Akhir pekan minggu lalu berlangsung Rapat antara Pemerintah dan DPR membahas rencana pengesahan RUU BUMN. Selasa besok (4/2) akan disahkan dalam Rapat Pleno. Cepat dan kilat. Di era Jokowi 10 tahun RUU BUMN tidak kelar. Tapi di era Prabowo hanya perlu waktu sebulan Panja dan langsung masuk Pleno. Keren. Yang menarik dalam perubahan ke tiga UU BUMN ini adalah dengan adanya pasal BPI Danantara. Yang tadinya sempat tertunda pengesahannya. Tapi dengan adanya UU BUMN yang baru, tidak ada alasan lagi BPI Danantara tidak jalan.
Ada dua issue soal Danantara ini.
Pertama. Soal status hukum dari BPI Danantara bukan sovereign wealth Fund ( SWF). Dalam UU No. 11/2020 CK, yang disebut SWF adalah INA ( Indonesia investment authority). Sementara BPI Danantara bagian dari revisi UU BUMN. Ia sama dengan Perseroan. Kekuasaan BPI Danantara dibawah Meneg BUMN. Artinya tidak mengubah struktur system perbendahaan negara. Dimana Menteri Keuangan sebagai beneficiary owner saham BUMN.
Kedua. Dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan juga revisi UU BUMN dengan tegas adanya Business Judgement Rule. Terkait dengan ini, BPI Danantara tidak bisa bebas seperti layaknya INA sebagai otoritas. Karena harus comply dengan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.UU No.1/2004 tentang Perbendarahaan Negara dan UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, No. 31/1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Misal, BPI Danantara berencana create structure fund lewat penerbitan surat utang atau bertindak sebagai standby buyer atas rencana IPO atau Right Issue BUMN atau Swasta. Nah kalau bersifat jaminan atas saham BUMN, prosesnya harus izin dari Menteri keuangan. Karena kita menganut cashBasic dalam system perbendaharaan negara. Kalau diizinkan maka itu masuk skema PMN ( Penyertaan Modal negara). Timbul resiko. Structure fund ini diluar APBN akan sulit bisa dikendalikan disiplinnya, bahkan bisa menimbulkan moral hazard seperti kasus skandal MD1 Di Malaysia.
Sekuritasi Asset BUMN lewat BPI Danantara tidak akan efektif sebagai financial resource, bahkan membuat ketidak pastian terhadap surat utang negara. Ini akan memperlebar rasio utang pemerintah terhadap PDB dan mengurangi value SBN-SUKUK Syariah yang juga menggunakan asset BUMN sebagai underlying. Menteri keuangan tahu pasti soal ini. Dan pasti tidak mudah mengizinkan setiap rencana sekuritasi Asset BUMN. Karena sudah dikunci oleh UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Kalau pengelola BPI Danantara tidak qualified, mudah sekali masuk penjara.
Atas dasar dua hal tersebut diatas, BPI Danantara tidak akan mudah melaksanakan misi yang digadang gadang sebagai solusii untuk memacu pertumbuhan ekonomi diatas 8% dengan sumber dana dari luar APBN. Kalaupun ada upaya merevisi UU yang menjadi kendala tersebut, pasti sulit. Karena struktur APBN kita, pembiayaan defisit lewat sekuritisasi (SBN) termasuk asset BUMN. Kalau ada revisi UU terkait keuangan negara, itu akan mengakibatkan SBN yang sudah kita terbitkan tidak lagi eligible. Dampaknya bisa menimbulkan rush di market. Rating akan jatuh. Big risk. Kalaupun ada Kepres atau PP yang membonsai UU keuangan negara, tidak akan efektif.
Saya menduga duga, agenda pendirian BPI Danantara datang dari para oportunis yang ada di cabinet dan DPR, dengan tujuan memberikan solusi pembiayaan kepada presiden. Namun sifat nya Asal Bapak Senang. Tidak ada pertimbangan rasional dan akademis yang bisa menjamin agenda mendatangkan investasi besar untuk mendukung pertumbuhan 8%.
Mengapa ?
Fungsi BPI Danantara sebagai pengelola portfolio asset BUMN. Artinya tidak ada spin off Asset BUMN ( Perbankan Pemerintah, Pertamina, PLN, Telkom dan MIND) yang ada ke dalam Danantara. Makanya modal awal Danantara berasal dari PMN ( dari realokasi efisiensi APBN ) dan deviden BUMN. Sementara total asset BUMN ( 2024) sebesar Rp. 10.950 trliun. Kan asset itu tidak semua dari ekuitas. Ada juga utang sebesar Rp 6.957,4 triliun. Net asset hanya Rp. 4000 triliun.
Artinya asset BUMN yang digadang gadang sebesar USD 900 miliar tidak benar. Bahkan kalau dilakukan assessment lewat risk management, value nya hanya 20% dari net Asset atau Rp. 800 triliun. Sementara tahun ini, diperlukan dana sebesar US$186 miliar, atau setara Rp2.920 triliun untuk bayar utang yang jatuh tempo dan beban bunga. Boncos kan.
No comments:
Post a Comment