Sunday, April 20, 2025

Dilema Indonesia…China atau AS?

 




Walau Indonesia  tawarkan tarif impor  0% untuk barang AS dan sanggup beli barang AS seperti LNG, jet tempur dan lain lain, agar defisit perdagangan turun atau surplus untuk AS, engga akan diladeni AS. Mengapa? ini bukan sekedar tarif tetapi lebih daripada itu adalah soal hegemoni AS. AS  minta kita surrender tanpa syarat. Jadi tidak ada istilah negosiasi. Selanjutnya kalau kita setuju, AS akan ajukan LOI yang harus kita tandatangani. Artinya kedaulatan kita sebagai negara udah engga ada.  Apa target AS ? 


Pertama : Kita keluar dari BRICS . Kedua : kita ikuti kebijakan politik luar negeri AS terkait Palestina. Ketiga : Hapus aturan DHE dan UU Minerba terkait larangan ekspor bahan mentah. Keempat. Hapus semua hambatan impor yang tidak sesuai internasional custom. Hapus segala hambatan non tarif barier seperti quota dan TKPDN. Kelima : BI tidak boleh intervensi kurs rupiah di pasar. Keenan : Tidak boleh kerjasama investasi dengan china yang memungkinkan china bisa ekspor barang modal.


Bagaimana kalau kita menolak? Menurut laporan Bloomberg, pemerintahan Trump berencana untuk memberlakukan tekanan, termasuk sanksi keuangan, kepada negara-negara yang menginginkan pengurangan atau pengecualian tarif AS, agar mereka membatasi hubungan dagang dengan China. Artinya AS menggunakan moneternya sebagai kekuatan geopolitik untuk menekan negara lain yang tidak membantunya menghadapi China dalam perang dagang.


Apakah mungkin kita terancam? Perhatikan. Dengan tingkat utang luar negeri hampir ½ trillion dollar AS (Februari 2025, 427,2 miliar dollar). Itu sangat berbahaya kalau AS unhappy dengan Indonesia dalam konteks perang dagang China-AS. Mengapa ? Kewajiban Neto Posisi Investasi Internasional (PII) per 2024 sebesar US$245,3 Miliar. PII itu sudah memperhitungkan Cadev. Artinya PII negative sebesar USD 245,3 miliar. 


AS bisa memberikan sanksi moneter kepada Indonesia. Mudah aja. Dengan negative PII sebesar USD 245,3 miliar, dapat tekanan USD 50 miliar Dolar saja, jatuh tape rupiah. Dampaknya sangat serius. Krisis pasti terjadi. Terutama sector perbankan akan terkena systemics effect. Yang berdampak kepada ketidak stabilan sosial dan politik. Ongkos untuk recovery sangat mahal. Itu akan berdampak jangka Panjang. 


Indonesia beda dengan Jepang, China, Inggris, India, Belgia, Luxembourg, Swiss, Cayman Islands, Kanada yang dari awal sudah berjaga jaga kalau AS mengenakan sanksi moneter kepada mereka. Caranya? Mereka membeli surat utang AS di pasar global. Misal, Jepang dan China pegang surat utang  AS US$1,11 triliun dan US$886,9. Artinya kalau the fed hentikan fasilitas likuiditas USD, itu tidak mengganggu moneter mereka. Karena mereka bisa jual Surat Utang AS dan itu justru memukul balik AS.


Bagi Indonesia, sangat beresiko kalau melawan AS. Apalagi Trump tidak mengenal politik diplomasi kesetaraan. Terkesan menindas dan memaksakan kehendaknya. Nah kalau kita patuh kepada AS, artinya kita harus memunggungi China dan juga mendukung AS mengisolasi China. Itu resiko lain yang harus kita hadapi. China mitra dagang nomor 1 kita. Apalagi Pemerintah punya hutang ke China. Belum lagi utang proyek seperti Kereta Cepat dan resiko proyek hilirisasi China di Indoensia yang harus kita bailout. Dilemma kan.? Memang dari awal kita tidak siap mandiri. Itu masalahnya.



No comments: