Menanggapi kabar terkait kebijakan efisiensi anggaran saat ini akibat beban utang masalalu. Menurut Jokowi , rasio utang negara masih aman. Jokowi menjelaskan, rasio utang negara terhadap PDB masih di bawah ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Mengacu pada regulasi tersebut, maka rasio utang terhadap PDB dibolehkan maksimal 60 persen. Nah hingga juli 2024 rasio utang sebesar 38,68%. Pada batas itu Jokowi ada benarnya.
Bagaimanapun hutang itu harus dimitigasi. Pagu utang terhadap PDB adalah salah satu caranya. Agar kita hati hati dalam membuat keputusan berhutang. Ada saatnya genjot berhutang seperti era Jokowi dan ada saatnya berpikir bagaimana memitigasi resiko terhadap utang itu. Selain debt to PDB sebagai acuan tingkat keamanan berhutang, ada juga debt service ratio (DSR). DSR lebih objectif untuk mengukur keamanan posisi hutang. Karena terkait dengan cash flow sementara PDB hitungannya argregat.
Saat sekarang utang luar negeri kita sebesar USD 425 miliar ( agustus 2024). Sementara pendapatan ekspor kita pada tahun yang sama sebesar USD 265 miliar. Rasio hutang luar negeri terhadap pendapatan ekspor mencapai 160%. Walau hutang itu sebagian besar berasal dari hutang jangka Panjang. Namun dengan ratio yang begitu tinggi dan cenderung meningkat setiap tahun, sangat beresiko. Kini sudah terbukti dengan volatilitas IDR yang tinggi. Yield obligasi termasuk tertinggi di negara ASEAN. Kalau tidak dimitigasi dengan smart akan membuat rupiah terjun bebas.
Penerimaan pajak pada tahun 2024 mencapai Rp1.932,4 triliun. Sementara bayar bunga dan utang pada tahun 2024 Rp. 749 triliun. Rasio pembayaran utang dan bunga terhadap penerimaan pajak sebesar 22,5%. IMF mensyaratkan batas aman sebesar 17%. Itu sudah lampu kuning. Nah tahun 2025 total penerimaan pajak ditargetkan Rp.2.189 triliun. Bunga dan utang yang harus dibayar sebesar Rp. 1.352,33 triliun. Ratio utang dan bunga terhadap penerimaan pajak sebesar 61,7%. Apa jadinya kalau target pajak tidak tercapai ? kan bisa default.
Tahu artinya? Dari tahun ke tahun DSR terus meningkat. Kini lebih separuh penerimaan pajak dipakai untuk bayar Bunga dan utang yang jatuh tempo. Seharusnya penerimaan pajak itu digunakan mensejahterakan rakyat lewat program keadilan ekonomi. Makanya cara terbaik dalam memitigasi resiko terhadap utang adalah dengan mengerem nafsu belanja. Ya efisiensi total. Kalau bisa APBN dipenggal sebesar 40% dan pada waktu bersamaan tingkatkan kinerja anggaran yang ada. Memang piliihan yang tidak mudah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2024 sebanyak 20,31 persen Gen Z atau penduduk yang saat ini berusia 15 hingga 24 tahun berstatus NEET ( Not in Education, Employment, or Training ). Dengarlah keluhan salah satu Gen Z yang sudah hijrah ke luar negeri. Dia mencanangkan Tagar #KaburAjaDulu. Itu karena mereka tidak melihat masa depan cerah di negeri ini. Kan engga ada orang ingin mati di negeri yang tidak punya hope. Mari berubah. Memang dalam jangka pendek efisiensi anggaran itu merugikan pertumbuhan. Tapi dalam jangka Panjang kita lebih sehat dan anak anak kita punya hope.
Kagaduhan terhadap program efisiensi anggaran lebih karena emosional atas keengganan untuk menyadari resiko yang menghadang di masa depan. Padahal resiko itu fakta yang tak terbantahkan. Apalagi di tengah melemahnya daya beli rakyat, beban kenaikan tarif pajak dan iuran BPJS dan lain lain sangat memberatkan. Mengingatkan resiko itu bukan berarti anti pemerintah atau benci kepada rezim tetapi lebih kepada kecintaan kepada negeri ini. Prabowo mengajak kita semua membayar kesalahan masa lalu dengan hidup prihatin dan kerja keras. ***
No comments:
Post a Comment