Friday, May 19, 2023

Rapor pemerintahan Jokowi.

 


Kemenangan Jokowi pada tahun 2014, adala cermin dari dukungan publik sangat tinggi terhadap perubahan fundamental untuk membuat sistem berjalan lebih baik. Apalagi standarnya adalah revolusi mental. Duh benar benar tinggi espektasi terpilihnya Jokowi sebagai Presiden.  Saya yakin  sekitar 6 dari 10 orang Indonesia percaya bahwa Jokowi membawa angin perubahan. Akan mendobrak statusquo. Lantas apa yang terjadi setelah dua periode menuju akhir babak kekuasaannya?  Tidak ada perubahan. Bahkan berdampak semakin disfungsi institusi demokrasi, polarisasi. 


Ada lima indikator yang bisa menyimpulkan bahwa Jokowi gagal melakukan perubahan. 


Pertama. Hingga saat ini kontribusi dari sektor manufaktur Indonesia terhadap PDB masih berada di bawah 20%. ( data BPS 19,84%). Padahal salah satu syarat menjadi negara industri itu, kontribusi dari sektor industri manufaktur itu diatas 20% PDB. Kalau bisa sampai 30% PDB. Sebenarnya Jokowi punya modal kuat untuk angkat jadi 30%. Karena periode 2005-2012, sumbangan industri pengolahan kepada PDB nasional mencapai 26,2%. Tapi Jokowi bukan hanya gagal angkat pertumbuhan bahkan malah menurun. Dana PEN mengatasi dampak Pandemi sebesar Rp. 1.600 triliun lebih, boleh dikatakan useless kalau tujuannya untuk recovery.


Kedua. Berdasarkan data Logistic Performance Index (LPI) 2023, yang dikeluarkan oleh World Bank, Indonesia berada di peringkat ke-61 dengan score 3 dari keseluruhan score yang sebesar 5.  Adapun, kinerja LPI dihitung berdasarkan enam dimensi, yakni customs, infrastructure, international shipments, logistics competence and quality, timelines, dan tracking & tracing. Bandingkan tahun 2012 score LPI 2,94. Apa artinya ? tidak ada perubahan significant. Bahkan menurun.


Padahal upaya serius Jokowi mencapai index LPI diatas 3 itu luar biasa. Dukungan politik dari DPR juga besar sekali.  Kalau dihitung dalam periode penuh pemerintahannya (2014-2022), Jokowi sudah menghabiskan anggaran infrastruktur sebanyak Rp 2.778,2 triliun. Tetap saja walau dukungan politik dan citra sangat bagus, namun faktanya tidak seperti berita pencitraan. Rendahnya pertumbuhan industri karena tingginya ongkos logistik yang mencapai 20% dari PDB. Terjadinya deindustrialisasi karena gagalnya pembangunan infrastruktur ekonomi.


Ketiga. Indeks Persepsi Korupsi tahun 2022 oleh Transparency International Indonesia (TII), menunjukan skor Indonesia anjlok empat poin yaitu dari 38 menjadi 34 atau sama dengan tahun 2014. Tak cukup itu, peringkat Indonesia pun terjun bebas, dari 96 menjadi 110. Merujuk pada temuan TII, tak salah jika kemudian disimpulkan bahwa Indonesia layak dan pantas dikategorikan sebagai negara korup. Gagalnya pemberantasan korupsi ini sebagai bukti lumpuhnya lembaga demokrasi untuk menciptakan kepastian berusaha, yang tentu berdampak menurunnya pertumbuhan industri, kecuali rente semakin subur.


Keempat. Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca! Apa artinya ? sistem pendidikan di Indonesia gagal menciptakan masayarakat Industri. Karena kunci jadi masyarakat industri adalah gemar membaca.


Kelima. Euforia terpilihnya Jokowi adalah buah semangat demokrasi. Berdasarkan riset yang dilakukan Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia meraih skor 6,71 pada Indeks Demokrasi 2022. Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada Indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Meski nilai indeks tetap, ranking Indonesia di tingkat global menurun dari 52 menjadi 54. Dalam 12 tahun terakhir, EIU mencatat bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami tren naik turun. Sempat mengalami kenaikan pada periode 2010 hingga 2015, kemudian nilai Indonesia mengalami penurunan sepanjang 2016 hingga 2020. Penurunan terdalam terjadi pada tahun 2017, ketika nilai indeks Indonesia menurun 0,58 dibanding capaian tahun sebelumnya.


Bahwa jika demokrasi gagal di indonesia, itu bukan karena mayoritas orang Indonesia menuntut bentuk pemerintahan yang non-demokratis atau syariah islam. Itu karena minoritas yang terorganisasi dan memiliki tujuan merebut posisi strategis dalam sistem dan merongrong substansi demokrasi sambil mempertahankan cangkangnya—sementara mayoritas tidak terorganisasi dengan baik, atau tidak cukup peduli, untuk melawan. Ya rusaknya demokrasi karena diamnya orang baik, walau mayoritas tetap saja pencudang dihadapan minoritas yang membeli hukum dan demokrasi.


Apa yang dapat saya simpulkan dari lima hal itu? Selama era Jokowi, hanya hebat diawal saja terutama selama 3 tahun. Euforia perubahan di tengah masyarakat sangat percaya bahwa indonesia akan lebih baik dipegang presiden yang tidak terhubung dengan masa lalu era Orba. Tetapi setelah itu, kembali melemah dan lambat laun euforia berubah menjadi pesimis. Namun Jokowi masih bisa menang  periode ke dua walau menang tipis. Masuk periode kedua, pesimis berubah jadi skeptis dan hopeless.  


Ini pelajaran bagi presiden berikutnya. Jangan ada lagi istilah koalisi. Apakah mungkin presiden bisa kerja tanpa koalisi ?  Kalau agenda presiden bagus dan niatnya baik kenapa takut tanpa koalisi.  Kalau DPR menolak agenda presiden, kembalikan kepada rakyat  lewat media massa. Bukankah dalam sistem demokrasi, media massa adalah kekuatan keempat. Nah, komunikasikan agenda itu kepada rakyat. Kalau benar dan baik,  pasti rakyat dukung. Mana berani DPR melawan rakyat langsung. Toh gimanapun kan sistem kita presidentil bukan parlementer. Presiden tidak bisa dijatuhkan DPR kecuali presiden melanggar konstitusi dan sumpah jabatan. 


Siapapun presiden, maka dia harus bersikap adil kepada siapapun termasuk kepada oposisi. Utamakan kebenaran walau pahit. Utamakan keadilan walau mahal. Dan rakyat harus mulai cerdas untuk gemar membaca agar bisa jadi konstituen yang bijak dan tidak mudah jadi korban influencer politik. Pemerintah hebat karena rakyatnya hebat.

No comments: