Monday, October 17, 2022

Prestasi Jokowi, biasa saja.

 



Era Jokowi tiada ada hari tanpa bicara infrastruktur. Pembangunan infrastruktur terjadi meluas. Bukan hanya di Jawa tapi di belahan wilayah  lain di Indonesia. Ya Indonesia centris. Kerja! Pada waktu bersamaan negara ASEAN juga melakukan hal yang sama. Maka terjadilah persaingan meningkatkan daya saing regional antara sesama negara ASEAN. Maklum daya saing regional ini sangat penting  sebagai referensi bagi Investor mau investasi di suatu negara. 






Apa yang terjadi tahun 2022 setelah lebih satu periode Jokowi berkuasa? indeks daya saing infrastruktur dari peringkat ke-56 pada tahun 2014 menjadi ke-52 pada tahun 2018. Namun, tahun 2022, kembali ke posisi 52. Sementara daya saing global Indonesia yang secara keseluruhan mengalami penurunan peringkat dari posisi ke-34 (2014) menjadi ke-45 (2018) dan ke- 37 (2022). Kita kalah jauh dengan Malaysia, Singapura, Thailand. Dia Asia pacific tahun 2022 daya saing kita urutan 44.


Apa artinya? sekeras dan sehebat kita upayakan peningkatan daya saing dengan membangun infrastruktur, pihak negara ASEAN jauh lebih hebat. Kemajuan? Index tidak berubah sejak Era SBY. Apa penyebab rendahnya daya saing itu ? Berdasarkan laporan Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Yearbook 2022. Efisiensi pemerintah, Indonesia berada di peringkat 35, turun dibandingkan posisi tahun lalu peringkat 26. Ini jeblok. Mungkin korupsi dana PEN-C19 yang tidak bisa dipidanakan (Perpu 1/2020). Entahlah.  


Hitungan efisiensi pemerintah ini bisa dilihat secara makro. Di akhir tahun 2014 atau masa peralihan, dari pemerintahan Presiden SBY menuju pemerintahan Presiden Jokowi, jumlah utang pemerintah tercatat yakni sebesar Rp 2.608.78 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 24,7 persen. Dikutip dari laman APBN KiTa Kementerian Keuangan terbaru atau per 28 Februari 2022, utang pemerintah sudah menembus Rp 7.014,58 triliun atau meningkat Rp. 4.433 triliun dibandingkan tahun 2014, dengan rasio utang terhadap PDB 39,63% ( januari 2022).


Mari perhatikan peningkatan PDB. PDB Indonesia tahun 2014, USD 891 miliar. Tahun 2021, USD 1,2 triliun atau naik usd 300 miliar atau 33% dari tahun 2014. Artinya peningkatan PDB USD 300 miliar,  itu hampir sama dengan jumlah peningkatan utang. Secara tidak langsung, utang itu tidak menciptakan leverage value. Mengapa ? karena penambahan utang kita sebagian besar untuk bayar utang. Bukan untuk produksi. Hanya sebagian kecil saja untuk produksi. Itu ditandai dengan angka defisit APBN terus melebar. Tahun 2014 defisit APBN sebesar Rp. 226 triliun, tapi tahun 2022 sebesar Rp 732,2 triliun. 


Sikap disiplin Indonesia yang memprioritaskan bayar utang itu mendapatkan apresiasi dari lembaga rating. Moody's kembali mempertahankan peringkat utang atau sovereign credit rating Indonesia pada peringkat Baa2, satu tingkat di atas investment grade dengan outlook stabil tahun 2022. Wajar. Pemerintah siap korbankan ekspansi sosial demi bayar utang. Dan kalau APBN defisit karena itu, ya utang lagi. Tentu utang yang harus berdampak kepada kemampuan bayar utang. Kalau engga ya rating jemblok. Kita patuh jaga rating.


Nah karena efisiensi pemerintah drop maka efisiensi bisnis juga otomatis drop. Engga usah kaget bila Investor asing terlibat pada proyek high value sedikit sekali. Kecuali investor rente yang mengolah SDA. Data investasi di Indonesia masih didominasi oleh PMDN. Mengapa ? Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness melaporkan (2018), bahwa alasan investor asing ogah masuk ke Indonesia ada 17 sebab. Nomor satu penyebabnya adalah korupsi. Itu skornya 13,8% dari 17 sebab. Jadi memang investor asing ogah masuk ke Indonesia, mayoritas karena korupsi. Udah bulukan korupsi. Makin tahun makin buruk index nya. Solusinya ? perang terhadap korupsi harus dimenangkan. Harus !

No comments: