Sebelum tahun 1970 kita menganut rezim devisa control. Setelah tahun 1970, Indonesia mulai melakukan deregulasi rezim devisa menuju diterapkannya rezim devisa bebas. Sejak itu mata uang kita selalu terdepresiasi dari tahun ke tahun. 1978 pemerintah melakukan kebijakan devaluasi rupiah sebesar 33,6% yaitu dari Rp 415 per dolar AS menjadi Rp 625 per USD. Puncaknya terjadi krisisi moneter tahun 1997. Kurs rupiah terjun bebas.
Sejak reformasi sampai kini, kita gagal mengelola system devisa bebas. Mengapa saya katakan gagal? Karena setiap pelemahan kurs tidak berdampak luas terhadap transformasi ekonomi dari SDA ke Industri. Padahal seharusnya saat IDR melemah, daya saing kita tinggi untuk dapatkan devisa ekspor yang akan memperkuat cadev dan pada waktu bersamaan barang impor jadi mahal. Industri domestic dapat proteksi untuk berkembang.
Memang dengan adanya resim devisa bebas kita dapat solusi mudah mendapatkan pinjaman luar negeri dan ketika ditukar ke IDR jadi banyak. Terasa efisien untuk mengeskalasi pertumbuhan ekonomi. Tapi yang terjadi, utang menjadi solusi terus menerus dan pada waktu bersamaan struktur ekonomi terdistorsi karena adanya rente dan subsidi.
Di zaman Soeharto distorsi system itu tidak nampak. Karena kita menganut neraca berimbang. Tapi di era reformasi, mudah sekali mengetahuinya. Tanpa terasa, hutang semakin membesar dan struktur bangun ekonomi kita tetap tidak beranjak. Mengandalkan SDA. Bahkan sekarang terjadi deindustrialisasi. Dan pemerintah mulai gamang. Makanya keluar aturan DHE ( devisa Hasil ekspor). Mungkin karena likuiditas valas semakin mahal dan engga mudah lagi.
Nyatanya aturan DHE ini tidak efektif menyerap devisa hasil ekspor. Hanya 10% dari total penerimaan devisa. Selebihnya parker di luar negeri. Karena memang sebagaimana Undang-Undang nomor 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan valas. Kalaupun kewenangan BI dalam pengaturan pengelolaan lalu lintas devisa, namun itu bukan merupakan kebijakan kontrol devisa. Karena diberlakukan hanya bagi resident. Kebijakan tidak berlaku bagi non-resident.
Sementara dalam penerapan sistem devisa bebas, aturan yang ada kalah cepat dengan perkembangan tekhnologi financial. Apalagi dengan adanya ekosistem financial peer to peer. Sehingga sulit bagi BI memantau lalulintas devisa dan kadang dengan adanya instabilitas IDR terkesan tidak kredibel. Hal ini menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional.Contoh sederhana. Kasus TPPU ratusan triliun, ekspor illegal mining, Judi online, impor and ekspor emas. Semua dana Valas terbang ke LN. Kita hanya tahu catatan doang.
DHE bukan solusi. Abaikan saja aturan DHE itu. Karena justru membuat distrust pasar terhadap IDR. Dan lagi memang melanggar UU devisa bebas. Sebaiknya UU 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistim Nilai Tukar itu direvisi. Kita tidak mengubah system devisa bebas, namun memperbaikinya dengan aturan yang efisien dan kuat. Sehingga pengelolaan lalu lintas devisa lebih kredibel dan transference.
“ Mengubah UU No. 24/1999 itu sama sulitnya dengan menggolkan UU terkait anti korupsi seperti UU Pembuktian terbalik dan UU perampasan Aset. Karena yang kuasai valas adalah oligarki dan mereka yang berkuasa. Engga mungkin UU itu diubah. Mungkin setelah IDR terjun bebas, baru bisa diubah.” Kata teman.
No comments:
Post a Comment