Thursday, December 29, 2022

Kalau mau mikir, Indonesia sudah makmur.

 



Indonesia kaya akan sumber daya laut. Bahkan dulu kala nusantara ini disebut sebagai negara bahari. Bangsa yang hidup dari laut. Menurut data dari  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahwa potensi kekayaan laut Indonesia hampir mencapai Rp20.000 triliun per tahun. Namun total potensi keekonomiannya sebesar US$1,33 triliun atau Rp19.950 triliun (Kurs Rp15.000). Ok lah. Saya tidak akan membahas kekayaan laut yang ribuan triliun  itu. Saya  hanya akan bahas soal potensi Mikroalga. Ini hanya sebagian kecil dari kekayaan sumber daya laut kita. 


Apa itu microalgae ? adalah ganggang mikroskopis, bersel tunggal yang mungkin ada secara mandiri atau berkoloni. Mikroalga merupakan mikroorganisme fotosintetik yang memanfaatkan karbondioksida dan sinar matahari untuk membentuk biomassa dan menghasilkan sekitar 50 persen oksigen di atmosfer. Jenis mikroalga ada empat macam? Yang diantaranya: 

Bacillariophyceae (diatom),

Chlorophyceae (ganggang hijau), 

Chrysophyceae, (ganggang emas) dan 

Cyanophyceae ( ganggang biru)

Di indonesia hampir semua perairan ada microalgae ini. Ia juga  nempel pada permukaan rumput laut.


Lantas untuk apa Microalgae itu? 


Microalgae digunakan sebagai sumber energy alternatif yang bisa diolah jadi biofuel generasi ketiga, termasuk biodiesel , biogas , biohidrogen , dan bioetanol. Pada November 2021, Honeywell Technology mengumumkan bahwa teknologi UOP Ecofining berhasil mendukung penerbangan jet pertama di dunia yang menggunakan bahan bakar alga. Nah kan lebih baik gunakan microalgae untuk biofuel pengganti LPG kebutuhan rumah tangga daripada gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME), yang merusak lingkungan dan tidak membuat rakyat kalimantan dan sumatera kaya juga. Yang makin kaya malah konglo pemilik konsesi tambang termasuk Abangnya Eric. Bahkan bioplastik dihasilkan dari Alga loh, Nah keren kan. Kita bisa punya kemasan akrab lingkungan yang tidak ada efek rumah kaca yang bikin bumi memanas.


Microalagae juga digunakan oleh industri pharmasi untuk memproduksi vitamin A , B1, B2, B6, B12, C, E, nikotinat, biotin , asam folat , dan asam pantotenat. Lebih separuh pasar pharmasi adalah vitamin berkualitas tinggi dari alga, Karena kandungan protein  otobioreaktor alga diatas 50%, maka bagus untuk bahan baku industri makanan hewan berkualitas tinggi ( premium). Juga digunakan untuk pengolahan air limbah, yang bisa langsung diminum. Microalgae juga digunakan dalam industri minuman ringan pengganti soda. 


Dalam industri makanan, mikroalga mampu meningkatkan aroma, flavor, tekstur, dan cita rasa produk pangan seperti  saus salad, makanan ringan, daging, kembang gula , sup, telur, es krim, saus, dan ikan. Pada Januari 2022, Yemoja Ltd., sebuah perusahaan rintisan mengembangkan bahan-bahan canggih dari mikroalga, untuk steak dan burger nabati. Keren ya daging buatan. Kita bisa engga pusing lagi harga daging naik.  Engga perlu ada lagi mafia sapi.


Pasar microalgae terus meningkat dari tahun ketahun seiring berkembangnya tekhnologi untuk menghasilkan lebih luas downstream microalagae. Nah kalau microalgae dimanfaatkan, Indonesia sebenarnya duduk diatas sumber daya yang tidak pernah habis dan memberikan peluang kemakmuran bagi semua. Itu kalau mau mikir. Lantas mengapa kita punggungi laut dan rusak lingkungan di darat demi Cuan ? Mikir ! Itu karena kita membangun tidak berbasis riset.  Makanya jangan kaget walau  lebih 70 tahun kita merdeka masih saja kita membahas omong kosong. Membahas politik dan terpolarisasi. Kita tidak bernegara dengan akal sehat. Anggaran riset kita hanya 0,28% dari PBD. 


Menurut UNESCO Science Report: the race against time for smarter development,  8 dari 10 negara di dunia ini sama dengan Indonesia yaitu alokasi anggaran nasional untuk riset  ( gross domestic expenditure on R&D-GERD) dibawah 1% dari PDB. Makanya jangan kaget sebagian besar negara di planet bumi ini hidup serba bergantung sains dengan segelintir negara yang dengan anggaran riset diatas 1%. Ketergantungan apa saja. Dari masalah sosial, budaya, politik dan tekhnologi jadi follower buta.


Saya ambil contoh China. Tahun 2012 GERD mereka sudah diatas 1%, yaitu 1,91%. Tahun 2021 sudah 2,44% atau 2,8 triliun yuan (sekitar 405 miliar dolar AS). Anggaran itu dua kali dari APBN kita. Lebih besar dari anggaran GERD Eropa. Memang raksasa. Perhatikan. Ketika mereka bicara tentang national growth, maka basic nya adalah berapa anggaran R&D yang dikeluarkan. Bandingkan dengan negara kita, national growth basicnya adalah konsumsi. Beda sekali mindset nya. Tentu beda juga hasilnya.


GERD indonesia terendah di antara negara ASEAN, Memang design pembangunan tidak bertumpu kepada riset. Berdasarkan perhitungan GKI ( Global Knowledge Index), Indonesia nomor 81 dan komponen R&D menjadi yang paling buruk di posisi ke-115. Ya kita lebih mengandalkan kepada SDA. Tidak ada design jangka panjang  penguasaan tekhnologi dan kemandirian. Dari sejak era Soeharto sampai kini era reformasi, malah Indonesia masuk era deindustrialisasi. Ketergantungan impor sangat tinggi. Riset semakin terabaikan. Makanya jangan kaget  bila  segelintir orang tanpa kerja banyak dan memeras otak bisa kaya raya dari SDA. Jangan kaget bila oligarkhi terbentuk begitu saja. Politik kita adalah politik feodal.


Saran saya kepada Jokowi.  arahkan design pembangunan berbasis riset. Tingkatkan anggaran riset. Setidaknya 1% dari PDB. Beri insentif pajak  kepada korporat yang mengeluarkan anggaran riset bagi bisnisnya untuk program inovasi dan alih tekhnologi. Insya Allah dalam jangka panjang kita akan mandiri. Tentu asalkan design ini dilaksanakan konsisten.


No comments: