Saturday, April 3, 2021

Sjamsul Nursalim bebas.


 

Syafruddin Arsyad Temenggung ( SAT) memimpin BPPN saat Presiden Megawati Soekarnoputri berkuasa, ketika masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tengah memanas. BPPN sendiri dibentuk pada awal 1998. Berkat Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, BPPN bisa menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL). Inpres itu dasar hukumnya kuat. Yaitu Tap MPR. SKL itu diberikan setelah obligor menanda tangani Master Setlement and Acquisition and Agreement (MSAA) dengan pemerintah. Proses pengambilan keputusan selalu melibatkan KKSK ( Komite Kebijakan Sektor Keuangan), saat itu adalah Boediono, Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Laksamana Sukardi. BPPN itu selesai di era Megawati.


Namun selepas menjabat BPPN, SAT mulai tersandung sejumlah kasus. Ini kental dengan aroma politik yang targetnya menghancurkan PDIP, khususya Megawati. Saat itu SBY bersama koalisi memang berniat menjadikan PDIP terpuruk jadi partai gurem. SAT tersangkut kasus penjualan aset Pabrik Gula Rajawali III di Gorontalo. Penjualan tanker VLCC Pertamina. Namun semua itu tidak terbukti bersalah. Yang konyolnya setelah lewat sidang, akhirnya kasus dihentikan. Karena tidak cukup bukti.


Pada tahun 2018, tahun menjelang Pemilu 2019, KPK menjadikan SAT sebagai tersangka. Alasannya? selaku Ketua BPPN periode 2002-204 bersama-sama dengan Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp4,58 triliun. Saat itu Jokowi bersikap santai saja. Silahkan diusut. 


Majelis hakim pada 24 September 2018 lalu memutuskan SAT  dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 13 tahun dan pidana denda Rp700 juta. Atas putusan PN Tipikor tersebut, SAT mengajukan banding hingga pada 2 Januari 2019, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menjatuhkan putusan pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar. SAT lalu mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 13 Mei 2019, berdasarkan bukti permulaan yang cukup, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim karena diduga bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan SAT selaku Ketua BPPN.


Namun pada 9 Juli 2019, MA mengabulkan kasasi SAT dan menyatakan dia terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana sehingga melepaskan SAT dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Jaksa eksekutor KPK pun mengeluarkan Syafruddin dari tahanan di rutan KPK pada 9 Juli 2019. Selanjutnya, pada 17 Desember 2019 KPK mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali kepada MA terhadap putusan Kasasi Syafruddin. Pada 16 Juli 2020, MA menolak permohonan PK KPK.  Dengan bebasnya SAT maka otomatis Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim, juga bebas. Secara kebetulan merekalah yang pertama kali dalam sejarah KPK mendapatkan SP3. 

Gimana substansi kasus ini? 

Sebetulnya kasusnya sederhana. Ada Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, BPPN bisa menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL). Atas dari Inpres itu, seluruh obligor BLBI dipaksa menyelesaikan kasus BLBI diluar pengadilan. Skemanya? Serahkan harta kamu, dan setelah itu utang dianggap lunas. Pengusaha selaku obligor tidak bisa menolak. Saat itu Sjamsul Nursalim mengajukan pelunasan utang BLBI atas proyek Tambak Udang PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM). Sjamsul Nursalim bersedia menyerahkan Dipasena kepada BPPN.  Tetapi oleh SAT permohonan itu tidak disetujui begitu saja. 


SAT mengusulkan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sehingga hasil restrukturisasinya adalah Rp 1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan proses restrukturisasi. Tapi penyerahan aset DIPASENA. ( Sebagai catatan: Era SBY, tahun 2007, PPA (PT Perusahaan Pengelola Aset) selaku wakil pemerintah melepas asset PT Dipasena Citra Darmaja lewat Tender.  Yang menang tender adalah Konsorsium Neptune yang terdiri dari PT Central Proteinaprima Tbk, PT Pertiwi Indonesia dan Blue Lion Group Pte Ltd,  Harga  Rp 688,125 milia. Tahun 2015 kasus penjualan Dipasena ini pernah dilaporkan ke KPK. Tetapi tidak diproses.)

Keputusan Surat Keterangan Lunas ( SKL) itu sudah atas persetujuan KKSK, yang saat itu ketuanya Boediono dan olen Menko Pererekonomian, keputusan mengeluarkan SKL itu dianggap sudah sesuai dengan Inpres. Jadi sesederhana itu kasusnya. Namun jadi ruwet karena ada unsur politiknya. Berharap kalau SAT kena, Sjamsul Nursalim kena maka target akhir adalah Megawati. Tetapi akhirnya keadilan menang.


Kesimpulan.

Semua proses penyelesaian BLBI diatur dengan ketat sesuai juklak dari UU dan TAP MPR sebagaimaa Inpres Nomor 8 Tahun 2002. Jadi tidak sulit untuk mengetahui apakah dalam pelaksanaan ada pelanggaran oleh Ketua BPPN atau KKSK. Sesuai keputusan MA bahwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana sehingga melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Apa artinya? Penyelesaian BLBI sehingga adanya MSAA dan SKL, sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas, TAP MPR Nomor X tahun 2001, TAP MPR No. VI Tahun 2002.


Kalau dianggap salah maka sumber kesalahan adalah sistem itu sendiri. Siapa yang membuat sistem itu? Dia adalah DPR dan MPR. Ketika itu ketuanya adalah Amin Rais yang merupakan koalisi partai Islam. Kalau itu dianggap salah maka presiden dan MA serta KPK juga harus salah. Karena mereka juga adalah produk dari sistem itu. Jadi kesimpulannya, masalah BLBI adalah masalah kita bersama. Kesalahan kita bersama. Karena terlalu lama membiarkan Soeharto yang diktator berkuasa di Indonesia.


No comments: