Gerakan rakyat bersuara lewat media social sangat massive. Konten soal kenaikan PPN 12% viral berhari hari. Padahal kenaikan tahun 2022 dari 10 % ke 11 % engga ada yang ribut. Entah apakah ada agenda politik dibalik itu atau tidak. Tapi dengan melemahnya daya beli rakyat terutama kelas menengah, sepertinya issue kenaikan PPN 12% itu bergaung lebih karena ungkapan frustrasi. Engga tahu harus teriak gimana lagi.
Kalaupun akhirnya kenaikan PPN 12% batal naik untuk konsumsi umum kecuali barang mewah, pendapatan dan daya beli tetap rendah. Karena jumlah PHK tahun ini akan terus bertambah. Diperkirakan akan mencapai 250.000 orang kehilangan pekerjaan. Itu sama saja 1 juta orang Indonesia hopeless di hari hari mendatang.
Mengapa ?
Ada tiga masalah yang membuat kita sulit bergerak ke depan secara real dan memastikan bahwa keadaan ekonomi kita sedang tidak baik baik saja.
Pertama. Pada 24 Juni 2024, Presiden Jokowi meminta relaksasi restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 diperpanjang hingga tahun 2025. Itu penundaan ketiga kalinya. Menurut OJK per Maret 2024 total relaksasi kredit mencapai Rp 228 triliun. Padahal udah dingatkan oleh IMF agar tidak boleh diperpanjang. Apa alasan IMF.? perpanjangan program restrukturisasi kredit bisa terus menumbuhkan 'perusahaan zombie'. Bisa jadi, perbankan menyimpan bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Artinya dengan diperpanjang terus menerus, sebenarnya debitor sudah tidak mampu bayar alias macet. Mereka seperti deadduck. Potensi kredit macet itu.
Kedua. Likuiditas dalam negeri seret. Biang keroknya. SBN menyerap dana perbankan dan Lembaga keuangan non bank. Sementara BI melalui instrument SRBI juga menyerap dana bank dan Lembaga keuangan non bank, termasuk dana asing. Dana public masuk kas negara untuk belanja dan masuk kas BI untuk menjaga stabilitas Rupiah. Apa yang terjadi? Dana untuk sector real lewat pemberian kredit modal kerja dan investasi jadi berkurang. Kalaupun ada, suku bunga sudah tinggi. Dengan situasi pasar global suram, cost of fund yang tinggi akan mengurangi minat orang untuk ekspansi.
Ketiga. Mengutip publikasi BI, total utang sektor publik Indonesia sampai akhir kuartal III-2024, telah mencapai Rp16.601,02 triliun. Itu setara dengan 79,5% terhadap PDB. Utang sektor publik terdiri atas utang Pemerintah (pusat dan daerah) senilai Rp8.607,64 triliun, lalu utang BUMN nonkeuangan Rp1.021,02 triliun. Juga, utang BUMN sektor keuangan sebesar Rp6.972,35 triliun. Sebagai perbandingan, 10 tahun lalu, rasio utang publik terhadap PDB Indonesia baru di angka 57,02%.
Yang memberatkan sekali adalah sebesar 26,2% adalah utang dalam denominasi valuta asing. Sementara utang publik di mana krediturnya adalah nonresiden (asing), porsinya mencapai 25,53%. Artinya lebih separuh utang ke asing. 15% dari total utang luar negeri adalah berjangka pendek. Apa jadinya kalau terjadi capital outflow ? Bisa tumbang rupiah. Nah untuk menjaga tidak terjadi capital outflow dan kurs tetap stabil, walau tingkat inflasi rendah namun BI terus pertahankan suku bunga tinggi dan tentu prospek bisnis sekarang dan akan datang suram.
Dengan tiga masalah itu, agar bank bisa melaksanakan tugas intermediasinya. BI telah membuat Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). BI injek uang ke perbankan lewat REPO line dan pelonggaran GWM, LTV dan lain lain. Namun tidak jelas hasilnya. Mungkin ketidakjelasan wewenang BI dalam hal ini. Karena untuk memastikan bahwa resiko sistemik dikelola dengan baik, tidak ada system kelembagaan yang bertugas melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap KLM ini. Apalagi sumber uang BI dari sekuritasi SBN yang dibeli dari pemerintah. Sangat beresiko terjadi moral hazard.
Pemerintah tetap mengandalkan APBN ekspansif sebagai lokomotif pertumbuhan. Mengeluarkan dana stimulus sekitar Rp 500 triliun agar daya beli rumah tanngga meningkat dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. Sementara pembayaran utang dan bunga lebih dari 1/3 APBN. Jadi praktis tidak ada dampak pertumbuhan inklusif terhadap belanja APBN, kecuali utang terus bertambah dan ruang fiscal semakin menyempit. Apalagi kedepan, harga komoditas utama Indonesia jatuh di pasar dunia. Penerimaan pajak tidak tercapai. Kita bukan hanya krisis moneter tetapi spiral krisis.
Solusinya?
Pemerintah harus penggal APBN sampai 30%. Restruktur cabinet agar ramping. Sehingga birokrasi jadi efisien dan gesit. Abaikan infrastruktur ekonomi dan proyek marcusuar seperti IKN. Focus aja ke proyek yang dirasakan langsung oleh rakyat seperti pengadaan rumah bagi orang miskin dan swasembada pangan serta hilirisasi pertanian lewat ecologi pertanian.
Untuk anggaran pembiayaan sumber dananya alihkan ke thematic bond. Optimalkan keberadaan INA sebagai sovereign wealth fund atas dasar project derivative value lewat securitisasi cadangan Mineral tambang dan migas. Optimalkan reformasi pajak yang menyasar kepada pengusaha rente yang dapat konsesi HGU Sawit, HGB property, IUP tambang. Kalau itu dilakukan, kita bukan hanya bisa lunasi utang dengan cepat tetapi juga membuat ekonomi tumbuh secara inklusif dan sustain.
***
Selama ini kita menilai kinerja ekonomi negara atas dasar pertumbuhan PDB. Cara ngitungnya menggunakan model statistic berdasarkan data akuntasi negara. Namun pertumbuhan PDB tinggi tidak inline dengan kesejahteraan. Prabowo mengatakan dalam pertemuan di Lima, Peru. Walau Indonesia tergabung dalam kelompok negara 1 trilon dollar AS PDB namun Prabowo akui kemiskinan di Indonesia masih dalam skala besar.
Buku The Financialization of GDP: Implications for economic theory and policy (Routledge Advances in Heterodox Economics) oleh Yacob Assa, berusaha membongkar teori PDB. Assa berusaha menelusuri semua aspek dari teori dan kebijakan terkait financialisasi PDB itu. Dia berpendapat PDB tidak clean sebagai indicator ekonomi. Mengapa? PDB tidak memasukan biaya pencemaran lingkungan, dan tidak menghitung pekerjaan yang tidak dibayar.
Mengapa negara berusaha menggenjot eksploitasi SDA dengan berani mengorbankan resiko lingkungan. Eksploitasi hutan jadi tanaman monokultur ( sawit dan estate food) yang berdampak kepada pemanasan global. Pemberian konsesi IUP dalam skala sangat luas untuk tumbuhnya industry ekstraksi. Itu semua tidak lain cara pemerintah menjadikan potensi SDA itu menjadi potensi ekonomi dan bisa dihitung secara financial.
Sehingga hitungan PDB itu bisa dijadikan underlying untuk mengakses sumber daya keuangan lewat pasar uang. Dengan akses besar itu pemerintah tetap bisa mempertahankan APBN yang ekspansif. Walau hutang bertambah, kelak PDB akan bertambah juga. Tentu akan semakin besar akses kepada sumber daya keuangan. Begitu cara berpikir sederhananya. Ya tak ubanya dengan skema ponzy.
Yang jadi masalah, PDB hanya akuntasi dan statistic, sementara hutang adalah real. Benar benar ada dan jelas tanggung jawabnya. Yaitu bayar bunga dan utang. Nah pas bayar kan tidak bisa dari angka PDB, tentu harus dari kinerja real berupa pajak dan pendapatan devisa dari ekspor. Yang jadi masalah pertumbuhan ekonomi lewat financialisasi PDB itu justru semakin lama membuat fundamental ekonomi real negara jadi berkurang. Itu ditandai semakin besarnya belanja yang didominasi oleh pembayaran utang dan bunga. Akibatnya mengurangi kemampuan negara create job.
Jadi paham ya mengapa pemerintah Prabowo mulai tahun ini melarang BPS mengeluarkan laporan indicator ekonomi yang sudah berlangsung sejak tahun 1970. Karena memang laporan itu bias dan absurd. Contoh BPS melaporkan tingkat inflasi terendah bulan desember. Pemerintah bangga. Tapi yang dirasakan rakyat justru harga harga pada naik. Nah mana yang benar? Kan jadi polemic omong kosong. Sementara data BPS tidak pernah jadi solusi agar rakyat tidak bokek. Kecuali hanya onani doang.
No comments:
Post a Comment