Thursday, October 13, 2022

Mungkinkah kita krisis ?

 





Devisa negara kita memang besar. Itu menjadi acuan setiap pengamat bahwa Indonesia akan tahan terhadap resesi. Tapi orang lupa tentang teori dalam dunia keuangan. N = Px/Pm. N, merupakan TOT ( term of trade ), indeks harga ekspor (Px) berbanding terbalik dengan indeks harga impor (Pm). Dengan rumus itu artinya kenaikan N, karena perubahan harga ekspor yang lebih besar relatif terhadap harga impor. Indonesia, ekspor kita didominasi SDA, memiliki volatilitas TOT yang 3 kali lebih volatil dibandingkan negara-negara yang mengekspor barang manufaktur. Selain besaran pergerakan TOT, volatilitas ini juga mempengaruhi nilai tukar riil suatu negara.


Apa artinya?, kalau ekspor turun maka devisa kita cepat sekali tergerus. Karena 60% ekspor kita dari komoditas tradisional berbasis SDA, itu cepat sekali mempengaruhi nilai tukar riil.  Rupiah bisa terjun bebas. Pengalaman tahun 1998, itu contoh sederhana dan faktual. Kita bisa saja bangga dengan kemajuan kita sekarang dan anggota G20. Bisa saja merasa aman karena kata IMF kecil sekali kita kena resesi. Namun fakta,  struktur bangun ekonomi kita tidak berubah sejak era Soeharto. Makan dari komoditas pemberian Tuhan. Sama dengan monyet. Engga pakai otak untuk kembangkan value tetapi otot dan ngoceh.


Apa yang terjadi kalau resesi dunia tahun depan meluas ? Menteri keuangan dengan tegas mengatakan bahwa tahun depan (2023) tidak akan ada lagi Windfall profit yang berasal dari komoditas. Permintaan dunia turun, slowdown sebagai dampak dari resesi.  Nah kalau permintaan turun, harga juga pasti akan turun. Efek rambatan turunnya ekspor ini akan sangat kuat jika Eropa, terutama Jerman, mengalami resesi. Ketika Eropa resesi, ekspor China akan terdampak. Produksi China akan drop. Tentu demand china terhadap komoditas juga turun. Padahal partner dagang terbesar Indonesia adalah China.


Tidak banyak pihak yang sadar, AS sudah menjadi net exporter komoditas energi saat ini. Jika harga komoditas energi naik, otomatis dolar akan terkerek naik. Nah, kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve akan menarik dolar di pasar global kembali ke AS. Dollar akan semakin kuat. Dampaknya sangat significant terhadap balance sheet effect. SBN dalam dollar AS akan semakin tinggi bunga dan angsurannya dalam rupiah. Begitu juga hutang  valas korporat seperti PLN dan Pertamina dan lain lain. Investor asing pasti hengkang. Karena kurs dollar menguat terhadap rupiah akan mengurangi laba bagi mereka masuk ke pasar domestik. index Bursa akan jatuh.


Dampak lebih luas terhadap dunia usaha ? Perhatikan, semua korporat yang berbisnis komoditas SDA seperti tambang, CPO, dan lain lain itu semua berkembang karena hutang bank. Baik hutang langsung maupun instrument credit antar bank berupa Non Cash loan. Kalau cash flow mereka seret akibat permintaan ekspor  turun dan harga juga turun, pastilah mereka akan mengalami kesulitan bayar bunga dan cicilan. Nah kredit korporat akan banyak masuk program recovery perbankan, mengharapkan fasilitas pemerintah agar selamat.  Kalau lambat mengantisipasi maka itu akan menjadi pasien NPL. Dampaknya juga kepada transaksi antar bank. Satu NPL akan diikuti oleh yang lainnya dengan cepat. Maklum moral hazar dari adanya crisis. Sistemik. Akan merambat ke sektor jasa seperti logistik, perdagangan dan pariwista.


Bagi pengusaha besar, keadaan tersebut sudah diantisipasi. Mereka belajar dari krisis tahun 1998. Hampir semua kepemilikan saham perusahaan sudah terdaftar di luar negeri. Engga mudah dibeslah. Laba mengalir ke luar negeri lewat skema yang rumit. Setiap ekspansi  bisnis, 70% dari bank dalam negeri. Hanya 30% dari laba. Kalau ada apa apa, mereka tinggal angkat koper dan terbang keluar negeri. Tunggu keadaan normal. Sambil menanti itu mereka menikmati kemewahah hidup,  sementara rakyat suffering akibat kurs rupiah yang terjun bebas, harga pada naik semua, inflasi merangkak naik, gelombang PHK terjadi meluas.


Jadi apa solusi mengatasi krisis itu ? Arahkan dana kompensasi sebesar Rp. 520 triliun untuk PLN dan Pertamina ke proyek pusat pengembangan industri downstream CPO. Engga usah jual CPO mentah kalau harga jatuh. Jual dalam negeri aja dalam bentuk  produk downstream seperti oleo kimia dan oleo pangan. Batubara juga olah dalam bentuk downstream lebih luas sehingga kita bisa mandiri soal energi. Nikel dan lain lain juga sama. its now or never. Disaat krisis, kita harus bersatu. Mari kita ubah haluan bahtera Indonesia raya ini ke arah ekonomi yang transformatif. Udah cukup kebodohan masa lalu. Dan udah dech korupsi.


***

Waktu saya menulis di blog tentang “ mungkinkah kita akan krisis? banyak WA dan Inbox membully saya dan bilang saya sok tahu dan pesimis. Kadrun model baru. Saya tidak balas satupun message itu. Mungkin penjelasan saya diawali dengan sangat akademis terhadap analisa kemungkinan di tahun 2023. Begini ya cara berpikirnya. Kalau kita ingin menganalisa masa depan, maka harus ada dasar teori akademis untuk membaca situasi yang ada sekarang. Itu pentingnya berpikir sains. Itu bedanya dengan halu.


OK saya lanjut saja jawabnya. Sekarang vulgar dech.


Anda tahu, mengapa inflasi terjadi ? karena uang yang beredar tidak semua masuk ke sektor real. Contoh, uang dipompa negara dari bank central melalui perbankan Rp. 100 juta. Terus masuk ke rumah tangga perusahaan Rp. 50 juta. Masuk ke rumah tangga publik Rp. 10 juta. Kembali ke bank central Rp. 2 juta. Kemana yang 98 juta? masuk ke sektor financial. Apa yang terjadi ? Antara sektor produksi dan financial tidak balance. Atau disebut imbalance economy. Sampai disini paham ya.


Lama lama, uang beredar semakin banyak dan produksi stuck. Ketimpangan antara produksi dan keuangan semakin lebar. Maka hukum demand and supply berlaku. Kalau engga, ya akan terjadi adjustment secara paksa. Uang akan terjun bebas nilainya. Siapa yang korban? ya orang kaya yang punya aset financial. 


Nah agar orang kaya tidak korban. Maka negara naikan suku bunga. Dengan suku bunga tinggi, orang kaya akan pindahkan aset financialnya ke bank dan akhirnya bank central dan negara kuasai lewat produk semacam SBI dan SBN. Orang kaya semakin kaya dapat bunga tinggi, tapi negara kuasai uang untuk lakukan redistribusi uang melalui SBPU dan stimulus agar kembali kepada keseimbangan.


Selama proses menuju keseimbangan itu, terjadilah krisis. Tentu orang miskin pasti menderita. Harga melambung. Kredit KPR dan leasing naik. Itu memenggal pendapatan tetap mereka yang buruh dan perkerja. Itu engga masuk hitungan negara. Karena orang miskin itu bukan sumber daya yang harus dijaga. Yang harus dijaga itu orang kaya, Karena mereka yang ongkosi negara ini lewat pajak. Karena pajak mereka negara  terus eksis. Begitu hukumnya.


Nah pertanyaan terakhir. Mengapa terjadi ketidak seimbangan antara aset financial dan produksi? karena sebagian besar uang yang beredar masuk ke sektor non tradable alias rente. 40% APBN dikorupsi dan jelas uangnya masuk ke aset financial. Belum lagi uang rente, itu sebagian besar masuk ke binis rente juga dan pasar modal yang bubble.


Itu semua udah penyakit bawaan kapitalisme. Makanya sejak kapitalisme diperkenalkan, sejak itupula dunia berkali kali mengalami krisis. Jadi, bego aja kalau kita terlalu banyak mikir halal haram, apalagi nasionalisme. Mengapa ? Lah hukum dan UU memang diciptakan untuk orang jadi kaya. Dan negara di design jadi pecundang. Itu sebabnya Bokek sama dengan bego.


***


“ Apakah kita akan kena dampak krisis seperti negara lain yang sudah mengarah ke resesi? Tanya teman.


“ Sebelum saya jawab, sebaiknya kamu pahami apa itu krisis dan apa itu resesi. Krisis itu apabila cash flow terganggu akibat lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan. Sementara utang semakin sulit didapat. Resesi, apabila proses produksi melambat karena pasar tidak mendukung. Karena ongkos terlalu gede dan daya beli menurun. Setuju engga ?


“ Ya setuju. “


“ Nah kalau itu tidak mungkin terjadi di Indonesia. Kalaupun terjadi kecil sekali kemungkinan“ Kata saya


“ Mengapa ?


“ Saat sekarang rasio credit perbankan terhadap PDB hanya 35%. Rasio pasar modal terhadap PDB 50,76 %. Uang beredar terhadap PDB 45%. Artinya hanya segelintir saja yang menikmati distribusi uang. Sementara segelintir itu punya tabungan bisa bertahan lebih dari 10 tahun resesi. Jadi daya beli tetap ada. Beda dengan negara lain yang umumnya rasio diatas 100%. Jadi terdistribusi modal luas sekali. Kalau ada krisis maka cepat sekali terkena imbas resesi. Karena tabungan mereka hanya bisa bertahan 1 tahun. “


“ Tapi kan akan berdampak kepada ketidak stabilan politik., Karena kalau harga naik yang korban rakyat jelantah. Mereka kan engga ada tabungan. “ Kata teman.


“ Sejak era Jokowi rasio Investasi terhadap PDB setiap tahun berkisar 30-42%. Kita mengalahkan semua negara ASEAN. Bahkan Eropa dan AS kalah jauh dengan kita. Tapi ICOR (Incremental Capital Output Ratio) level ICOR 6,24 pada 2022. Paling tinggi di ASEAN. Artinya uang mengalir ke elite dan rente lebih besar. Engga percaya? Lihat Index Corruption Perception tidak berubah sejak tahun 2015. Liat juga Indeks Crony Capitalism, Indonesia berada dalam urutan ke 8 terburuk di dunia tahun 2021. Sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors). Makanya kalau ada kebijakan tidak populer untuk mengatasi krisis pasti didukung oleh elite. Rakyat protes akan dituduh makar. People power akan dihadapi bedil tentara. Atau dikasih BLT juga udah adem.” Kata saya.


“ Ok. Gimana dengan kurs rupiah” tanya teman.


“ Indonesia itu punya lampu ajaib. Sistem mata uang kita berdasarkan UU mata uang memungkinkan BI cetak uang 10% dari uang beredar. Dengan syarat pertumbuhan ekonomi diatas 5% dan inflasi di bawah 3%. 10% uang ini tidak diberikan kepada pemerintah. Tetapi jadi tabungan atau cadangan di BI. Dana ini diawasi BPK. Hanya digunakan untuk operasi pasar mengamankan moneter. Mengapa? karena berdasarkan fundamental ekonomi, memang nilai rupiah itu undervalue. Jadi kalau BI cetak uang 10%, itu trade off atas undervalued mata uang.


“ Apa itu undervalued? 


“ Misal, seharusnya kurs 1 USD = Rp. 8.000 Tapi kurs terus melemah diatas Rp. 14000. Semakin lemah rupiah semakin undervalued. Contoh sederhana kurs MdDonal. Di Singapore harga McDonald. 85,000 IDR (8.00 SGD) untuk Big McMeal di McDonalds atau BurgerKing (atau makanan kombo serupa), Di Indonesia harganya Rp. 34.000. Itu artinya perbedaan 2,5 kali dari Indonesia. Kalau kurs 1 SingDollar = Rp. 10.500. Seharusnya 1 SinDolar = Rp 3500. Di AS harga MCD bigmeal USD 5,99 atau Rp. 88.500 atau 2,5 kali. Kan seharusnya kurs rupiah bukan 1 USD =15.000 tapi Rp. 6000.


Nah kondisi ini digunakan BI dan Menteri Keuangan sebagai instrument untuk mengelola moneter dan fiskal. Lantas mengapa rupiah dikelola undervalued? Maklum struktur ekonomi kita masih berbasis impor. Rasio industri terhadap PDB terus turun. Tahun 2021,  17,34%. Padahal tahun 2014 masih 20%. Kalau rupiah overvalued ya barang impor jadi murah. Ini tentu akan mematikan pertumbuhan industri domestik dan menguras devisa. Sampai disini paham ya sayang.


No comments: