“ Duh, bahagianya hati ini. Akhinrya Allah mengabulkan juga doa Aini untuk datang ke Baitullah bersama suami tercinta. Puja puji padamu ya Allah. “ Terdengar suara Aini lambat di sampingku, terkesan berbisik di kupingku. Disandarkannya kepalanya kepundakku sambil tersenyum. Lambat kemudian dia tertidur dalam mimpinya. Sebentar lagi pesawat yang kami tumpangi akan mendarat di Jeddah. Kutatap wajah wanita usia 40 an yang terlelap tenang. Dia adalah istriku. Wanita yang telah dengan setia mendampingi hidupku.
Bagiku Aini lebih daripada seorang istri. Dia adalah srikandi bagi keluarga kami. Anak anak sangat mencintainya. “ Mama ku cantik” demikian sibungsu menyebut mamanya. “ Wah mama ku pintar? “ begitu kekaguman si sulung terhadap mamanya. Kutarik nafas dalam dalam. Kucoba tahan setiap garakan badanku. Berharap Aini tetap pulas tertidur. Sambil membelai kepalanya , dalam hati aku berkata“ Ah , mah, kamu pantas mendapatkan kebahagiaan ini. Kerinduanmu kepada baitullah tak pernah henti. Aku bersyukur akhirnya dapat memberikan kebahagiaan yang berarti untukmu. “
Lamunanku menarawang jauh ketika awal kami berumah tangga. Kami tidak pernah menjalin cinta sebelum menuju kepelaminan. Setelah punya penghasilan, bunda memintaku agar segera menikah. Wanita yang akan menjadi istrikupun sudah dipilihkan oleh bunda. Tak banyak yang dapat kulakukan untuk membantah pituah bunda. Sebulan setelah itu. Surat dari kampong mengabarkan bahwa aku sudah ditunangankan dengan Nurani. Juga dilampirkan photo Nuraini. Nampak wajahnya cantik tersenyum tipis. Senyum halus menghias wajahnya memancarkan makna keagungan wanita muslimah. Setelah itu aku disibukkan dengan bisnis dan sampai akhirnya waktu untuk melangsungkan pernikahan. Pertama kali kutatap langsung wanita yang akan menjadi istriku adalah ketika dipertemukan untuk melangsungkan ijab qabul.
“ Bang , mungkin Aini bukanlah wanita sempurna sebagai pendamping abang, Aini butuh bimbingan abang. Bila Aini salah , jangan sungkan, tegurlah Aini. “ Demikian ucapan pertamaku dengar dari Nurani ketika bertemu di malam pertama. Tak lupa dia menjabat tanganku sambil meletakkan tanganku ke keningnya dan kemudian mencium tanganku “ Terimakaasih abang sudah sudi menjadikan Aini sebagai istri. Aini akan berbakti untuk abang. Terimakasih ya bang. “ Wajahnya tetap tertunduk tanpak sungkan menatap wajahku. Kutengadahkan kepalanya. “ Abang juga terimakasih. Karena Aini sudah sudi menjadi istri abang. Kita sama sama bangun rumah tangga kita. Dan sama sama saling mengingatkan.” “
Selanjunya hari hari kami isi dengan penuh kebahagiaan. Meskin awal tak ada cinta namun seiring waktu berjalan cintapun tumbuh bersemi hingga membuat kami tak terpisahkan. Dengan pedapatanku yang sangat terbatas , dia harus mengatur biaya rumah tangga dengan menyisihkan sebagian untuk keluagaku di kampung. Rumah tangga kami tanpa servant ( PRT). Dari memasak , mencuci dan membersihkan rumah semua dia kerjakan sendiri. Lima belas tahun berumah tangga. Kami berhasil mengantarkan adik adik menyelesaikan studinya dan berumah tangga.
“ Bang,… “ Seru Aini sambil berhias di depan cermin sebelum berangkat tidur. Itu memang kebiasaannya sedari awal kami menikah. Dia selalu berhias dengan rapi ketika naik ketempat tidur menemaniku. Tempat tidur kami selalu rapi. Selalu harum. Sama seperti awal kami menikmati malam kemantin baru. Aini sangat memperhatikan suasana kamar.
“ Ya ada apa ?“
“ Tadi siang, bunda cerita kalau dia sangat ingin pergi ke tanah suci. Tapi tabungannya tidak cukup “
“ Emang bunda punya tabungan berapa ? “ tanyaku kaget.
" Empat ratus ribu “ jawab Aini sambil tersenyum.
" Empat ratus ribu ? 'Aku terkejut bingung
Aini menganggukan kepala dengan wajah polosnya
"Kamu engga salah." Seruku.
Aini menggelengkakan kepalanya dengan tersenyum.
" Bagaimana cukup untuk pergi haji.” Jawabku sambil mengerutkan kening.
‘ Bukan itu masalahnya, bang. Aku ingin bunda pergi haji tahun ini. “ katanya sambil menghampiriku dan mengurut pundakku dari samping. Begitulah cara Aini bila kami masuk dalam arena beradu argumentasi. Dia selalu manja.
‘ Ya darimana uangnya. ?
" Aku ada uang. Dari hasil menjahit dan sisa uang belanja aku tabung. Sekarang jumlahnya hampir Rp. 15 juta. “ kata Aini sambil berdiri mengambil buku tabungan di dalam lemari. Di perlihatkannya kepada ku dengan manja. Ya itulah Aini yang selalu pandai menjaga penghasilanku dan membantu mengurangi bebanku. Dia tidak pernah mengenal Mall atau ikutan dengan istri teman temannya pergi jalan jalan. Kalaupun dia keluar rumah bersama teman temannya tak lain untuk pergi ke majelim taklim.
“ Kamu tau , berapa ongkos pergi hají. Lima belas juta engga cukup ! “ seruku.
‘ Aku akan bicarakan dengan adik adik abang. Semoga mereka mau ikut sokongan menutupl kekurangannya. “ Nampak Aini bicara dengan hati hati sambil menundukkan kepala. Tak ingin menatap mataku langsung. Aku tahu , hal ini sangat berat baginya untuk menyampaikan usulan itu. Namun aku berusaha menatap wajahnya. Dia tersenyum.
“ Kamu serius “ tanyaku.
Dia mengangguk sambil memancarkan wajah ikhlasnya.
Kucium keningnya.
“ Tapi aku tidak bisa membicarakan ini kepada adi adik. Kamu kan tau sikap mereka” Aku menyadari bahwa walau kehidupan ekonomi adik adik semua sudah lebih dari cukup dan bahkan melebih kehidupan kami. Kami tidak bisa memaksakan kehendak agar mereka ikut sokongan. Bukankah hidayah itu adalah kehendak allah. Aini selalu mengirimi uang belanja untuk bunda di kampung. Aini tidak pernah membedakan kecintaannya antara ibunya dengan mertuanya. Aku tahu kecintaannya kepada orang orang terdekatku sangat tingggi sebagaimana dia mencitaiku. Tak pernah dia merasa terbebani.
“ Ya. Besok biar Aini yang bicara dengan mereka. Yang penting abang izinkan Aini untuk bicara dengan mereka “ katanya dengan sedikit manja.
Keesokan harinya.
Diwajah Aini ada sedikit mendung.
“ Mereka tidak bersedia ikut sokongan. Padahal aku sudah telp bunda untuk rencana keberangkantannya ke Haji tahun ini. Bunda senang sekali. “
Aini tidak mau membicarakan alasan penolakan adikku. Itu sudah menjadi sifatnya yang tak pernah membahas sifat orang lain. Dia terdiam. Tak mau menatap wajahku. Namun aku tahu dia sangat tertekan. Aini selalu tegar dalam menghadapai persoalan. Tapi kini dia nampak kalah dan bingung. Aku tak ingin Ainiku larut dalam duka. Aku ingin membuat Aini tersenyum.
“ Ya sudahlah. Abang ada tabungan Rp. 20 juta. Tapi itu untuk persiapan Dodi kuliah tahun depan. “ kataku. Dodi adalah putra sulung kami yang sekarang sudah kelas tiga SMU." Nanti setelah Dodi kuliah, kita nabung lagi untuk bunda pergi haji , gimana ? Sambungku seraya mengusap kepalanya.
“ Pakai aja uang itu bang. Kan cukup untuk menambahi tabunganku.” Di tatapnya wajahku dengan mimik seakan menemukan sesuatu yang sangat diinginkannya.
“ Tapi bagaimana dengan persiapan uang kuliah Dodi. “ jawabku bingung.
“ Rezeki itu dari Allah. Mungkin ini sudah kehendak Allah agar kita pergunakan untuk memuliakan orang tua. Kan abang selalu ajari Aini untuk selalu ikhlas berbuat baik kepada siapapun , khususnya kepada orang tua.”
" Ya tapi...” kembali kebimbangan membuncah dipikiranku. Antara tanggung jawab untuk kuliah anak dan keinginan berbakti membahagiakan bunda.
“ Bang...” seru Aini.
Akupun tersentak. „ Ya „
“ Ikhlas ajalah Bang. Bunda sangat berharap sekali.” Kembali dia meneguhkan tekadku.
Aini selalu tampil penyeimbang dalam setiap kegalauanku menghadapi persoalan. Dia juga selalu mengingatkanku agar hanya uang halal sajalah yang dibawa pulang kerumah. Dia tidak banyak menuntut apapun. Karena dia sudah sangat berbahagia menjadi istriku dan ibu dari anak anakku. Itu selalu dikatakannya ketika aku menghadapi tekanan biaya hidup.
“ Ya. Baik. Besok kita ambil uang di bank. Kita setor untuk biaya keberangkatan bunda ke tanah suci.” Jawabku ”Tapi jangan cerita tentang keadaan keuangan kita kepada bunda. Karena bila bunda tau kita menggunakan tabungan kuliah Dodi ,pasti bunda tidak mau menerimanya.” Sambungku.
” ya. Aini janji.” Aini memelukku dengan perasaan senang sambil berkata ” Puja puji kepadamu ya Allah, akhirnya terkabulkan juga niat kami untuk memuliakan bunda ” Kulihat airmatanya mengambang di pelupuk matanya. Aini bahagia sekali. Diapun bersegera sujud syukur. Bagiku membuat Aini bahagia itu lebih dari segala galanya. Aku tak lagi memikirkan persiapan kuliah Dodi. Kami ikhlas untuk memuliakan orang tua.
Ketika mengantar bunda ke Pondok Gede. Aku memeluk bunda dengan erat. ”Maafkan aku bunda. Seharusnya aku mendampingi bunda ke tanah suci. Apalagi Ayah sudah meninggal. Bagaimana bila terjadi apa apa dengan bunda di sana” kataku sambil menitikkan air mata.
Bunda menatap wajahku dengan senyum.
” Terimakasih anakku. Semoga allah memberkati hidup mu dan keluarga mu. Semoga amal sholehmu diterima Allah. ”Jawab bunda sambil menghapus air mataku. "Engga usah kawatirkan bunda. Kan bunda ke rumah Allah. Tentu Allah-lah yang akan melindungi bunda. Apakah ada tempat teraman didunia ini selain di rumahNYA.“ Sambung bunda.
Kemudian bunda memeluk Aini “ Terimakasih Anakku. Kamu teramat baik sebagai menantu, juga bagi suamimu. Keihlasan mu , hanyalah rahmat allah balasannya.”
" Bunda" Aini tak bisa menahan tangisnya. " Tolong doakan kami di sana agar kami mendapatkan kesempatan juga datang ke rumah Allah. Kami ingin sekali bunda...”
“ ya ..tentu anakku. Kalian adalah permata hati bagi bunda. Tentu”
Dalam perjalanan pulang dari Pondok Gede Aini tampak bahagia sekali. Didalam angkot , Aini berkata kepada ku “ Semoga ya bang , suatu saat nanti anak anak kita dapat pula memberangkatkan kita ketanah suci. Aini ingin sekali bang..” Aku tersentak. Begitu mulia hatinya. Seakan menghibur diri dalam keterbatasan materi yang kami miliki. Saat itu aku sedang bangkrut. Dia tak ingin membuat aku merasa berhutang untuk membawanya ketanah suci. Namun kata katanya , sudah menjadi tekadku untuk berusaha sekali dalam hidup ini membahagiakannnya dengan membawa dia ketanah suci. “ Oh Tuhan, beri kesempatanku untuk memuliakan istriku, setidaknya memberikan kebahagiaan dengan membawanya kerumah Mu ya Allah. “
Tengah malam aku tersentak ketika terdengar rintihan suara. Nampak Aini sedang berdoa seusai sholat tahajud “ Ya Allah. Bila pengabdian dan keikhlasanku kepada suami merupakan amal ibadah terbaik bagimu maka lapangkanlah urusan suamiku Ya Allah. Bila keikhlasanku berbakti kepada Ibu mertua adalah amal sholeh terbaik bagi mu maka lindungilah kami dari fitnah dunia ini. Hanya kepadamulah aku berharap dan kepadamu jualah aku memohon perlindungan. Maha Suci engkau ya Allah. Segala puja puji hanya teruntuk mu. Amin. “
Kudengar rintihan doa Aini sambil memejamkan mata. Doa itu selalu kudengar setiap malam. Kadang kulihat Aini menitikkan airmata. Biasanya setelah dia usai, akupun terbangun. Untuk sholat tahajud. Kemudian kami sholat subuh berjamaah. Itulah kebiasaan kami yang tak pernah henti berharap kepada Allah ketika pintu lain minta tolong tertutup rapat. Ketika sesaknya kehidupan membuat kami semakin dekat kepada Allah. Selebihnya kami ikhlas. Aini sangat ikhlas. Tak ada sedikitpun rasa kawatirnya terhadap masa depan kami. Aini sangat yakin , Allah tidak akan membiarkan kami menderita, tidak akan membiarkan kami menghadapi beban yang tak sanggup kami emban. Aini yakin seyakin dia menerima takdirnya sebagai istri dan ibu dari anak anakku.
Seminggu bunda di tanah suci aku dapat peluang sebagai arranger soft loan untuk proyek APBN. Sahabatku memberi peluang itu kepadaku. Dalam kondisi bangkrut, bagiku itu sama saja mission impossible. Walau aku harus keluar negeri mendapatkan sumber pembiayaan, namun Aini menguatkanku untuk terus melangkah. Seminggu kemudian titik terang upayaku mulai menampakan hasil. Pihak dan lembaga terkait dalam pembiayaan soft loan bersedia memberikan pinjaman sesuai dengan protokol pemerintah. Belum pulang Bunda dari Makkah, aku sudah berhasil mendapatkan komisi USD 1,8 juta. Artinya aku bisa bangkit lagi dari kebangkrutan. Maha suci Allah.
Ketika sampia di tanah air, aku ceritakan kesuksesanku kepada Aini. Dia langsung sujud syukur. Setahun kemudian, tahun 2003 aku bersama Aini sudah di dalam pesawat menuju Baitullah. Melalui speaker terdengar pengumuman dari pramugari bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat di Jeddah.
Aini terjaga dari tidurnya.
“ Abang, kita sudah hampir sampai ya bang. “ tanyanya sambil mengusap wajahnya. Dia melirik ke arahku dengan tersenyum indah. Kugenggam jemarinya yang tidak lagi sehalus ketika awal kukenal dia. Telapak tangannya terasa kasar karena setiap hari harus bekerja di rumah. Walau tak lagi halus. Namun dia tetap srikandiku. Wanita soleha selalu menciptakan kedamaian bagi seisi rumah. Selalu menjadi penyejuk di tengah panasnya pergulatan hidup. Selalu menjadi pembuka rezeki bagi suami. Selalu membuat pria merasa pantas terlahirkan Itu semua ada pada Ainiku. My belove, you always on my mind...