Sunday, July 24, 2011

Amanah seorang Sahabat.



Aku perhatikan dari tempat duduk para orang tua di anjungan. Dini nampak dengan wajah cerah dalam pakaian toganya. Dia tersenyum menatapku dari kejauhan. Dini telah jadi Sarjana.  Sebelumnya dia juga mengabarkan aka dapat beasiswa melanjutkan pedidikannya ke luar negeri. “ Om, aku ingin kenakan pakaian toga di kuburan Bunda. Boleh ya Om. Nanti om Photo ya. ” Katanya.  Aku mengangguk. “ Ya kita akan ke makam Bunda kamu.”  
“ Bundaku cantik Om? Ada wajah mendung di wajahnya.
“ Ya cantik, Cantik seperti kamu, Din”
“ Ayahku? 
“ Ya gagah. “
“ Semoga mereka berdua damai di alam Baqa. “ Kata Dini ketika dalam perjalanan ke Makam Ibunya.

Dari usia 5 tahun Dini tinggal di Desa bersama Neneknya. Setiap bulan aku kirimi biaya hidup Dini. Tetapi  usia 11 tahun, neneknya meninggal. Aku menempatkannya di Panti Asuhan atas biayaku. Tamat SMU, Dini diterima di PTN. Aku mendukungnya sampai  dia menamatkan pendidikannya. Selama ini aku selalu berbohong tentang kedua orang tuanya. 

“ Bertahun tahun aku membiayaimu. Tak pernah aku mengeluh karena setiap kupandang wajahmu maka wajah ibumu selalu membayang. Karenanya aku harus melindungimu sampai sekarang. Kini kamu sudah sarjana dengan karir yang bagus. Aku sekarang merasa puas. Semoga Atik, ibumu akan senang di alam baqa karena aku menuntaskan tugasku menjaga amanah. Amanah dari seorang sahabat, tentunya.” Kataku tiga tahun kemudian setelah Dini pulang dari luar negeri dan mendapat jodoh pria yang baik baik. Dini menangis dalam dekapanku.  “ Terimakasih om. Terimakasih udah jaga dini selalu“ 

***
“ Mas, aku numpang tidur ya malam ini di tempat mu”  Itu tandanya dia memang lagi tidak ada tamu yang mau bookingnya. Juga takut pulang karena ditunggu uang kontrakan. Atik, namanya. Bertubuh mungil dengan raut wajah yang sebetulnya cantik. Hanya karena kemiskinan membuat auranya mengabur. Kami bersahabat karena merasa senasip. Aku dan Atik memang terdampar di tempat yang salah.

Aku bekerja sebagai kuli di gudang sebuah expedisi. Karena kebaikan hati pemilik gudang, akupun tidak perlu pusing untuk memikirkan tempat tinggal. Pemilik gudang mengizinkan ku membangun ruang kecil di belakang halaman gudang. Dinding kamar itu menempel di tembok pagar gudang dan pintunya menghadap ke pintu belakang gudang. Tinggi tembok pagar itu hanya 1,5 meter. Hingga tidak terlalu sulit untuk dilewati. Ini juga pertimbangan pemilik gudang mengizinkan aku membangun ruang kecil agar sekalian dapat menjaga kemungkinan orang melompati pagar itu. Di dalam kamar itu hanya berisi tempat tidur yang tingginya lebih dari 80 cm dari lantai. Di dinding kamar terdapat lemari tempel yang berisi buku pelajaranku. Biasanya, aku baru tidur setelah menjelang dini hari. Karena harus belajar untuk mendapatkan certifikat Penata Buku. Ini adalah jalan yang dapat kuharapkan untuk merubah nasip yang hanya berbekal izazah SLTA.

Biasanya menjelang dini hari , akan terdengar suara langkah di luar tembok. Itu artinya Atik dan teman temannya sedang berusaha menaiki pagar tembok. Akupun segera menyediakan kayu yang di senderkan di tembok agar mereka mudah masuk kedalam pagar. Setelah itu mereka masuk ke dalam kamarku. Mereka tidur di bawah tempat tidur. Kadang pernah berjumlah lima orang. Mereka berjejalan diruang sempit itu. Sementara aku terus asik belajar.

Sebelum tidur sudah menjadi kebiasaan wanita untuk saling ngobrol. Mereka berbicara berbisik bisik. Kawatir mengganggu aku yang sedang belajar. Kadang yang mereka ceritakan adalah sangat menyedihkan tapi setelah itu merekapun tertawa. Ya mentertawakan penderitaan itu dengan polos. Seperti cerita mereka digaruk oleh petugas namun dapat diselesaikan setelah bersedia untuk melayani nafsu petugas. Selalu begitu setiap malam. Mereka datang mengendap ngendap dan pagi pagi sebelum gudang buka, mereka sudah pergi entah kemana.

Suatu hari..

“ Mas, bantu kami “ teriakan suara di balik pagar. Aku terkejut segera melompat keluar pagar. Nampak Atik dipapah oleh teman temannya.
“ Kopral bangsat itu, gebukin Atik. “ Kata temannya. Tentu yang dimaksud Kopral adalah petugas yang berkuasa di wilayah itu. Yang selalu datang setiap malam untuk minta uang setoran dari preman preman yang menjadi “ jago” di wilayah itu. Para preman mendapatkan uang setoran dari para pelacur. Pria berkuasa dan wanita diperas. Sangat ironi.
‘’ Kenapa masalah nya. Kok sampai jadi begini. “ kataku sambil memapah Atik naik melewati pagar. Kepalanya mengeluarkan darah. Kening dan tangannya nampak lebam. Atik hanya meringis. Aku tahu dia snagat menderita.
“Tidak tahu sebabnya, tahu tahu Kopral itu sudah menyeret Atik ke tengah jalan. Dia menendang dan memukul Atik dengan sepatu bot nya. “ Kata temannya. Aku segera memberi bubuk kopi ke tempat luka yang menganga agar dapat menghentikan pendarahan. Sementara teman temannya melap tubuh Atik dengan air hangat. Tak berapa lama Atik tertidur. Semalaman itu mereka tidak ada yang tidur. Atik tidur di atas tempat tidurku. Kami hanya duduk diam memagut kaki sambil jongkok di dinding kamar.
“ Terlalu sulit hidup seperti kami. Setiap hari kami diperas oleh preman, kopral. Padahal penghasilan kami tak seberapa. Mengapa ? Apa salah kami ? . Tidak adakah rasa kasian mereka itu kepada kami” Kata teman Atik.
“ Apakah tidak sebaiknya kalian berhenti saja bekerja seperti ini. Pulang kampung aja. Karena di sini tidak aman bagi kalian. “ kataku.
“ Pulang ? Mereka berpandangan satu sama lain. “ tidak ada yang dapat kami lakukan di kampung. Hidup terlalu sulit di kampung. Apalagi dengan status kami sebagai janda. Keluarga kami kuli tani. Tak punya sawah untuk digarap sendiri. Ah , Mas..jangan pernah bicara tentang kampung.’’
‘’ Tapi sampai kapan kalian akan begini terus ?. Coba, apa yang kalian dapat setelah sekian lama berkerja ‘’
“ Kami tetap hidup sampai sekarang dan engga tahu sampai kapan. Aku engga pernah mikir tuh. Biar aja dilalui hidup ini dengan apa adanya.”  Kata temannya. Pagi ketika fajar menyingsing dan suara azan menggema. Aku berwudhu untuk sholat. Atik terjaga dari tidurnya ketika aku usai sholat. Sementara teman temanya semua terlelap.
“ Mas “ serunya.
“ ya , Tik. Gimana rasanya keadaan kamu sekarang “
“ Ya engga apa apa Mas. Hanya perih aja. Terimakasih ya Mas. “ katanya sambil berusaha untuk berdiri. Aku segera menahan tubuhnya “ mau kemana Tik, ? “ kataku. Dia menatapku dengan tersenyum. Akupun terdiam dan dapat memaklumi bila akhirnya dia membangunkan teman temannya untuk segera keluar dari kamarku, Dia mengkawatikan kemarahan pemilik gudang bila mengetahui aku membawa orang lain ke dalam kamar ini. Mereka pergi. Aku mengikuti mereka sampai keluar. Mereka duduk di warung kopi yang berada tepat di depan gudang.

Seminggu kemudian Atik sudah nampak baikan. Dia kembali dengan pekerjaannya. Diatas jam 7 malam dia sudah berada di depan losmen menjajakan dirinya. Aku selalu melihatnya ketika pulang makan dari warung. Tapi malam itu aku tak dapat menyembunyikan kekawatiranku. Wajah Atik nampak pucat. Walau dia berusaha menghiasnya dengan senyum dan gincu tebal.
“ kamu sakit, tik.? “
“ Enggak. Aku sehat , kok. Emang kenapa ? “
“ Engga. “ kataku berusaha menyembunyikan kekawatiranku. Kemudian sekonyong tubuhnya terhuyung. Dengan bersimbah keringat di sekujur tubuhnya. Badannya terasa panas. Aku berusaha menahan tubuhnya. Atik tidak sadarkan diri. Teman temannya semua berdatangan. Mereka berusaha membangunkan Atik tapi dia tetap tidak sadarkan diri.

Aku memutuskan membawa Atik ke rumah Sakit umum dengan bajay. Di ruang emergency, Atik hanya di diamkan oleh petugas sebelum kami yang mengantar mengisi formulir. Aku menyerahkan KTP ku kepada petugas Rumah Sakit dan menyatakan bahwa aku adalah keluarga dari Atik. Betapa terkejutnya aku ketika dokter mengatakan bahwa Atik terjangkit penyakit Raja Singa yang Akut. Ternyata penyakit ini sudah lama diidap oleh Atik namun tidak pernah tuntas diobatin. Petugas mengharuskan Atik di opname. Kami yang mengantar saling berpandangan. Tidak tahu harus berbuat apa. Karena darimana uang untuk membayar pengobatan Atik yang harus di opname.

“ Kalau anda tidak punya uang, maka anda harus mengisi formulir ini " kata petugas. Formulir itu berkaitan dengan tunjangan sosial bagi keluarga yang tidak mampu.

“ Setelah formulir ini diisi maka anda harus mengurus surat surat pendukungnya dari RT, RW, Lurah, camat,dan Walikota. Untuk sementara dia dapat tinggal dirumah sakit ini. Tapi ,paling lambat lusa semua kelengkapan surat surat sudah harus disampaikan kemari. Jelas kan , dik. “ kata petugas rumah sakit . Aku hanya mengangguk dan menyerahkan formulir yang sudah kuisi. Aku sendiri tidak tahu bagaimana melengkapi surat surat itu. Formulir yang kuisipun bukan memuat informasi yang sebenarnya. Namun menyerahkan Atik di rumah sakit adalah lebih baik karena dia berada di bawah pengawasan dokter. Begitu pikirku.

Setelah seminggu Atik di rumah sakit. Aku dan teman temannya tidak berani datang membesuknya. Karena ingat akan janji dengan pihak rumah sakit untuk melengkapi surat surat. Sebulan berlalu , teman temannya sudah mulai melupakan Atik. Tapi tidak denganku. Pikiranku terus kepada Atik. Bagaimanakah keadaannya sekarang. Sudah sembuhkan dia.? Kalau sudah sembuh mengapa dia tidak datang kemari ? atau dia sudah pulang kampung ? Atau dikirim ke Panti Rehabilitasi? Akupun tidak bisa terus dengan dihantui pikiranku. Maka aku memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Hanya ingin memastikan keadaanya.

Ketika aku sampai di rumah sakit. Atik sudah tidak ada di ruangan ketika awal kami mengantarnya. Dari petugas rumah sakit , aku ketahui bahwa Atik sudah di pindah keruang sebelah belakang. Setengah berlari aku menuju ruangan itu. Di dalam ruangan yang memuat lebih dari 20 pasien. Di sudut ruangan dekat jendela itu ada nama tertulis. Atik. Kuhampiri perbaringan itu. Atik nampak tidur. Dia nampak pucat. Matanya cekung. Tak berapa lama, matanya terbuka. Dia lama menatapku.
“ Tik, Ini aku. Kamu gimana ?“ Kupegang tangannya. Terasa lembut sekali. Hanya kulit pembalut tulang.
“ Mas...” suaranya tertahan dan tergantikan dengan air mata yang jatuh berlinang di pipinya. “ Setiap jam, setiap hari ,setiap minggu, aku selalu berharap Mas datang menjengukku. Aku kangen , Mas…” Katanya kemudian. Tak berapa lama , dia tersenyum ketika kuusap keningnya. Tak disengaja aku melihat ada seperti butir nasi yang melekat di tepi tempat tidurnya. Aku mengambil butir itu. Tapi nampak bergerak. Akupun terkejut. Ini ulat belatung. Kuraba tanganku ke bawah punggung Atik karena dari sana asal ulat itu. Terasa panas tanganku seperti ada cairan melekat. Atik nampak meringis. Ketika tangan kulepas , di telapak tanganku ada beberapa ulat menempel di jari. Akupun segera berlari mencari suster .
“ Suster, tolong keluarga saya. “ kataku tanpa sadar menyebut diriku keluarga.
“ Yang mana ? jawab suster bingung.
“ Nomor 19 , Sal F. “ kataku.
Suster itu melihat catatan di depan mejanya. “ Anda keluarganya ? “
“ ya “
“ Mengapa baru sekarang datang ?
“ Ya…tapi tolong suster..” kataku dengan wajah kawatir. Suster itu mengikuti langkahku menuju ruang Atik. “ Lihat suster.! lihat, di balik punggunya ada banyak ulat. Ini kenapa ? Mengapa ini dibiarkan ? “ kataku setengah berteriak. Suster itu membalikan tubuh Atik dan nampak begitu banyak ulat menempel di punggungnya. Kemudian suster itu membersihnya dengan cairan. Nampak Atik meringis menahan sakit. Tapi tidak ada teriakan bahkan dia masih sempat tersenyum kearahku..
“ Untuk kamu ketahui. Dia lumpuh. Tubuhnya tidak bisa digerakan. Makanya punggungnya memanas dan akhirnya melepuh. Karena lembab makanya berulat. “
“ Kenapa suster “
“ Baiknya kamu ikut saya ke ruang dokter. Kami sudah lama menunggu keluarganya datang. “ Kata suster itu. Akupun mengikuti suster keruang dokter.
“ Anda keluarganya.? “ Kata dokter itu.
“ Bukan, dokter. Saya temannya. “ jawabku ragu ragu.
“ Lantas di mana keluarganya “
“ saya tidak tahu, dokter. “
“ Baiklah, teman kamu itu terkena penyakit kelamin yang akut. Penyakit itu telah menggerogoti tulang punggungnya yang mengakibatkan dia lumpuh.”
“ Apakah dia dapat disembuhkan,dok “
“ Bisa ! tapi biayanya mahal sekali. Sementara anak itu tidak ada yang menjamin. Makanya kami berusaha untuk mengurangi penularan penyakit kebagian tubuh lainnya. Tapi , mungkin besok , anak itu akan dipindahkan ke panti sosial. Itu sudah jadi kebijakan rumah sakit.’’ Kata dokter. Aku kembali ke ruangan itu. Atik nampak tersenyum kearahku. Keadaan ini agak menentramkanku. Namun tetap tidak bisa menyembunyikan kesedihanku melihat keadaan Atik. Karena aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantunya.
‘’ Berdoalah , Tik. Mintalah kepada Tuhan. Hanya itu yang dapat kamu lakukan.’’ Kataku sambil menggenggam jemarinya. Airmataku berlinang. Aku merasa gagal melindungi sahabatku. Entah kenapa aku merasa dia sudah menjadi bagian dari diriku sendiri.
‘’ Apakah mungkin, Tuhan masih mau mendengar doa dari pelacur sepertiku.?’’katanya dengan tatapan kosong.
‘’Tentu, tentu, Tik. Tuhan itu pengasih penyayang. Siapapun kita berhak mendapatkan kasih sayang Allah. Mintalah dan bertobatlah. “ kataku.
Dia mengangguk. Di tatapnya aku lama sekali. Kemudian air mata menganak sungai di tubir matanya. Ku usap airmatanya. Dia tersenyum dan berkata dengan suara lambat.
“ Ya, aku sudah bertobat , Mas, Entah kapan itu, aku lupa. Ketika aku bermimpi dituntun oleh seorang kiyai untuk membaca doa. Di tengah suasana yang begitu indah. Aku melihat Mas , ada disana juga. Tersenyum kearahku. Aku bahagia sekali. Akupun terjaga. Dokter bilang aku tidak sadarkan diri selama tiga hari. Padahal perasaanku hanya tidur seperti biasa. Sejak itulah aku tidak pernah berhenti sholat walau hanya dengan menggerakan mata. Untunglah sedari kecil aku dididik agama oleh orantua dikampung. Aku terus tidak berhenti berzikir. ‘’ katanya dengan senyum.
“ Apa doamu , Tik. Boleh aku tahu ?”  Kataku dengan wajah ceria. Aku senang ternyata Atik menemukan Tuhan di tengah deritanya.
“ Aku tidak pernah meminta kepada tuhan. Aku hanya mengikuti doa dari kiyai itu yang ada didalam mimpiku. “
“ Apa itu ? “
Tiada tuhan selain Allah, Sesungguhnya aku termasuk orang yang zolim. Hanya itulah yang kusebut setiap hari, setiap detik jantungku. Akhirnya aku tidak pernah lagi merasakan pedih dan sakit. Aku sangat bersyukur atas nikmat yang Allah berikan dengan penyakit ini. Hingga aku disadarkan untuk bertobat. Aku tahu dosaku tak terbilang. Tak banyak yang kuharap selain tobatku diterima Allah. Aku ingin kembali ke Allah dengan sesalku atas segala dosaku. Mungkinkah Allah mau menerimaku ?" Atik berlinang air mata.
" Allah itu maha pengampun. Kasih sayangnya lebih dulu ketimbang amarahnya. Setiap waktu Allah menanti hambanya yang berdosa untuk datang kepadaNYA memohon ampun. Sebesar apapun dosa ampunan Allah masih lebih besar. Ya kan Tik."
" Ya , Mas”

Keesokannya aku sudah berada di rumah sakit untuk menemani Atik diantar ke Panti social. Aku terus berada di sampingnya ketika berada di dalam mobil ambulance menuju panti. Matanya tertutup. Bibirnya begerak halus. Tentu Atik sedang zikir.
‘’ Mas, ... ‘’ katanya ketika sampai di panti.’’ Kalau ada waktu , ingat ingat aku ya. Hanya Mas, sahabatku di dunia ini.. “
"Ya Tik. Tentu. Kamu adalah sahabat ku. Aku tidak mungkin melupakanmu. Tapi...’’
‘’ Tapi apa , Mas..’’
‘’ Mulai minggu depan aku sudah harus pindah kerja. Aku tidak lagi bekerja di gudang itu.’’
‘’ Alhamdulillah. Terkabul juga cita cita Mas. Bekerja di kantoran’’
‘’ Aku dapat kerja sebagai salesman. Tapi akan aku usahakan untuk menjengukmu di sini.’’
‘’ Ya engga apa apa, Mas. Kalau Mas, sibuk tidak usah dijenguk. Cukup doanya saja.’’

Tiga bulan kemudian aku sempatkan datang untuk menemuinya di panti. Atik nampak teramat kurus. Hanya kulit pembalut tulang. Ketika kutemui , Atik tersenyum bahagia.
‘’ Aku senang lihat Mas, sekarang. Sudah rapi dan mukanya nampak bersih. Lain ya kalau sudah jadi orang kantoran.’’ Katanya. Aku cerita tentang pekerjaan baruku. Dia juga menceritakan keadaannya selama di panti. Para sukarelawan merawatnya dengan baik. Mereka juga mengajarinya menulis dan membaca. Ketika akan pulang aku sempat mampir ke kantor panti untuk memberikan dana santunan. Dari petugas panti aku ketahui bahwa keadaan Atik semakin memburuk. Penyakitnya telah memakan paru parunya. Hanya masalah waktu , dia akan menjemput ajal. Aku tak bisa menahan haru. Namun dia tetap tegar ketika kutemui tadi.“ Ketabahannya sangat luar biasa. Dia selalu cerita tentang anda. “ kata petugas Panti.

Setelah aku kembali dari perjalanan bisnis luar negeri. Aku gunakan waktu untuk menjenguk Atik di panti. Aku ingin membawa Atik kedokter terbaik. Aku ada uang lebih dari cukup untuk berobat Atik. Tapi apa yang kutemui ?. Telah berlaku takdir untuknya. Atik dijemput oleh Allah. Atik menemui sang penciptanya. Petugas Panti mengatakan “ dia sangat tenang sekali menemui ajalnya. Kami semua menyaksikan ketika matanya terpejam sambil menyebut asma Allah. Dia tersenyum.” 

Aku terduduk lemas. Petugas panti itu memberikan sepucuk surat kepadaku. “  ini ada surat yang dititipkannya kepada kami. Sebulan yang lalu. Dia berpesan bila ajalnya tiba , mohon agar surat ini diberikan pada anda’’.

Dalam perjalanan pulang aku membaca surat itu.

Mas,...Terimkasih karena telah mencurahkan perhatiannya kepada Atik selama ini. Kasih sayang Mas lah yang membuat Atik tidak pernah merasa sendiri di bumi Allah ini. Mas tidak pernah bertanya tentang masa lalu Atik karena begitulah cara Mas memperlakukan Atik. Mas terlalu bijak menjaga perasaan Atik. Sebetulnya sebelum aku kenal dengan Mas, Kopral itu adalah pria kekasih Atik. Dia yang menghamili Atik namun dia tidak pernah bertanggung jawab. Bahkan dia pula yang memaksa Atik menjadi pelacur. Atik dipaksa untuk menyetor uang kepadanya setiap hari. Kalau tidak maka dia akan memukul Atik. 

Setiap tarikan napas Atik, selalu berdoa untuk Mas, agar dimudahkan rezeki. Terkabul semua cita cita Mas. Mas pernah bilang. Tuhan maha adil kepada semua manusia. Semua orang berhak sukses. Asalkan mau kerja keras dan bersabar dalam doa.  Mas, Kalau Mas, ada waktu datanglah ke kampungku. Disana ada anak perempuan berusia 4 tahun tinggal bersama ibuku yang janda lagi miskin. Aku tidak tahu bagaimana nasipnya setelah aku tidak ada. ... Surat itu berhenti sampai kelimat  " Aku tidak tahu bagaimana nasipnya setelah aku tidak ada." Aku terhenyak. Petugas Panti memberikan alamat keluarganya di kampung ‘’ alamat ini baru kami peroleh dari Atik sehari menjelang ajalnya." Kata petugas Panti. Atik meninggal tahun 1984. 

No comments: