Saya nonton lewat channel Youtube. SMI melaporkan hasil rapat Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Dari awal dia bicara saya perhatikan. 90% yang dia katakan adalah situasi ekonomi Global yang serba tidak pasti akibat kebijakan tarif resiprokal. Menyiratkan kekawatiran. Saya tersenyum. Dia Menteri keuangan. Seharusnya dia tahu bahwa ekspor kita ke AS hanya 7% dari total ekspor . Tidak seperti Vietnam yang mencapai diatas 50% dari total ekspor dan 30% dari PDB. Artinya bagi Indonesia kebijakan tarif resiprokal AS itu dalam konteks ekonomi Indonesia, bukan big deal!
Dan lagi, bukankah selama ini pemerintah selalu menepuk dada, bahwa ekonomi kita terbaik dibandingkan negara maju. Masih bisa tumbuh diatas 4%. Rasio utang jauh lebih rendah dibandingkan negara lain seperti ASEAN, Jepang dan Eropa. Akibat kebijakan Trump itu, ekonomi dunia terguncang. Kata SMI. Tapi kalau baca Laporan dari IMF, akibat tarif itu hanya berdampak penurunan PDB sekitar 0-2%. Engga big deal kalau dikaitkan dengan keadaan ekonomi global yang memang sejak COVID engga baik baik saja.
Saya perhatikan dari wajahnya di channel Youtube, memang kesan stress dan kurang tidur. Lantas apa yang dikawatirkan SMI? Selama ini Indonesia itu bisa mengeskalasi pertumbuhan ekonomi karena kebijakan ekspansif APBN yang diongkosi oleh utang. Yang jadi masalah leverage PDB lewat APBN ekspansif itu semakin lama semakin rapuh. Karena sector produksi tidak memberikan sumbangan dalam bentuk peningkatan Tax Ratio. Kalah dibandingkan dengan pertumbuhan utang, yang selama 10 tahun kekuasaan Jokowi meningkat pertahun 35%. Sedangkan Tax ratio dibawah 10%.
Apa yang membuat SMI kawatir? Pertumbuhan utang itu kini harus berhadapan dengan cash out atau capital outflow yang besar. Tahun ini saja untuk bayar Bunga Rp. 497,3 triliun dan bayar utang sebesar Rp 800,33 Triliun. Sementara penerimaan pajak diperkirakan Rp. 2500 triliun. Artinya cashout lebih 50% dari penerimaan pajak. DSR udah lampu merah. Cash out atas utang tidak bisa ditunda seperti anggaran kementrian. Ini mandatory spending atas dasar UU yang harus dibayar. Sementara pemerintah tidak ada tabungan untuk bayar utang kecuali lewat berhutang lagi.
Tahun ini sampai dengan maret, Pemerintah udah Tarik utang baru sebesar Rp 250 triliun. Itu 40,6% dari target APBN 2025. Yang jadi masalah dan mengkawatirkan setelah kebijakan tarif resiprokal, adalah cost of fund sudah mahal seiring melemahnya DYX. Akan semakin menyulitkan BI menstabilkan kurs rupiah. Kalau akhirnya IDR tumbang akibat kenaikan suku bunga the Fed dalam upaya menahan laju inflasi, struktur ekonomi berbasis hutang ini akan runtuh. Dampaknya akan sistemik. Tentu saya berdoa semoga Trump sadar dan diwaraskan Tuhan sehingga tarif ini kembali normal. Sehingga hal buruk tidak terjadi pada kita.
Saran saya, saatnya segera lakukan penyesuaian ( adjustment ) APBN dengan removed semua program ultra populis seperti MSB, 3 juta rumah murah, IKN, 80.000 koperasi merah putih. Dengan APBN ramping kita bisa flexible menghadapi badai. Kemudian saya sarankan kepada Presiden untuk segera lakukan rekonsiliasi nasional. Mengapa? Disaat badai datang, kita harus bersatu. Tidak ada cara terbaik mengatasi chaos ekonomi kecuali politik yang stabil. Jangan ditunda. Segera lakukan. Kalau tidak, NKRI akan pecah seperti dulu runtuhnya Unisoviet (USSR).
2 comments:
Menurutku sumber masalahnya ada pada mr YMP sendiri, yang sudah tak bisa terima masukan baru, tapi semua yang keluar adalah rekaman memory lama, mindset alam bawah sadarnya. Berharap keajaiban, keberkahan Nusantara yang akan menjaga supaya tidak terpuruk, sehingga Indonesia Raya akan baik-baik saja
Maksud Babo banyak propulsi minta merdeka( spt USSR)!
Post a Comment