Kalau anda baca berita tentang kurs rupiah. Lucu. Kadang beritanya, dollar mengganas, rupiah terkapar, rupiah perkasa, rupiah terlemah di asia. Dari hari ke hari beritanya seperti drama sabun. Itu biasa saja. Karena menggambarkan situasi kurs yang volatile dari hari ke hari, tahun ke tahun. Tetapi kalau anda melihat trend kurs dari tahun 2013 sampai kini, itu trend nya melemah atau terdepresiasi.
Uang itu sudah seperti komoditas, dan memang komoditas. Ia diperdagangkan di pasar. Namanya market tentu berlaku hukum demand and supply. Faktor yang mempengaruhi demand and supply itu bersifat kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif itu tentu bisa dihitung dengan demand valas untuk belanja impor, investasi di luar negeri, bayar utang luar negeri, capital outflow. Dari sisi supply dihitung dari penerimaan devisa valas, capital inflow, utang luar negeri ( SUN Valas dan SRBI).
Namun yang kualitatif sulit di hitung. Karena ini berkaitan dengan trust. Misal, menurut OJK, system perbankan kita sangat kokoh. Karena capital adequacy ratio ( CAR) sebesar 26,69% ( agustus 2024. ). Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 25,40% pada september 2024. Duit banyak, tapi suku bunga kredit perbankan tinggi ( rata rata diatas 9%, bahkan ada yang diatas 10%. ). Padahal kan engga semua penyaluran kredit berasal dari DPK, ada juga dari modal disetor. Seharusnya bunga rendah. Jangan jangan semua disedot SBN dan bank hidup dari Repo dengan BI.
Data fundamental ekonomi kuat. Cadev kita besar dan prospek penerimaan devisa dari ekspor cerah. Sekian tahun mencatat surplus. Tetapi mengapa bunga SRBI tinggi diatas 7%. Mengapa yield SUN mendekati 7%. Tertinggi di ASEAN. Data bias ini menimbulkan distrust terhadap rupiah.
Distrust ini bisa dirasakan langsung. Misal, pemerintah keluarkan aturan DHE ( Devisa Hasil Ekspor ) harus parkir di Indonesia minimal sekian waktu. Itu membuktikan bahwa dunia usaha tidak sepenuhnya percaya kepada pemerintah. Mengapa?. Ya kalau memang trust negara itu tinggi, kan engga perlu ada aturan mengenai DHE. Berkali kali aturan itu diubah. Orang tetap tidak peduli. Parkir aja terus.
Bukan hanya pengusaha. Para koruptor juga tidak percaya. Uang suap atau komisi lebih sering menggunakan valas. Itu membuktikan pejabat pemerintah sendiri tidak percaya dengan rupiah. Karena mereka sadar bahwa system menoter negara kita itu rapuh. Tentu mereka tidak aman simpan uang rupiah.
Kalau dunia usaha dan pejabat sendiri tidak percaya kepada IDR, apalagi asing. Kalaupun mereka percaya, itu bukan karena trust yang tercermin dengan rendahnya suku bunga SRBI, tetapi karena bunga tinggi dan bersifat jangka pendek. Deposit on call. Kapan saja mereka bisa out. Mengapa ? ya mereka selalu berjaga jaga dari kemungkinan jatuhnya IDR. Sedikit aja ada sentimen negatif ya mereka pindahkan uangnya ke valas. Persepsi ini sudah terbentuk sedemikian rupa bagi mereka yang berduit.
Nah karena trust itu bersifat kapitalis, maka jangan kaget terbentuk bisnis moneter ( asset financial). " Daripada invest di pabrik, mending beli SRBI yang bunganya diatas 7%. Bisnis real belum tentu dapat net profit segitu. Bagi perbankan, daripada beri kredit yang pasti beresiko, mending beli SBN yang bunganya 6%. Lumayan dapat spread 2% dari bunga deposito. " Kata teman. Akibatnya, orang kaya semakin kaya. Dan orang miskin semakin miskin. Karena putaran uang lebih banyak di moneter daripada di sector real.
Dari uraian diatas, kita bisa pahami dengan sederhana. Bahwa tidak mungkin bisni non rent ( tradable) bisa tumbuh berkelanjutan. Karena IDR sebagai alat investasi semakin tidak diminati. Kalaupun diminati, cost of fund sudah mahal. Tentu berimplikasi kepada business model. Ya hanya bisnis rente yang diminati. Yang bisa cuan diatas 10% seperti ekstraksi SDA. Tapi tidak berdampak significant terhadap penyerapan Angkatan kerja dan tentu beresiko terhadap kerusakan lingkungan. State capture semakin dapat ruang. Ambisi petumbuhan ekonomi 8% itu terlalu tinggi ngayalnya. Mari focus kepada petumbuhan berkeadilan.
***
Bagi pemain pasar uang. Kondisi negara yang kurs nya stabil, engga menarik untuk medan main. Itu artinya volatilitas nya rendah. Dapat cuan sedikit. Tapi bagi negara yang volatilitas nya tinggi, menarik. Mudah dapat cuan gede. Negara yang volatilitas tinggi itu seperti Brazil, Argentina, Indonesia, Turki, Afrika Selatan dan lain lain , ya yang termasuk dalam emerging market.
Ciri khas negara berkembang atau emerging market adalah negara yang memilih pasar uang sebagai sumber pembiayaan menutupi defisit APBN nya. Mengapa? Kalau negara berhutang lewat pasar uang, bunga relative rendah dan tidak ada politik. Dana utang itu bisa digunakan untuk mendongkrakt fiskalnya. Memacu pertumbuhan.
Faktanya tidak ada satupun negara berkembang yang bisa sustain dan inklusif pertumbuhan ekonominya karena menerbitkan surat utang. Malah negara tersebut terjebak dalam instabilitas mata uang. Operasi moneter menjaga stabilitas kurs ongkosnya jauh lebih mahal dari bunga yang dibayar. Belum lagi semakin lama keseimbangan primer terancam. APBN defisit akibat beban bunga dan cicilan.
Contoh. Investor menjual SUN yang dia pegang sebesar Rp. 100. Pada waktu bersamaan dia beli USD di pasar uang. Kurs IDR cenderung melemah akibatnya. Setelah kurs berada pada ambang bawah, BI pasti intervensi dengan menarik aliran modal lewat kenaikan suku bunga SRBI. Ya dia beli SRBI. Capital inflow terjadi. Rupiah menguat lagi.
Nah bayangkan. Dari melemah dan kemudian menguat lagi kurs. Bolak balik begitu aja. Itu kan ada band ( pita-jarak) nya. Diantara Atas -Bawah itu disebut band currency. Dari band itulah dia dapat cuan besar. Belum lagi dapat bunga tinggi dari SRBI. Mengapa semudah itu? Dia udah hitung dampak kurs akibat capital outflow. Dia juga tahu titik keseimbangan pada kurs berapa terjadi. Jadi kesimpulannya, menguat dan melemah kurs itu memang permainan dari pemain hedge fund, untuk dapat uang mudah. Kas negara digergaji. Dampak significant dari debt trap.
No comments:
Post a Comment