Ada yang menarik dalam seminggu belakangan ini. Yaitu berkaitan dengan sikap Pertamina yang melakukan audit atas kontrak jual beli ( Sales Purcharse Agreement ) gas alam cair (LNG). Audit ini dilakukan karena ada indikasi dua kotrak tersebut bermasalah. Salah satunya kotrak dengan Anadarko Petroleum Corporation untuk pembelian LNG dari Mozambik LNG1 Company Pte Ltd yang merupakan entitas penjualan bersama yang dimiliki dari Mozambik Area 1 co-venturer. Kenapa baru sekarang dipermasalahkan? Padahal kontrak itu ditanda tangani Februari 2019 ini. Dan lagi shipment tahun 2024 nanti.
Kontrak Pembelian gas alam cair (LNG) itu untuk 1 juta ton LNG per tahun (MTPA) dalam jangka waktu 20 tahun. Tentu tidak begitu saja ditanda tangani. Pertamina melibatkan konsultan ahli untuk menilai kelayakan. Apa dasarnya ? Kebutuhan rencana pembangunan RDMP ( Refinery Development master Plan) dan proyek listrik Tenaga Uap ( PLTU), Jawa-1 berkapasitas 1760 MW di Cilamaya, Jawa Barat. Kedua proyek ini merupakan proyek strategis sesuai Perpres 109/2020. Namun membutuhkan gas cukup besar. Tidak bisa mengandalkan pasokan dari domestik.
Kedua. Keputusan impor karena pertimbangan harga jauh lebih murah daripada dalam negeri. Harga murah ini syarat yang menentukan kelayakan Pertamina untuk menjamin supply gas ke PLN dan investasi refinery. Apalagi investasi RDMP itu mencapai Rp. 240 triliun. Soal cost energy sangat sensitif menentukan kelayakan proyek seukuran RDMP.
Lantas dimana masalahnya ? sampai hari ini Pertamina belum mengumumkan duduk persoalanya. Walau issue pembatalan kontrak itu sudah didengar oleh pihak Anadarko Petroleum Corporation. Bahkan pemerintah Mozambiek melalui Menteri Energy sudah kirim surat kepada Meteri ESDM, mengancam resiko yang harus ditanggung Pertamina apabila terjadi pembatalan kotrak ini. Engga tanggung tanggung, Pertamina harus bayar ganti rugi USD 2,8 miliar atau kurang lebih Rp. 40 triliun.
Namun secara bisnis, saya bisa membaca duduk persoalanya. Sepertinya Pertamina berniat masuk ke dalam Trading LNG. Bukannya hanya memasok lokal tetapi juga pasar luar negeri. Sementara, peluang jangka panjang dalam negeri juga bagus. Kementerian ESDM dalam Buku Neraca Gas Bumi Indonesia (NGI) Tahun 2018-2027 mengungkapkan NGI diproyeksikan tetap surplus pada tahun 2018-2024. Namun, pada tahun 2025-2027 terdapat potensi neraca gas defisit.
Proyeksi pertama, Indonesia akan defisit gas sebesar 206,5 MMSCFD pada 2025. Defisit berlanjut sebesar 673,9 MMSCFD pada 2026 dan 442 MMSCFD pada 2027. Hal itu terjadi dengan asumsi pemanfaatan gas dari kontrak eksisting terealisasi 100 persen, pemanfaatan gas untuk sektor kelistrikan sesuai dengan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027, dan asumsi pertumbuhan gas bumi sesuai dengan pertumbuhan ekonomi yaitu 5,5 persen untuk sektor Industri Retail.
Proyeksi kedua, Indonesia akan defisit gas sebesar 1.072,29 MMSCFD pada 2025, 1.572,43 MMSCFD pada 2026 dan 1.374,95 MMSCFD pada 2027. Kondisi itu menggunakan asumsi pemanfaatan gas dari kontrak eksisting terealisasi 100 persen. Selain itu, pemanfaatan gas untuk sektor kelistrikan sesuai dengan RUPTL 2018-2027, penambahan permintaan dari pertumbuhan ekonomi dengan asumsi 5,5 persen, serta sektor industri retail memanfaatkan gas pada maksimum kapasitas pabrik.
Dengan kemampuan Pertamina untuk mengadakan gas dari berbagai sumber, baik import LNG maupun gas pipa dari lapangan-lapangan hulu migas, harga gas yang sampai di konsumen akhir diharapkan akan jauh lebih bersaing lagi. Karena kebuhan LNG untuk pembangkit listrik terus meningkat terutama setelah selesainya PLTGU Jawa 1 tahun 2021. Telat supply akan menganggu kerja turbin. Namun harus dicatat, Gas tersebut sangat fleksibel untuk dipasok apabila tersedia infrastruktur logistik dan storage.
Yang jadi masalah adalah soal infrastruktur logistik dan Storage tidak memadai. Tahun 2013, PT. Bumi Sarana Migas (BSM) yang dipimpin oleh Solihin Kallah menginisiasi Pertamina untuk membangun proyek infrastruktur terminal regasifikasi LNG dengan kapasitas 500 juta kaki kubik per hari (mmscfd) di Bojonegara, Banten. BSM bekerja sama dengan asing. Komposisi saham BSM 50%, Tokyo Gas dan Mitsui sebesar 35%. Nah, nah sisanya 15 % diharapkan Pertamina atau PLN bisa ambil. Namun dalam perjalananya ada kisruh berkaitan dengan saham. Entah siapa yang bocori, publik jadi gaduh. Apa pasal ? bocornya rekaman pembicaraan antara Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dengan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir terkait soal saham. Maklum Ari Soemarno, adik Rini Soemarno sebagai Kalla Group Senior LNG Project Coordinator.
Setelah perundingan yang panjang, akhirnya PT Pertamina (Persero) secara resmi menghentikan proyek pembangunan terminal regasifikasi LNG di Bojonegara. Alasannya, tidak layak. Rendahnya permintaan gas menjadi penyebab utama ketidaklayakan proyek. Hal itu disampaikan setelah Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Migas Komisi VII DPR yang berlangsung tertutup dengan Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dirut PT PLN (Persero), dan Plt. Dirut PT Pertamina (Persero) pada Senin (9/7/2018). Jadi kandaslah bisnis yang diusulkan oleh BSM.
Tapi anehnya pembatalan proyek terminal regasifikasi LNG di Bojonegara tidak menghalangi Pertamina untuk melanjutkan ambisinya sebagai trader LNG berkelas dunia. Di dalam negeri, PLN sebagai pembeli akhir atau end buyer, menolak membangun storage. Jangankan storage, logistikpun PLN engga mau keluar duit. Saat sekarang PLN merasa aman beli batubara daripda gas. Engga repot soal infrastruktur logistik dan storage. Padahal untuk mengimpor LNG dalam jumlah besar dan kontrak jangkan panjang, Pertamina harus membangun infrastruktur berupa storage dan sarana logistik.
Nah sekarang mari kita perhatikan jebakan permainan bisnis. Apa yang terjadi kalau Pertamina batalkan kotrak? Anadarko pasti minta ganti rugi. Mengapa ? Exploitasi Gas itu tidak sama dengan driling oil. Drilling oil apabila kotrak batal, sumur bisa ditutup. Gas engga begitu. Sekali gas diproduksi, tidak diangkut dia akan habis terbakar. Total lose. Makanya Gas itu berproduksi berdasarkan off take market. Atas dasar itu juga long term kotrak antara Pertamina dan Andarko itu dijadikan jaminan untuk dapatkan uang dari bank konsorsium dan trader. Uang itu dipakai untuk mengembangkan fasilitas LNG darat pertama di Mozambik yang terdiri dari dua train LNG awal dengan total kapasitas nameplate 12,88 MTPA untuk mendukung pengembangan lapangan Golfinho / Atum yang terletak seluruhnya di dalam Area Offshore 1.
Berdasarkan kontrak itu berlaku take or pay ( Ambil, kalau engga mau Pertamina tetap harus bayar). Sengketa kontrak itu akan menjatuhkan reputasi Pertamina sebagai world class oil company. Apalagi Pertamina berencana akan IPO. Ini bisa jadi batu sandungan. Mau tidak mau Pertamina harus bayar kerugian Andarko, Rp 40 triliun engga kecil loh.
Bagaimana kalau Pertamina lanjutkan kontrak itu ? Pertamina harus invest storage dan infrastruktur. Itu uang engga kecil. Berharap kepada mitra, juga engga gampang. Maklum returnnya rendah. Paling cepat pengembalian investasi 10 tahun dengan skema take and pay. Pada saat sekarang dan kedepan trading gas tidak bagus. Terutama dengan kehadiran Qatar LNG yang mempunyai kapasitas terbesar di dunia. Saat ini mereka mampu menjual LNG dibawah US$2 per MMBTU. Hampir semua kompetitor LNG sulit bersaing dengan kemampuan Qatar. Pertamina mau jual ke negara lain jelas tidak mudah.
Mau jual ke dalam negeri, harus bersaing dengan Produksi LNG Bontang. Jelas LNG bontang kalah. Pertamina tahu bahwa mereka dapat penugasan dari SKK Migas sebagai agent penjualan LNG Bontang. Contoh pada tahun ini, proyeksi lifting dari Kilang LNG Bontang sebesar 77,7 kargo yang terbagi atas 18,7 kargo untuk domestik dan 59,04 kargo untuk diekspor. Memang LNG kita tidak melimpah. Namun Pertamina harus manage agar disamping memenuhi pasar domestik juga peneriman devisa dari ekspor. Bagaimanapun pemerintah lebih utamakan LNG Bontang daripada impor. Untuk mengamankan neraca pembayaran.
Jadi business trading LNG itu benar benar tidak layak. Tetapi anehnya Pertamina tetap teken kontrak jangka panjang impor LNG. Padahal mereka tahu ketersediaan infrastruktur tidak memadai. Mereka juga tahu, trend harga GAS terus turun sejak tahun 2013. Menurut saya, Kotrak SPA ini diatur oleh trader. Kemungkinan melibatkan mafia MIGAS. Maju rugi, mundur lebih rugi. Benar benar Pertamina masuk dalam jebakan badman.
Lantas apa solusi agar Pertamina dan negara tidak dirugikan? Pertama. Sales Purchase agreement ( SPA) harus diubah dengan harga floating sesuai harga spot. Atau kalau harga tetap, harus ada penyesuaian harga secara berkala. Jadi, kedua belah pihak bisa hedging di pasar spot. Banyak kok trader yang mau beli opsi ini. Kedua, tender ulang dengan pihak outsourcing penyediaan storage dan logistik gas. Tender investor, bukan tender jasa. Ketiga. Pertamina harus cari mitra lain yang mau alihkan kontrak itu. Atau bentuk anak perusahaan khusus trading gas. Terapkan harga take or pay kepada end buyer. Jadi pembeli tidak harus Pertamina atau PLN tetapi bisa siapa saja. Utamakan pasar Ekspor. Sehingga penugasan terhadap LNG Bontang tidak terganggu. Dan kelangsungan proyek RDMP tidak tertunda. Tentu solusi itu keliatan mudah apabila ada keberanian politik Pertamina untuk melawan mereka yang ada dibalik SPA LNG itu. Saya yakin, Ahok sebagai wakil pemeritah di Pertamina mampu menyelesaikan masalah ini.
No comments:
Post a Comment