Tuesday, February 25, 2025

Buruknya tatakelola Pertamina.

 




Saya coba rangkai hasil temuan dari Kejaksaan atas kasus oplos BBM Ron 90 menjadi Ron 92. Ini korupsi tatakelola minyak mentah dan produk kilang. Kasus ini bukan hanya merugikan negara. Tetapi dampaknya BBM yang kita konsumsi itu 10 kali polutannya dibandingkan negara lain yang sudah menerapkan standar euro dengan sulfur 50. BBM kita sekitar 500-600 sulfurnya. Jadi sebenarnya dengan harga sekarang dengan kualitas seperti itu kemahalan.


Kasus ini tidak bisa terjadi karena 1 orang saja. Pasti dapat dukungan dari sistem menegement yang ada. Melibatkan top eksekutif sampai lini bawah. Apalagi Pertamina adalah organisasi modern. Yang pasti diaudit BPK dan diawasi DPR. Karena ada dana kompensasi BBM dari negara. Tanpa konspirasi tidak mungkin modus korupsi ini terjadi. Apalagi sudah berlangsung dari tahun 2018-2023. Sistematis sekali. Bagaimana proses dan modus karupsi ini terjadi? 


Rapat koordinasi Optimalisasi Hilirisasi, memutuskan bahwa Kilang minyak dalam negeri tidak bisa menerima produksi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama- SKK Migas. Alasanya karena harga kemahalan dan spek tidak sesuai dengan kilang. Jadi karena itu terpaksa kilang harus impor crude. Tetapi juga impor BBM. Pelaksananya yaitu PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) untuk crude dan PT Pertamina Patra Niaga untuk BBM.


Nah apa yang terjadi kemudian ? Impor BBM Ron 92 ( Pertamaxt). Cargo yang datang Ron 90 ( Pertalite). Ron 90 ini blending di DEPO untuk jadi Ron 92. Tentu ongkos nya Ron 90 tapi jualnya Ron 92. Sementara yang impor Crude, harga di mark up 13-15%. Sehingga harga produksi BBM di kilang dalam negeri jadi mahal.  Tidak ada transfaransi lewat lelang. Karena pelaksana impor Pertamina sendiri, tetapi via broker swasta. Sehingga kerugian negara diperkirakan Rp. 193 triliun. 


Dimana konspirasinya? Ketika ada keputusan Pertamina tidak membeli produk crude dalam negeri untuk kilangnya. Maka sesuai aturan Menteri ESDM, KKKS bisa alihkan crude itu untuk di ekspor. Nah yang jadi masalah adalah ekspor crude via broker swasta. Begitu juga impor crude untuk kilang dan BBM via Swasta. Tentu swasta sudah kondisikan kedua belah pihak. Semua manut aja. Karena ada fee dari mark up impor crude untuk kilang dan ditambah dapat lagi dari selisih harga ekspor crude KKKS dengan harga spot.  


Sederhana aja kasusnya. Tentu sesederhana itu untuk paham bahwa tidak mungkin hanya melibatkan direktur anak perusahaan Pertamina dan swasta. Bukan rahasia umum bahwa lobi bisnis MIGAS bersinggungan dengan elite dan tidak semua pengusaha bisa. Biasanya pemainnya  4 L ( loe lagi loe lagi). So, tidak mungkin Top eksekutif Pertamina dan Menteri ESDM tidak tahu. Dan tidak mungkin DPR tidak tahu juga, apalagi ring istana.


Yang kita sedihkan adalah modus korupsi ini sangat merusak program strategis kemandirian energi dan efisiensi. Dan tentu kenaikan biaya akibat tatakelola BBM yang korup ini berdampak kepada semakin besarnya dana kompensasi BBM yang harus dibayar negara lewat APBN dan tentu udara kita juga tercemar, belum lagi kerusakan mesin kendaraan karena beli kualitas BBM oplosan. 


***

Pertamina itu adalah holding dari anak perusahaan yang bergerak dari hulu ke hilir. Kalau diringkas, mencakup produksi, logistic dan distribusi. Hanya saja tidak dikelola secara business model. Sehingga tidak efisien. Dan membuka peluang terjadinya moral hazard. Karena begitu besarnya tugas negara kepada Pertamina, yaitu mencakup distribusi BBM secara nasional. Melibatkan dana APBN lewat program konpensasi BBM.


Sejak uu migas no 22 tahun 2001, Pertamina bukan lagi regulator merangkap operator, seharusnya terjadi tranformasi business model menjadi trading oil world Class. Mengapa? Soal produksi kan sudah dikelola langsung oleh Negara lewat Kontraktor Kontrak Kerja Sama, SKK -MIGAS. Jadi asset terbesar Pertamina sebagai entity business adalah market undertaking yang menjadi misinya sebagai Perusahaan Negara. 


Untuk menjadi trading oil company world Class, Pertamina harus focus membangun infrastruktur logistic yang modern, yang terdiri dari Kapal cargo laut dan angkutan darat. Terminal Gas dan Depo BBM. Pipanisasi Gas. Dengan adanya infrastruktur itu, efisiensi terjadi dalam skala ekonomi khususnya dalam hal ekspor dan impor MIGAS. Itu gigantik bisnis. Pertamina bisa menjadi bagian dari lead market berskala dunia. Tentu bisa menekan ongkos susbidi negara tanpa kehilangan margin. 


Margin akan sangat besar. Karena ongkos distribusi kan negara tanggung. Apalagi Indonesia sebagai market BBM terbesar nomor 12 dunia. Hitung aja berapa keuntungan dari angkutan kapal, transfortasi darat, fee DEPO dan fee terminal Gas. Belum lagi keuntungan dari stok Crude dan BBM, serta dukungan contract future yang secure. Tiap hari cash masuk. Karena jangkauan operasi secara nasional dan pasti jasa itu juga akan dimanfaatkan oleh NOC ( National oil company) yang menjadi mitra SKK Migas.


Nah dari business model itu bisa dijadikan trigger untuk skema leveraging mendapatkan financial resource untuk membangun pusat refinery oil and gas dan mengakuisisi potensi Ladang Minyak & Gas  di seluruh dunia yang feasible. Sehingga pusat logistic bukan hanya sebagai terminal tetapi juga menjadi pusat produksi antara. Tentu akan semakin besar peluang menjalin sinergi dan kolaborasi dengan trader kelas dunia. Maklum Indonesia berada di jalur 1/3 pelayaran dunia khusus cargo oil and gas. 


Namun selama ini yang memanfaatkan business model trading oil company justru Singapore. Dari kapal, refinery, terminal hub, yang dapat manfaat Singapore. Maklum Singapore hanya sejengkal dari Indonesia dan berada di jalur selat malaka. Akibatnya, korupsi dan moral hazard pengelolaan Pertamina melulu terjadi pada distribusi, ekspor-import dan logistic yang tergantung kepada trader di Singapore lewat broker di Indonesia.


Saya kehabisan kata kata ketika membaca setiap skandal Korupsi Pertamina. Karena gaji direksi dan komisaris sangat besar. Per 31 Desember 2023, Pertamina menggelontorkan kompensasi sebesar US$ 21.793.000 atau sekitar Rp 342.716.718.000 (kurs Rp 15.726) untuk Direksi dan personal lain dalam manajemen kunci. Sementara kompensasi bagi Dewan Komisaris sebesar US$ 51.288.000 atau sekitar Rp 806.555.088.000. Pertamina bayar harimau dapatnya monyet.

No comments: