“Ale, kenapa LG engga jadi bangun supply chain baterai terpadu di Indonesia ? tanya Aling. Ya memang ada berita tentang LG Energy Solution, batal bangun ekosistem baterai EV di Indonesia. Itu artinya peluang FDI ( foreign Direct Investment) sebesar USD 7,7 miliar yang akan berperan meningkatkan PDB dan menyerap Angkatan kerja luas, gagal.! saya akan bahas dari sudut pandang praktisi bisnis. Bukan analisa pakar akademis dan politisi.
Sebenarnya rencana LG akan membangun supply chain terpadu baterai sudah dimulai tahun 2019. Mengapa mereka selalu menunda investasi? Karena sejak tahun 2001 China sedang focus melakukan riset baterai, Lithium Ferro Phosphate (LFP). Memang awalnya LFP dinilai memiliki kepadatan energi yang jauh lebih rendah dan kinerjanya buruk pada suhu rendah. Makanya Riset itu diketawain oleh Elon Musk. Tapi LG tidak mau gamebling dengan masa depan. Lebih baik wait see. Karena perkembangan riset itu sangat significant dari tahun ke tahun.
Ternyata tahun 2018, konsorsium investor terbentuk dibawah start up BYD yang berencana memproduksi kendaraan listrik (EV) dengan tekhnologi LFP. Tahun 2020 BYD sukses meluncurkan Blade Battery. Yang lebih aman dan lebih murah dibandingkan baterai lithium nikel mangan kobalt (NMC) yang populer di Barat. Sukses ini tentu mengubah peta kompetisi EV. Telah membawa Industri EV China ke garis depan dalam kompetisi global.
Situasi ini dimanfaatkan oleh LG menggandeng Huayou, player China di bidang riset dan pengembangan Baterai LFP. Mereka membangun pabrik baterai di Maroco, Afrika. Tujuannya untuk masuk ke pasar AS. Maklum AS dan Maroko ada perjanjian bilateral bebas pajak. Sementara untuk pasar domestic, Huayou sendiri sudah punya pabrik baterai dan supply chain terpadu di Provinsi Hubei berkerja sama dengan Xingfa Group.
Huayou akan menggantikan LG yang batal investasi di Indonesia. Mereka akan bangun industry Precursor (campuran oksida logam Nikel, Mangan, dan Kobalt). Ya supply chain Industri Baterai. Namun itu hanya perluasan smelter HPAL, yang sudah berproduksi nickel sulfate dan cobalt sulfate di Sulawesi dan rencana akan bangun juga di Halmahera, Teluk Weda. Tentu nilai investasi Precursor tidak sebesar investasi ekosistem baterai, yang tadinya rencana akan dibangun oleh LG.
Artinya bahwa adanya fenomena tekhnologi membuat value SDA jadi semakin rendah Value Added nya. Sebelum ditemukanya tekhnologi baterai LFP, harga baterai sangat mahal, tentu harga nickel juga jadi mahal. Dampaknya harga EV tidak marketable sebagai kendaraan ramah lingkungan. Karena mahal itu, terpaksa negara mendukungnya lewat subsidi yang besar agar terjangkau bagi konsumen dan energi ramah lingkungan bisa di promote. Jelas tidak sustain. Nah LFP adalah solusi. Mengapa ?
Mari kita lihat hitungannya. Biaya produksi 1 baterai LFP sebesar 65% dari harga jualnya. Size nya beragam. Tergantung besaran energi KWH dan daya jarak tempuh kendaraan EV. Misal, Wuling itu baterainya kan 17 KWH untuk jarak tempuh 200KM, ya harga pasar baterai sekitar Rp. 26 juta. Biaya produksi baterai sekitar Rp. 16 juta. Gross Margin hanya 60%. Beda dengan bateri nikel yang marginnya tiga kali lipat. Ya semakin rendah value added baterai semakin tinggi value added kendaraan listrik. Itulah pentingnya tekhnologi.
Wah engga adil dong. Kata Aling. Bukan tidak adil. Justru itulah keadilan dunia. Penemu LFP itu adalah Wan Gang Phd, mantan periset di CATL German yang kemudian pulang ke China memimpin riset LFP dan akhirnya jadi Menteri Riset dan tekhnologi China. Tahun 2013 dia juga diangkat sebagai wakil ketua CPPCC, Lembaga yang secara konstitusi punya tugas memberikan nasehat kepada Kongres Rakyat ( DPR/MPR), yang menentukan kebijakan politik nasional. Kini 70% produksi global baterai LFP untuk EV ada di China termasuk untuk Drone.
Walau China tidak punya SDA seperti Indonesia namun mereka punya SDM dan elite yang bermental pembaharu untuk meraih nilai tambah lewat sains. Makanya mereka jadi pemenang. Sementara kita, dari pemimpin sampai pengusaha mentalnya pedagang. Lahan tambang dikeruk begitu saja pakai ekskavator untuk masuk ke smelting dan kemudian outputnya di kapalkan ke China demi nilai tambah dan kejayaan China dalam industry supply chain global. Kita memang lemah dan bodoh. Itu karena kebijakan nasional lahir dari para pemburu rente dan state capture. 5 tahun lagi cadangan nickel habis. Yang tersisa hanyalah kubangan kerusakan lingkungan.
No comments:
Post a Comment