Tuesday, May 11, 2021

Hukum pasar, hukum paling brutal

 




Yuni nampak murung. Aku tahu sebabnya. Itu karena larangan mudik. Banyak orang kecewa karena larangan mudik. Tapi pada akhirnya orang juga tidak bisa protes terlalu banyak. Tujuan pemerintah demi kebaikan rakyat. Bukan bertujuan politik. “ Tingkat kematian karena Covid 19 hanya 2%. Tetapi sumber daya diserap 100%. Artinya 100% orang dipaksa percaya kepada 2%.” Katanya mengeluh. Aku bisa terima keluhannya. Dunia modern sekarang memang dibentuk oleh persepsi.  Ada yang dipaksakan , ada karena kesadaran, dan ada juga motive saling ketergantungan.


Pasar obligasi dunia pada tahun 2021 mencapai USD 119 trilion. USD 46 trilion berasal dari Amerika Serikat.  Padahal PDB Dunia hanya USD 88 trilion.  Apa artinya?  tingkat hutang dunia melebihi PDB dunia. Tapi apakah karena itu pasar obligasi menyusut? Tidak. Dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan bond berkarakterik unsecure ( tidak ada collateral)  lebih banyak diterbitkan daripada bond secure ( bersifat sovereign guarantee). Bond atau obligasi tidak lagi mencerminkan nilai real tapi sudah menjadi komoditas. Yang harganya dipengaruhi oleh demand and supply. Itu hanya trust atas dasar persepsi saja.


AS sejak menerbitkan Bond tidak pernah menggunakan kas tabungannya untuk membayar obligasi itu ketika jatuh tempo. Selalu dibayar pakai bond lagi. Karena itu orang tahu bahwa berinvestasi di obligasi , likuiditasnya dijamin oleh pasar, bukan oleh pemerintah sebagai penerbit bond. Termasuk Indonesia. SBN kita yang merupakan 85% utang negara, likuiditas dijamin oleh pasar. Dan pemerintah layaknya menjadi bond provider dan publik sebagai cash provider. Suka tidak suka, nyatanya Obligasi pemerintah selalu dibeli orang dan dinanti orang terbitnya.


“ Dari skema ini apakah publik dirugikan? atau pemerintah culas.” tanya Yuni. Bagi saya tidak ada investasi yang bisa berlanjut kalau ada yang dirugikan.  Tidak mungkin orang mau beli SBN kalau pemerintah culas. Apa yang terjadi dalam pasar obligasi adalah ketergantungan atas dasar mutual simbiosis. Orang kaya tidak bisa dipaksa untuk belanja barang produksi dan investasi real. Mereka bebas menggunakan uangnya. Kalau tidak ada pasar uang dan modal, kemana orang kaya akan mengamankan uangnya dan sekaligus meningkatkan uangnya.  


Apalagi akumulasi kelebihan dana itu menumpuk di Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, penyedia reksadana dan bank. Kalau tidak ada pasar obligasi maka nilai akumulasi dana itu akan delusi dan kemitmen kepada publik jadi terganggu. Sistem keuangan akan runtuh secara sistemtik. Jadi berhutang bagi negara adalah juga bagian dari strategi menjaga keseimbangan ekonomi, yang pada waktu bersamaan pemerintah bisa gunakan hutang itu untuk mendistribusikan kemakmuran orang kaya kepada orang miskin lewat program pembangunan.


“ Tapi kesannya tidak adil “ Kata Yuni. Bagi saya, keadilan itu justrunya adanya kebebasan orang untuk memilih kaya atau miskin. Ini soal pilihan yang setiap pilihan ada kelebihan dan kekurangannya. Ada orang memilih bekerja keras berproduksi, mengembangkan skill dan bisnis, berinovasi, berkreasi tiada henti, berhutang, bermitra, dengan itu dia kaya. Tapi ada orang yang memang tidak mau melewati proses jadi orang kaya. Mereka  maunya yang mudah saja. Ya mereka memilih jalan datar saja. Ya hasilnya apa adanya. Kalau boleh dikelompok mereka itulah termasuk miskin. 


Namun kemiskinan itu akan jadi paradox bagi orang kaya kalau tidak ada jaring pengaman. Saat itulah negara harus hadir menjaga momentum lewat ekspansi fiskal. Begitulah sistem terbangun. Dimana kelebihan dana diserap lewat hutang dan orang kaya terbantu, orang miskin tertolong. Ya gotong royong.


“ Apa jadinya kalau tidak ada hutang. Mungkinkah terlaksana? Kata Yuni. Pertanyaan itu harus bisa juga menjawab, apakah semua orang bisa dipaksa berproduksi seperti era Komunis China di tangan Mao. Yang memang tidak ada hutang. Tapi apa hasilnya? rakyat hanya jadi mesin produksi. Ketidak adilan sosial terjadi karena sama rata sama rasa. Itu bukan kehidupan. Itu perbudakan.  


“ Artinya uang yang kita pegang tidak ubahnya dengan obligasi. Tidak ada jaminan. Dan orang dipaksa percaya. “ Kata Yuni lagi. Bagi saya bukan dipaksa. Tetapi tepatnya adalah keniscayaan dari sebuah sistem yang diterima oleh semua orang. Faktanya berapapun kita pegang uang, barang dan jasa selalu ada  untuk dipertukarkan. Itu artinya sistem berjalan konsisten. Dari konsisten itu lahirlah kepercayaan. Dari kepercayaan itulah uang bernila untuk dipertukarkan dipasar komoditas maupun pasar uang. 


Samahalnya harga saham di Bursa, itu marcap tidak mencerminkan nilai buku dari emiten. Tetapi karena ada permintaan dan penawaran, harga terbentuk dan sistem bekerja, likuiditas tercipta.  Selagi likuiditas terjaga, bandul pasar akan terus bergerak. Kehidupan ekonomi akan terus berdetak menggerakan semua sumber daya.


“ Bagamana bila terjadi distorsi? tanya Yuni. Pasar adalah hukum sunatullah yang paling brutal namun kalau direnungkan, itulah keadilan Tuhan. Orang lemah dimangsa orang kuat. Orang bodoh dimakan orang pintar. Distorsi adalah koreksi alam untuk terjadinya proses seleksi. Hanya yang terbaik yang menang dan yang kalah didoasi, dah gitu aja.

No comments: