah dengan perang dagang. Justru karena perang dagang itu, terjadi relokasi industry dari China, Eropa, Korea dan Jepang ke Vietnam. Mereka ingin terhindar dari perang tarif.


Sementara itu, kami rumah produksi bagi banyak PMA negara AS, Cina, Korea, Eropa , Jepang. Semua ekspor oriented. Engga mungkin mereka proteksi pasarnya. Kan pabrik di Vietnam itu korporat mereka sendiri. Kalau kena proteksi, yang rugi mereka sendiri. Dan lagi kami tidak pernah proteksi pasar domestic. Jadi tidak mungkin ada tarif tandingan dari neagara lain. Kami patuh dengan kesepakatan pasar international” Kata teman menjawab secara diplomasi. 


“ Tentu kami sudah persiapkan dengan matang. Sudah ada  jadwalnya kapan saatnya kami akan focus kepada inward looking policy. Setelah Asset financial luar negeri kami cukup kuat, ya kami tidak akan lagi sepenuhnya bergantung kepada PMA dan ekspor. Semua butuh waktu berproses dan semua akan indah pada akhirnya kalau dikerjakan dengan sungguh sungguh dan niat baik “ Lanjut teman. Kunci kemajuan Vietnam adalah ndex korupsi terus membaik dari tahun ke tahun. Kini yang pasti jauh lebih baik dari Indonesia. Mungkin tahun 2025 Vietnam akan jadi naga di Asia Tenggara.