Tahun 2020 dalam rangka menghadapi Pandemi COVID19, pemerintah keluarkan Perppu No. 1/2020. Esensi dari Perppu itu adalah memungkinkan pemerinah menaikan defisit diatas 3% PDB. Jadi lebih flexible. Namun dengan asumsi Pandemi sudah diatasi, maka tahun anggaran 2023 kembali ke 3% PDB batasan defisit. Dalam mengatasi pandemi ini pemerintah keluarkan dana tidak sedikit. Total anggaran PEN ( Pemulihan Ekonomi Nasional) dari tahun 2020 hingga tahun 2022 adalah Rp1.645 Triliun.
Sumber pembiayaan PEN itu berasal dari penjualan SBN kepada BI. Dengan beban bunga bersama sama ditanggung pemerintah dan BI ( burden sharing.). Total nya mencapai Rp. 836,56 triliun. Bagaimana pemerintah membayar SBN ini? Dirancang lah UU HPP ( Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Artinya sumber pembayaran utang itu berasal dari pajak. Dalam UU HPP No. 7/2021 kajian akademis nya atas dasar asumsi tentang situasi ekonomi.
Pada UU HPP, Pasal 7 Ayat (3) pada Bab IV, Pemerintah diberi hak oleh UU untuk menentukan tarif dengan range 5-15%. Artinya pemerintah bukan hanya punya hak menaikan tariff sampai 15%, tetapi juga bisa turunkan tarif sampai 5%. Tentu tergantung situasi ekonomi. Tahun 2022 PPN naik 1% menjadi 11% dan tahun 2025 akan naik menjadi 12%. Apakah karena ekonomi Indonesia baik baik saja. ? Tentu tidak. Data terhadap daya beli yang merosot. Index Purchasing meneger yang kontraksi itu sudah cukup bukti. Makanya pemerintah keluarkan paket stimulus mengantisipasi mereka yang terdampak akibat kenaikan PPN itu.
Pemerintah sangat paham bahwa dalam kondisi ekonomi global dan prospek yang tidak baik baik saja karena ketidakpastian, menaikan PPN itu tentu tidak popular dan tidak bijak. Namun masalahnya, ini soal pilihan diantara pilihan yang semua buruk. Maklum ketahanan fiscal kita sangat rentan dan ruang sangat sempit.
Perhatikan. 100% dari belanja APBN itu sudah dialokasikan untuk mandatory spending.
20% untuk Pendidikan.
25% untuk daerah.
10% untuk dana desa.
6% untuk Kesehatan.
Berapa total ? 61%.
Masih sisa 39%. Nah sisa itu untuk belanja rutin, bayar bunga 15%. Cicilan utang sebesar 30%. Jadi berapa sisa ? ya tekor alias defisit 6%. Itu belum termasuk anggaran kementrian, ASN, TNI dan POLRi dan bansos. Makanya pontensi defisit sangat besar. Apalagi realisasi penerimaan pajak tahun 2024 tidak tercapai sesuai target.
Memang dilemma. Misal, PPN tidak dinaikan. Maka defisit APBN akan melebar. UU tidak membenarkan defisit diatas 3% dari PDB. Kalaupun UU direvisi dan boleh defisit diatas 3%. Maka defisit itu akan ditutupi dengan hutang. Itu berat. Karena financial market tidak likuid dan bunga tinggi. Pada akhirnya utang ini akan ditanggung oleh rakyat dimasa depan. Kalau PPN dinaikan, defisit bisa dibawah 3% PDB. Utang baru tidak bertambah significant dan tahun 2025 punya ruang untuk bayar bunga dan utang yang mencapai Rp1.350an triliun (lebih 1/3 APBN).
So, kembali kepada pertanyaan awal. Mengapa PPN naik? Ya kondisi fundamental kita terjebak dengan beban utang dan pagu defisit yang sudah dikunci oleh UU. Memang benar seharusnya PPH yang diandalkan. Masalahnya, tax reform engga bisa cepat. Butuh proses lama baik secara politik maupun administrasi. Tahun 2025 ini akan lanjut tax reform dengan adanya program CORETAX ( Core Tax Administration System.)
Dengan reformasi pajak ini akan meningkatkan tax ratio dan bisa mendukung agenda presiden meningkatkan pertumbuhan diatas 8%. Karena potensi penerimaan pajak akan meningkat lewat kenaikan tarif, peluasan wajib pajak dan lain lain.? Sepertinya yang disasar lebih dulu adalah bisnis rente sebagai sumber pajak. Karena setiap konsesi bisnis seperti HGU sawit, IUP minerall tambang, Kontrak revenue sharing migas kan semua berasal dari negara. Ya dari sana negara akan perketat pengawasan pajaknya lewat CORETAX.
Potensi penermaan pajak dari rente itu sangat besar. Bisa diatas Rp. 3000 triliun. Selama ini memang dibancakin oleh oligarki. Contoh kasus ilegal mining. Fraud DMO sawit. Fraud alih fungsi lahan, ekspor illegal nikel dan lain lain. Semoga PS konsisten dan punya nyali besar menghadapi oligarki. Karena bagaimanapun pengusaha itu punya uang dan punya akses kekuasaan untuk menghindari pajak. Apalagi semua partai teman mereka. Kalau benar reformasi pajak ini menyasar kepada oligarki, pengorbanan rakyat atas kenaikan PPN, fair enough.
No comments:
Post a Comment