Sunday, July 24, 2011

Izinkan aku jadi sahabatmu.



1983

Bel sekolah berdentang keras dan kamipun berlarian meninggalkan kelas. Siapa sih yang mau berlama lama di kelas menghadapi pelajaran matematika. Apalagi menghadapi guru yang killer dan membosankan. Dengan malas ku kayuh sepedaku menuju pulang bersama teman teman. Dari kejauhan nampak Burhan tersenyum kearahku. Teman temanku mentertawakanku “ Tuh..lihat pacarmu tersenyum padamu…” teriak teman teman kepada ku. “ Iiih Amit amit cabang bayi..” teriaku agak tersinggung. Dengan cepat kukayuh sepedaku untuk menjauhi Burhan. Aku kesal dengan dia. Karenanya membuat aku diperolok oleh teman teman.

Tapi sekonyong konyong sepedaku kehilangan daya. Ternyata rantainya lepas. Aku bingung karena tidak mengerti cara memperbaikinya. Semua temanku sudah jauh. Sementara yang kunampak adalah Burhan yang dari kejauhan berjalan kearahku.

“ Ada masalah apa , Lia “ tanyanya.

“ Rantainya Lepas…” jawabku sedikit ketus. Mataku mencoba mengarah ketempat lain.

“ Mari , saya bantu perbaiki “

Tanpa menunggu jawabanku , dia memperbaiki rantai sepedaku agar kembali ke tempat semula hingga dapat kembali dipergunakan. Selama dia memperbaiki itu , aku memperhatikan bajunya yang nampak basah karena keringat. Pria ini menghabiskan waktu sejam lebih berjalan kaki untuk sampai di rumahnya. Ada sedikit kasihan terhadapnya tapi segera aku hilangkan dalam pikiranku. Tidak ada yang membuat aku tertarik dengan pria ini. Wajah dan penampilannya tidak sebanding bila harus berjalan berdampingan denganku. Apalagi dia dari keluarga miskin. Dan dia mempunyai penyakit kulit di sekitar tangan dan kakinya. Kadang nampak bernanah. Layaknya permukaan bulan pada setiap bagian lengan dan kakinya. Bila berdampingan agak lama dengannya maka akan tercium aroma yang kurang sedap. Jadi wajarkan bila aku menolak untuk mendekatinya. Apalagi di kelas aku termasuk wanita tercantik dan keberadaannya adalah bahan olok terhadapku namun sebetulnya tema teman memperolok dia. Tapi dia tidak pernah marah atau tersinggung. Wajahnya selalu tersenyum.

“ Lia, ini sepedanya. Kamu sudah bisa pergunakan. “ katanya sambil tersenyum .

Aku hanya mengangguk dan berlalu tanpa mengucapkan terimakasih. Kulihat dari belakang dia agak berlari mengikuti ku. Aku segera menghentikan sepeda.

“ Sudah. Tidak usah ikuti aku. “ Teriak ku sambil mataku mengarah sekeliling kawatir ada teman temanku yang meliat.

“ Aku hanya ingin memastikan kamu tidak apa apa di jalan. “ jawabnya sambil tersenyum.

“ Ya .sudah..sudah…!” seruku sambil membelakanginya dan mengayuh sepedaku. Dia tidak lagi mengikutiku..

1985

Di Ibu kota aku memulai kehidupan baru sebagai mahasiwi disalah satu universitas Swasta terkenal. Burhan aku tidak tahu apakah dia melanjutkan ke universitas. Apa peduliku. Belakangan aku ketemu dia di dalam bus. Ah dia jadi kondektur bus. Masih seperti dulu , dia tersenyum menyapaku

“ Lia, Apakabar ? “

Aku berusaha memalingkan wajah ketempat lain. Karena di sebelahku ada pacarku yang nampak terkejut ketika dia menyapa sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Dengan sungkan kejabat tangannya. Sekarang tidak nampak lagi bekas kudis di tangannya. Nampak bersih. Tanpa kata kata dia hanya terdiam menatapku sambil tersenyum.

Ketika akan turun dari Bis, tasku terasa ada yang menarik. Aku melihat ke belakang ternyata copet. Aku berteriak setelah copet itu turun dari bus. Burhan menatap ke arahku. Dia segera turun dari Bus dan berlari mengejar copet itu. Sementara pacarku hanya terpaku tanpa berbuat apa apa. Selang beberapa saat kulihat Burhan menjadi bulan bulanan dari beberapa preman. Ada yang menuduh justru dialah sebagai pencopet. Pacarku menariku untuk segera berlalu dari tempat kejadian itu. Karena tidak mau ambil resiko. Dari jauh nampak Burhan terkapar di jalanan. Ada perasaan bersalah tapi aku tidak bisa berbuat apa apa. Walau dia mempertaruhkan hidupnya hanya karena ingin melindungi miliku.

Suatu waktu aku bertemu kembali dengannya di Bus. Dia sudah nampak baikan. Bukas luka di wajahnya sudah tidak nampak. Dia tetap tersenyum ke arahku

“ Apakabar Lia “ Sapanya.

AKu hanya tersenyum sedikit dan mengalihkan perhatian ke tempat lain. Sementara tanganku berusaha memagut lengan pacarku. Burhan hanya berlalu di hadapanku ketika akan menarik ongkos Bus. Namun pacarku segera memberikan uang. Seraya melotot ke arah Burhan. Aku tahu Burhan berusaha menatapku tetapi aku cepat memalingkan wajah darinya. Dia terpaksa menerima ongkos. Dan berlalu

1990

Aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta asing. Kehidupan yang dulu kucita citakan sebagai professional kini sudah dalam genggamanku. Tapi kehidupan percintaanku kandas di tengah jalan. Sukses dalam karir tidak membuat aku sukses mendapatkan pria yang sesuai dengan apa yang kumau. Pada suatu ketika aku terjebak di tempat parker mobil di sebuah pelataran parkir di daerah Hayam Wuruk. Di tengah hujan lembat aku harus keluar dari kendaraanku sementara payung tidak ada. Seseorang yang datang menghampiriku dari dalam RUKO membawa payung.

“ Apakabar, Lia “ Ternyata Burhan “ Ini , pakai payung untuk kamu” sambungnya sambil tersenyum.

Tanpa kusadari payung itu kupakai sendiri sementara dia basah kuyup. Dia tetap tersenyum kearahku. Aku cepat berlalu darinya  seraya melempar payung ke samping. Tanpa ucapan terimakasih.

2006

Posisiku di perusahaan sudah diatas puncak. Karir ku melesat bagai panah. Tapi kehidupan percintaanku tetap kering. Tak terhitung kekecewaan datang silih berganti yang akirnya membuatku lelah untuk memulai kembali. Usiaku sudah kepala 4 dan barulah terasa betapa sepi dan rentanya hidup ini tanpa ada pria yang dapat melindungi kita. Ini baru kurasakan.

Apalagi perusahaan tempatku bekerja mulai senen kemis karena kesulitan likuiditas. Maklum perbankan dalam negeri sudah terlalu banyak menghadapi masalah hingga tidak punya perhatian lagi memberikan kredit baru kepada nasabahnya. Perusahaan memberikan tugas kepadaku agar mencari mitra yang dapat memberikan dukungan financial bagi kelangsungan masa depan perusahaan. Sudah hampir enam bulan upaya promosi kebeberapa Negara untuk mendapatkan mitra , belum juga mendatangkan hasil. Aku sudah lelah dan hampir frustrasi. Melalui contact perusahaan yang ada di Hong Kong, aku direkomendasi untuk menjajaki kerjasama dengan investor , yang kemungkinan berminat untuk memberikan dukungan financial. Perundingan dengan team negosiasi dari pihak investor sangat melelahkan. Mereka tidak nampak tertarik dengan segala prospek yang ku sampaikan dalam presentasi business.

Di tengah kelalahan itu , aku disarankan oleh teamku untuk bertemu langsung dengan pimpinan dari pihak investor. Pertemuan diadakan di Hong Kong Financial Club yang merupakan Club paling bergengsi di Hong Kong. Hanya pebisis kelas dunia yang dapat menjadi member di club ini. Kehadiran aku di sini atas undangan dari pihak investor.

“ Lia , Apa kabar ? “ sapa yang tidak pernah aku lupa. Burhan berdiri di hadapanku dengan setelah jas mahal. Dia tersenyum. Wajahnya tidak nampak seperti pria berusia diatas 40. Dia nampak lebih muda dari usianya namun terkesan sangat berwibawa. Aku tertunduk tanpa bisa berkata apa apa.

“ Senang ketemu kamu lagi, Lia “ Dia segera mengulurkan tangannya dan kusambut dengan ragu.

“ Lia, ! “ serunya “ Aku sudah mengambil keputusan bahwa perusahaan kami siap memberikan dukungan financial atas proposal yang kamu usulkan. “ katanya ketika memulai pembicaraan. Dia tersenyum menatapku. Tatapan yang membuat aku tidak berarti apa apa di hadapannya Tatapan yang selalu sama dan senyum yang selalu sama dari dulu sejak aku kenal dia.

“ Apa syarat yang kamu usulkan “ tanyaku.

“ Tidak ada syarat kecuali saya setuju dengan kondisi yang kamu inginkan. “

“ Mengapa ? begitu mudahnya kamu bersikap dengan investasi yang begitu besarnya “

“Apakah kamu perlu penjelasan ini dari saya ?

“ Ya , please. Karena aku sudah setengah tahun berupaya dan selalu gagal. “

“ Izinkan aku untuk menjadi sahabatmu. “ Katanya dengan tersenyum “ Kalaupun tidak mungkin maka izinkan aku menjadi temanmu saja. “ sambungnya lirih.

“ Kamu sudah menikah , Bur ? Tanyaku

“ Sudah. Wanita sederhana. Tidak berpendidikan tinggi. Dia menerimaku.”  Katanya dengan tersenyum. 

“ Wanita yang beruntung.” kataku seketika.

“ Aku rasa, yang beruntung adalah aku. Karena masih ada perempuan mau menerimaku” Kata Burhan dengan rendah hati. Namun menusuk jantungku.

“ Punya anak ? Kataku

“ Dua. “

Burhan berdiri dan melangkah ke arah jendela sambil menatap keindahan panorama harbor Hong Kong. Aku mencoba berdiri mengikuti langkahnya. Kami berdiri sejajar sambil menatap ke arah jendela.

Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku kala itu. Yang pasti aku seperti berjalan diatas awan dalam ketidak berdayaan di depan seorang pria yang bertahun tahun selalu mencurahkan perhatiannya terhadapku namun aku sendiri tidak pernah bisa berterimakasih padanya hanya karena ego dan takut kecantikanku tak bernilai di hadapan orang lain. Pria ini yang memelihara perasaan cintanya tanpa ada dendam dan akirnya tidak pernah mengharapkan apa apa kecuali kesediaanku untuk menerimanya sebagai sahabat.

Andaikan dulu aku dapat bersikap baik dengannya tentu aku tidak harus mendera dalam banyak kekecewaan dari pria pria yang pernah mampir dalam hidupku. Tak terasa air mataku berlinang. Terbayang dulu ketika dia terkapar karena hanya ingin melindungiku dari tukang copet. Terbayang tubuhnya yang basah kuyup hanya karena memberikan payung untuk ku. Terbayang dia berlari lari mengikuti sepedaku hanya ingin memastikan tidak terjadi apapa denganku. Semua bayangan tentangnya menyesak didalam dadaku.

Airmataku tumpah tanpa berani menatap wajah teduhnya.“ Lia …” serunya sambil menyerahkan sapu tangan kepadaku. Dia memang selalu tau bersikap dan care pada moment ya tepat. Selalu…'

" Mengapa kamu selalu baik denganku. Padahal aku selalu membenci kamu ?

" Aku tidak tahu bagaimana membenci. " Katanya tersenyum. Aku ingat betapa tak terbilang teman teman mengolok ngolok Burhan karena dia kudisan namun dia tidak pernah marah. Dia hanya diam atau berusaha tersenyum.

Tak berapa lama ada wanita Tionghoa masuk ke ruang meeting itu. Wanita itu sangat menaruh hormat kepada Burhan “ Ini kenalkan Wenny. Dia akan bantu kamu untuk menyelesaikan proses administrasi soal rencana investasi kami di perusahaan kamu,. Dia akan bantu kamu sampai financial clossing.” Kata Burhan dengan tenang dan penuh wibawa. Setela itu dia pamit untuk pergi. Dia membukukan tubuhnya kearahku sebagai tanda betapa dia sangat menghormatiku. Setelah itu aku tidak pernah lagi bertemu Burhan. Setelah aku pensiun, dia mengundangku makan malam di Hotel Shangrila. Kami akhirnya jadi sahabat ketika kami menua. 

No comments: